Precedence: bulk Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom E-mail: [EMAIL PROTECTED] Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp Xpos, No 01/III/2 - 8 Januari 2000 ------------------------------ MILENIUM BARU, UTANG LAMA (EKONOMI): Total utang luar negeri Indonesia sudah mencapai 145 milyar dolar AS. Celakanya, kita mesti harus pinjam lagi. Bagaimana kalau dihapus saja? Bukan IMF dan Bank Dunia kalau tidak memposisikan suatu negara seperti menggali kubur. Mengetahui persis hutang Indonesia mencapai US$145 milyar, lembaga-lembaga keuangan makin bertingkah bak pengelola negara. Letter of Intent (LoI) berisikan klausul-klausul imla IMF terhadap pemerintah. Habis-habisan Indonesia didikte bagaimana merumuskan dan menjalankan program pembangunan. Cilakanya, sampai dengan tutup tahun Gus Dur belum menemukan (atau belum mengumumkan?) formula pembenahan ekonominya. Angka US$145 milyar di atas tidaklah main-main. Kalau dikali dengan kurs 7.000 rupiah saja total hutang kita sebesar 1.015.000.000.000.000 rupiah alias seribu lima belas trilyun rupiah. Siapa mau urunan membayar hutang 'tak terhingga' itu? Melihat saja bisa dipastikan belum pernah. Kini, malah ada tambahan hutang baru di tahun 2000. Sedang berdasar catatan, sudah 60 persen lebih debt service ratio (DSR) Indonesia yang terbang ke negara kreditor. Berarti lebih dari separo nilai ekspor bersih kita sudah dipakai membayar cicilan hutang berikut bunga. Hitung-hitung lagi, rasio hutang ribuan trilyun terhadap GDP adalah 150 persen. Dengan kata lain, dibanding pendapatan kotor total hutang Indonesia sudah ampun-ampunan. "Secara psikologis, ambang batasnya sudah kelewat jauh," tandas Arif Aryman, pengamat ekonomi dari Econit. Teranglah begitu. Simak saja bunyi adagium "bayi baru lahir di Indonesia sudah terbebani hutang sebesar 5 juta rupiah". Kenapa pemerintah seperti tidak bisa tidak selain meminta pinjaman? Keterangan resmi adalah guna melengkapi APBN dan cadangan devisa. Di luar dua hal tadi hutang diperlukan juga guna membiayai praktek korupsi. Tidak heran disebut angka kebocoran mencapai 30 persen. Di sisi lain, APBN kini menganggarkan 25 persen diperuntukkan membayar hutang. Menjadi cerita lama kalau pemerintah berhutang untuk membayar hutang. Cerita lama lainnya menyangkut aspek politis yang menyertai mekanisme pinjam meminjam. Sebut saja Jepang yang hanya mau bila produknya tersebar luas di pasar Indonesia. Negara-negara lain boleh dibilang tidak berbeda. Contoh paling populer misalnya apa yang disebut bantuan substitusi impor. Sejatinya sekedar proses pemindahan daya beli pasar. Barang-barang konsumsi yang dilempar ke negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia tidak bakal laku kalau daya beli masyarakatnya rendah. Maka, bantuan diberikan untuk mendongkrak daya beli tadi. Tidak heran bila disebut pengaruh bantuan luarnegeri buat negara dunia ketiga terbilang nihil. Sebab motif pemberian bantuan tidak lain mengamankan pasar negara maju. Sedari awal, logika yang menyertai pemberian pinjaman memang centang perenang. Dalil kemajuan dimaklumkan sebagai kemampuan negara menyelenggarakan adjustment struktural dan stabilisasi ekonomi. Dengan kedua rumus ini setiap negara yang ingin mencapai kemajuan disyaratkan meningkatkan ekspor dan meminimalkan nilai impor. Apa bisa semua negara secara sekaligus melakukan keduanya? Dalam logika sederhana, 'formula kemajuan' tersebut mudah ditolak. Agar ekspor negara-negara maju bisa diterima dengan daya beli memadai, campuran antara koersi dan performa renten diterapkan dalam kebijakan piutang. Si penerima hutang melulu tertimpa pulung musibah. Dalam pengertian lain Bara Hasibuan menyebut praktek pinjam meminjam selama ini dengan istilah doktrin hutang kotor. "Apalagi," demikian Hasibuan, "hutang kotor itu tidak pernah sampai kepada rakyat." Pemerintah Abdurrahman Wahid dan Megawati semestinya dapat menggunakan alasan ini untuk menguatkan posisi tawar berhadap-hadapan dengan negara-negara dan lembaga donor. "Kuba, Afrika Selatan, Costarica dan Rusia saya kira dapat dijadikan contoh," lanjut Hasibuan. "Gus Dur kalau mau bisa minta penghapusan hutang." Menghapus hutang? Apa tidak ada alternatif lain? Tentu ada. Sejauh ini para pengamat ekonomi sempat mengajukan beberapa pilihan. Pertama, meminta pemotongan hutang. Berapa jumlahnya tergantung negosiasi pemerintah. Yang diusulkan sejauh ini sebesar 30 persen seperti pernah diakui oleh Bank Dunia ketika menyebut jumlah kebocoran yang terjadi. Langkah kedua, pemerintah meminta penjadualan kembali (debt rescheduling) dan debt refinancing. Dengan cara ini hutang Indonesia tidak bergeser. Oleh Arif Aryman opsi penjadualan kembali ditolak. Sementara langkah saat disebutkan agar pemerintah mengeluarkan hutang swasta dari kewajiban pemerintah. Cuma karena hutang Indonesia tergolong akut pilihan-pilihan di atas dikesampingkan. Penghapusan hutang (debt cancellation) menjadi alternatif paling mungkin yang tidak bisa tidak diterima negara-negara maju dan para lembaga keuangan internasional. Menyimak pula pengembalian Indonesia telah besar pasak daripada tiang. Bank Dunia, IMF, ADB, CGI maupun G-7 telah beroleh lebih akibat sikap "santa"-nya. Selain tergantung Gus Dur-Mega (yang belum juga merumuskan formulanya) masih ada masyarakat. "Kalau hutang selama ini diperuntukkan bagi yang tersebut terakhir, ya jalan pembuktian terbaik adalah mendengar mereka," tukas Hasibuan. Ke depan, tanggal 1-2 Februari 2000 ada momentum yang dapat dimanfaatkan pemerintah. Yakni pertemuan pemerintah dengan negara-negara donor yang tergabung dalam CGI. Terakhir dapat dikutip tulisan Joseph E Stiglitz dalam Financial Times (25/3/98). Chief economist Bank Dunia ini menulis: "Sementara modal berpindah-pindah dengan cepat berkeliling dunia, pasar-pasar di negara-negara berkembang hanyut terombang-ambing. Yang diperlukan adalah pengaturan aliran modal". (*) --------------------------------------------- Berlangganan mailing list XPOS secara teratur Kirimkan alamat e-mail Anda Dan berminat berlangganan hardcopy XPOS Kirimkan nama dan alamat lengkap Anda ke: [EMAIL PROTECTED] ---------- SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html