Precedence: bulk BAB III POLA PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA: KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN 22. Berdasarkan fakta, dokumen, keterangan dan kesaksian dari berbagai pihak, KPP HAM tak hanya menemukan tindakan yang dapat digolongkan sebagai pelanggaran berat hak asasi manusia atau 'gross violation of human rights' yang menjadi tanggungjawab negara (state responsibilities), namun dapat dipastikan, seluruh pelanggaran berat hak asasi manusia itu dapat digolongkan ke dalam universal jurisdiction. Yaitu mencakup pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran dan pemindahan paksa serta lain-lain tindakan tidak manusiawi terhadap penduduk sipil, ini adalah pelannggaran berat atas hak hidup (01: the right to life), hak atas integritas jasmani (02: the right to personal integrity), hak akan kebebasan (03: the right to liberty) hak akan kebebasan bergerak dan bermukim (05: the right of movement and to residance), serta hak milik (13: the right to property) sebagaimana tampak dalam Tabel berikut. Pembunuhan massal dan sistematis 23. Terdapat cukup banyak keterangan dan bukti-bukti, telah terjadi berbagai tindak kekerasan dan upaya pembunuhan terhadap sejumlah orang atas dasar alasan-alasan politik maupun bentuk-bentuk diskriminasi lainnya, berlangsung kejam dan brutal serta extra-judicial. Kasus pembunuhan itu terjadi di pemukiman penduduk sipil, di gereja, termasuk di penampungan pengungsi di markas militer dan polisi. Penyiksaan dan Penganiayaan 24. Hampir dalam setiap kasus tindak kekerasan yang dilakukan anggota TNI, Polri dan milisi, terdapat bukti-bukti tentang penyiksaan dan penganiayaan terhadap penduduk sipil yang memiliki keyakinan politik berbeda. Sebelum proses jajak pendapat, penganiayaan dilakukan oleh milisi terhadap warga sipil yang menolak untuk bergabung atau menjadi anggota milisi. Sesudah pengumuman jajak pendapat, penganiayaan merupakan bagian dari tindakan teror dan ancaman pembunuhan yang terjadi dalam setiap penyerangan, penyerbuan dan pemusnahan prasarana fisik, termasuk berbagai kasus penyergapan terhadap iring-iringan pengungsi. Penghilangan Paksa 25. Penghilangan paksa (enforced disappearances) terjadi sejak diumumkannya dua opsi. Warga penduduk sipil yang berseberangan keyakinan politiknya telah diintimidasi, diancam dan dihilangkan. Penghilangan paksa ini dilakukan oleh kelompok-kelompok milisi yang diduga memperoleh bantuan dari aparat keamanan dengan cara menculik atau menangkap untuk kemudian beberapa di antaranya dieksekusi seketika (summary execution). Kekerasan berbasis Gender 26. Kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang dihimpun oleh KPP-HAM menyangkut penyiksaan, pemaksaan perempuan di bawah umur melayani kebutuhan seks para milisi, perbudakan seks dan perkosaan. Perkosaan terhadap perempuan Timor Timur memiliki bentuk: (a) seorang pelaku terhadap satu perempuan, (b) lebih dari satu pelaku terhadap satu perempuan, (c) lebih dari satu pelaku terhadap sejumlah perempuan secara bersamaan di satu lokasi, dan (d) penggunaan satu lokasi tertentu di mana tindak perkosaan dilakukan secara berulang kali. Pemindahan penduduk secara paksa 27. Keterangan dan bukti-bukti yang diperoleh oleh KPP HAM menunjukkan terdapat dua pola pemindahan penduduk sipil secara paksa. Yaitu pengungsian yang terjadi sebelum jajak pendapat karena intensitas kekerasan yang meningkat sebagai akibat dari