Precedence: bulk Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom E-mail: [EMAIL PROTECTED] Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp Xpos, No 01/III/2 - 8 Januari 2000 ------------------------------ SJAFRIE DIDUGA TERLIBAT DI TIMTIM (PERISTIWA): Mayjen TNI Sjafrie Sjamsoedin diperiksa KPP HAM pekan lalu. Ia berlaku tak sopan terhadap para pemeriksanya. Sjafrie mungkin sudah putus asa menghadapi tuduhan-tuduhan kejahatan perang yang dialamatkan kepadanya dan "geng" jendralnya. Ia tampak tak nyaman menghadapi para penyelidik KPP HAM yang terdiri dari orang-orang sipil dan sejumlah kecil purnawirawan jendral. Seperti "bos"nya, Jendral TNI Wiranto, ia juga menunjukkan muka marah dan bertindak tak sopan terhadap para penyelidik yang memeriksanya. Sjafrie ketika diperiksa selama lebih dari dua jam itu menggunakan kata "gue" untuk menyebut dirinya dan menggunakan kata "lu" untuk menyebut para penyelidiknya. Wiranto pekan sebelumnya juga sempat marah saat anggota KPP HAM mencecarnya dengan berbagai pertanyaan yang membuat dia tersudut. Sjafrie dalam pemeriksaan itu ditanya tentang kesaksian Francisco Kalbuadi, seorang usahawan keturunan Cina-Timor, yang lolos dari penyerbuan berdarah ke rumah Uskup Belo. Sico, demikian nama panggilan Francisco, adalah anak angkat mendiang Letjen (Purn.) Dading Kalbuadi, salah seorang komandan pendudukan Timor Timur pada 1975. Sico bersaksi pada Sidney Morning Herald bahwa Sjafrie Sjamsoeddin memimpin penyerbuan rumah Uskub Belo, di mana ia berada di rumah itu bersama ratusan pengungsi lainnya. "Sjafrie tampak memberi komando penyerbuan dan memakai baju kotak-kotak," ujar Sico yang kini berada di Australia. Sico juga bersaksi, milisi dan pasukan TNI yang dipimpin Sjafrie menembaki para pengungsi yang berkumpul di rumah Uskup. "Ratusan pengungsi tewas," ujar Sico. Sico sendiri berhasil lolos dari rumah Uskup, dan lolos melewati perbatasan yang dijaga milisi setelah menyogok Rp 20 juta pada tentara agar tak dibunuh. Sjafrie marah ketika KPP HAM mengkonfirmasi kesaksian Sico ini. "Lu harus mendatangkan Sico kemari, jangan gue aja yang diperiksa. Sico ngawur itu," ujar Sjafrie kepada para penyelidik KPP HAM, ketus. Mungkinkah Sico salah mengidentifikasi Sjafrie? Tampaknya tidak. Bagi Sico, Sjafrie bukanlah orang yang baru dikenalnya. Sebagai orang prointegrasi yang amat dekat dengan Dading Kalbuadi, tokoh militer yang tak bisa dilepaskan dengan aneksasi Timor Timur, Sico sangat mengenal Sjafrie. Sico sendiri juga amat lama bekerja untuk organ-organ intelijen Kopassus di Timor Timur seperti Satgas Intelijen yang dikenal sebagai SGI, di mana Sjafrie cukup lama berdinas. Sekitar 1991, saat terjadi pembantaian Santa Cruz, Dili, Kolonel Inf. Sjafrie Sjamsoedien adalah Komandan SGI. Sico juga banyak bekerja sama dengan Prabowo Subianto semasa ia masih berjaya di Kopassus. Prabowo adalah kawan dekat Sjafrie. Dua orang ini, pasca aneksasi Indonesia, diberi tugas memimpin Operasi Bravo, yakni operasi penghilangan dan pembunuhan para tokoh Fretilin. Orang-orang pro integrasi seperti Sico, seperti halnya Salvador Ximenes Soares, Francisco Lopes da Cruz, dan Abilio Soares, adalah orang-orang pro integrasi yang sering bertemu dengan para perwira TNI untuk berbagai kepentingan integrasi. Dengan kedekatan Sico dengan para perwira TNI, termasuk Sjafrie sejak lama, sulit mengatakan, Sico salah mengidentifikasikan Sjafrie yang berbaju kotak-kotak memimpin penyerangan ke rumah Uskup Belo. Sejalan dengan fakta ini, sumber Xpos, seorang perwira menengah yang berdinas di Dili ketika itu, mengatakan TNI memang punya rencana membunuh Uskup Belo, dalam penyerangan yang seolah-olah dilakukan oleh para milisi. Namun, skenario pembunuhan itu tampaknya gagal setelah Uskup Belo diselamatkan pasukan Brimob yang dipimpin Brigjen Pol Sitorus. Uskup Belo yang hendak dieksekusi bersama ratusan pengungsi yang dikumpulkan di lapangan Licidere sebenarnya sudah pasrah. "Uskup Belo memang diincar karena kotbahnya dalam misa akbar penutupan Bulan Suci Maria, akhir Mei, mengecam habis-habisan TNI," ujar perwira tadi. Mungkin, Sjafrie yang diperintahkan untuk memimpin pembunuhan Uskup tadi, dengan menyamar sebagai milisi, namun dikenali Sico. Rumah Uskup Belo dan gereja kecil yang berada di kompleks itu hangus dibakar milisi dan TNI. Menurut para saksi, pasukan TNI yang berbaur dengan milisi menembaki rumah itu dan para pengungsi yang ada di dalamnya. Puluhan pengungsi diperkirakan mati. Sico sendiri menyaksikan dua truk tentara mengangkut tubuh-tubuh manusia yang sudah tak berdaya, kemungkinan mati atau luka parah, dari kompleks kediaman Uskup. Nah, tugas KPP HAM tinggal mencari saksi-saksi lain, yang mendukung kesaksian Sico, bahwa Sjafrie berada di sekitar rumah Belo, ketika kediaman peraih Nobel Perdamaian itu, yang dipenuhi pengungsi, diserbu TNI dan milisi. Tugas KPP lainnya: seperti halnya saat mereka berhasil menemukan mayat-mayat korban pembantaian di Gereja Suai, mereka juga berkewajiban menemukan mayat-mayat yang disembunyikan TNI dari kediaman Uskup Belo. Kalau itu berhasil, Sjafrie bisa diseret ke pengadilan dan mendekam lama di penjara. (*) --------------------------------------------- Berlangganan mailing list XPOS secara teratur Kirimkan alamat e-mail Anda Dan berminat berlangganan hardcopy XPOS Kirimkan nama dan alamat lengkap Anda ke: [EMAIL PROTECTED] ---------- SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html