pembentukan kelompok-kelompok milisi. Sesudah pengumuman hasil jajak pendapat, milisi dan anggota TNI, Polri, melakukan tindakan kekerasan dan memaksa penduduk meninggalkan pemukimannya. Pembumihangusan 28. KPP HAM di Timor Timur telah menemukan bukti bahwa telah terjadi suatu pengrusakan, penghancuran dan pembakaran secara massal, terencana dan sistematis di berbagai kota seperti Dili, Suai, Liquisa, dll. Pembumihangusan ini dilakukan terhadap rumah-rumah penduduk, kebun dan ternak, toko, warung, penginapan dan gedung-gedung perkantoran, rumah ibadah, sarana pendidikan, rumah sakit, dan prasarana umum lainnya, serta instalasi militer maupun polisi. Diperkirakan tingkat kehancuran mencapai 70-80%. Pola umum tindak kekerasan Unsur-unsur kejahatan terhadap kemanusiaan di atas menunjukan suatu proses kerja sistematik yang lahir dari suatu perencanaan. Hal ini dapat dilihat dari pola berikut: 29. Tahap setelah pengumuman opsi · Pembentukan dan pengaktifan kembali kelompok sipil bersenjata yang dimobilisasi atas nama kelompok Pro-integrasi dan keamanan. Kelompok-kelompok tersebut berada dibawah koordinasi langsung pihak TNI. · Memobilisasi kekuatan milisi untuk mendukung kekuatan Pro-integrasi dilakukan dengan menerapkan politik teror. Tindakan-tindakan tersebut dilakukan oleh aparat militer, Polri, birokrasi sipil dan milisi, berupa pembunuhan, penghilangan dan pengungsian paksa. · Tindakan memobilisasi kekuatan milisi tersebut seiring dengan adanya berbagai kebijakan pimpinan TNI dan Menko Polkam, yang sangat berkepentingan terhadap penciptaaan kondisi, bagi kepentingan pemenangan pro otonomi khusus, seperti Satgas Tribuana dan Satgas P4OKTT. 30. Tahap setelah perjanjian New York Kekerasan yang melibatkan aparat TNI dan Polri menurun secara drastis pada bulan Mei 1999, seiring dengan tercapainya perjanjian New York 5 Mei 1999. Upaya membangun kesan netral pemerintah Indonesia dalam mensukseskan jajak pendapat dilakukan dengan kantonisasi dan pembentukan satuan tugas P3TT. Akan tetapi, kebijakan Jakarta justru mempersiapkan kerangka kerja kekalahan opsi 1, berupa rencana penarikan mundur dan pengungsian yang beralasan amarah rakyat atas kecurangan Unamet, serta kekerasan oleh Pro-kemerdekaan. 31. Tahap pasca jajak pendapat · Berbagai kekerasan meningkat secara drastis hampir di seluruh wilayah Timor Timur. Kekerasan itu berupa pembunuhan, penculikan, perkosaan, pengrusakan, penjarahan harta benda dan tempat tinggal, pembakaran dan penghancuran instalasi militer, perkantoran, dan perumahan penduduk, serta berujung pada upaya pengungsian secara paksa. Aparat TNI, Polri dan Milisi menjadi kekuatan inti dari operasi kekerasan yang meliputi penciptaan kondisi, pemilihan tindakan, penentuan waktu, dan sasaran proyek pengungsian. Hal ini bertujuan untuk meyakinkan masyarakat internasional, bahwa hasil jajak pendapat patut diragukan dan masyarakat Timor-Timur lebih memilih rasa aman di wilayah NTT. · Berkembang tindak kekerasan dan intimidasi yang ditujukan terhadap para wartawan dan petugas badan-badan internasional. · Tahap akhir dari operasi kekerasan, adalah tetap bekerjanya milisi dan aparat TNI dalam menjaga konsentrasi jumlah pengungsi di wilayah NTT. Konfigurasi penyebaran pengungsi itu menunjukan efektifnya kontrol Milisi dan unsur TNI atas masyarakat pengungsi sampai akhir bulan Oktober 1999. (BERSAMBUNG) ---------- SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html