Precedence: bulk Untuk Rekonsiliasi Nasional: ISTIQLAL (28/02/2000)# KEMBANGKAN TITIK PERSESUAIAN ISLAMISME DAN KOMUNISME Oleh: Abdi Tauhid Usaha pemerintah Gus Dur, untuk pemulangan orang-orang yang selama pemerintahan fasis Suharto terhalang pulang dan rencana pencabutan TAP MPRS No XXV/1966 tentang larangan komunisme, supaya terwujud rekonsiliasi nasional, menunjukkan pemerintah Gus Dur hendak menegakkan demokrasi di Indonesia. Mudah dimengerti bila pendukung fasis Suharto menolak rencana pemerintah Gus Dur yang demikian. Mereka menganggap pencabutan Tap MPRS itu akan merugikan kepentingan mereka. Untuk menolak dicabutnya TAP MPRS tsb, mereka besar-besarkan perbedaan Islamisme dan komunisme. Mereka katakan komunisme itu bertentangan dengan Islam. Komunisme itu atheis. Untuk mencapai tujuannya, komunisme itu menggunakan perjuangan kelas, kekerasan. Padahal dalam hal-hal yang mendasar, yang substansial justru banyak terdapat persesuaian antara Islamisme dan komunisme. Tentang banyaknya terdapat persesuaian antara Islamisme dan komunisme, 74 tahun yang lalu, Bung Karno melalui karyanya "Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme" sudah mengatakan, diantaranya: kaum Islam tidak boleh lupa, bahwa kapitalisme musuh marxisme itu, ialah musuh Islamisme pula... Islamis yang "fanatik" dan memerangi pergerakan marxis adalah Islamisme yang tak kenal larangan-larangan ajarannya sendiri... Hendaklah kaum itu sama ingat, bahwa pergerakannya itu dengan pergerakan marxis, banyaklah persesuaian cita-citanya, banyak persamaan tuntutan-tuntutannya... Sayang, sayanglah jikalau pergerakan Islam Indonesia kita ini bermusuhan dengan pergerakan marxis itu" (DBR, hal: 12-13-14). Juga H. Misbach, seorang komunis keagamaan dari Solo, ketika dalam Kongres PKI di Bandung 4 Maret 1923 telah menunjukkan dengan ayat-ayat Al Quran akan banyaknya kecococokan antara Islam dan komunisme. Diantaranya, kedua-duanya memandang sebagai kewajiban menghormati hak-hak manusia dan kedua-duanya berjuang terhadap penindasan. Juga diterangkannya bahwa seorang yang tidak menyetujui dasar-dasar komunisme, mustahil ia seorang Islam sejati (lihat AK Pringgodigdo SH, dalam "Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia", hal: 28). H. Misbach juga mengemukakan: mustahil ia seorang komunis sejati, bila ia menentang ajaran Islam yang memerangi kapitalisme, yang menuju ke sosialisme, yang mau ke masyarakat tauhidi (tanpa kelas-kelas). Menentang Islam yang demikian, sama dengan menentang komunisme itu sendiri. Pada dasarnya, yang menolak rencana pemerintah Gus Dur untuk terwujudnya rekonsiliasi nasional, melalui dicabutnya Tap HPRS No XXV/1966 itu, hanya menunjukkan mereka hendak mempertahankan tetap terdapatnya perpecahan nasional, seperti yang dipraktekan fasis Suharto selama 32 tahun ia berkuasa. Marilah kita cermati, terutama persesuaian-persesuaian antara Islamisme dan komunisme. TENTANG AGAMA SEBAGAI CANDU BAGI RAKYAT Yang paling sering terdengar dari kalangan Islam yang "fanatik" (menurut istilah Bung Karno) ialah komunisme itu atheis. Mengapa sampai lahir ucapan demikian? Ucapan yang demikian lahir, karena Marx pernah mengatakan "agama itu adalah candu bagi rakyat". Tapi dalam konteks apa Marx mengucapkannya, tidak pernah diungkapkan oleh yang mengucapkan "komunisme itu atheis". Sebab, kalau mereka ungkapkan dalam konteks apa Marx mengucapkannya, akan merugikan mereka sendiri. Komaruddin Hidayat, dari Yayasan Paramadina, melalui tulisannya "Beragama Dikala Duka" (Kompas, 11/2/95) mengemukakan bahwa ketika Marx berbicara tentang Tuhan dan Agama, tidaklah berangkat dari postulat-postulat teologi, melainkan dengan mengamati situasi konkrit manusia, yang secara psikologis mereka tertindas oleh situasi sosial dan politik yang opresif. Marx yang merasa terpanggil untuk membela mereka yang tertindas secara politis dan ekonomis, ketika lembaga dan penguasa agama hanya menawarkan solusi berupa hiburan semu, yaitu janji-janji surga di seberang derita dan kematian. Bahkan Marx lebih kesal lagi, ketika melihat agama dengan para tokohnya telah berkolusi dengan penguasa yang tiran, yang menindas dan membodohi rakyat. Menurut Komaruddin Hidayat, yang menjadi sasaran pokok dari kritik Marx bukanlah hakikat Tuhan serta; ajaran metafisika agama, melainkan praktek keberagamaan yang bersikap eskaptis, yaitu menjadikan agama sebagai tempat pelarian dari pergulatan sosial yang memerlukan penyelesaian konkrit, bukannya tawaran surgawi di seberang kematian. Keberagamaan semacam ini, bagi pemikir semacam Marx tak ubahnya sebagai opium yang menghilangkan derita sementara (palliatif), karena akar penyutitnya tidak tersentuh sama sekali. Sekiranya tokoh-tokoh agama ketika itu, tidak menjadikan agama sebagai tempat pelarian dari pergulatan sosial yang memerlukan penyelesaian konkrit bukan tawaran surgawi di seberang kematian, bukan berkolusi dengan penguasa yang tiran, tentu tak akan muncul ucapan yang demikian dari Marx, persoalannya akan menjadi lain. Seperti dikatakan Komaruddin Hidayat, sekiranya mereka yang memerangi marxisme atau komunisme itu mengetahui dalam konteks apa Marx mengucapkannya, boleh jadi mereka akan membenarkan Marx. Sekarang marilah kita lihat titik-titik pertemuan atau persesuaian antara Islamisme dan Komunisme. TENTANG PERJUANGAN ISLAM Sementara orang Islam yang menentang komunisme; mengatakan bahwa komunisme dalam perjuangannya untuk mencapai tujuan menggunakan kekerasan, perjuangan kelas. Kaum komunis memang tak pernah menyembunyikan bahaya untuk mencapai tujuannya, yaitu hapusnya kapitalisme, kaum komunis menggunakan perjuangan kelas. Sejarah semua susunan masyarakat yang ada hingga sampai sekarang, kata Marx melalui manifes, komunis, adalah sejarah pertentangan kelas. Orang merdeka dengan budak, patricier dengan plebeyer, tuan dan hambanya, tukang dan keneknya, tegasnya yang menindas dan yang tertindas, satu sama lain terus menerus bertentangan, kadang-kadang dengan cara sembunyi, kadang-kadang dengan cara terang-terangan, tetapi pertentangan itu selalu berakhir dengan terjadinya perubahan-perubahan besar dan seluruh masyarakat atau sama binasanya kelas-kelas yang bertentangan itu. Sejarah yang dimaksud Marx itu adalah sejarah tertulis hingga tahun 1848, ketika manifes itu ditulis. Sejarah yang lebih tua dari susunan pergaulan hidup manusia, boleh dikata belum diketahui orang. Perjuangan kelas dilakukan, karena kelas yang berkuasa tidak akan secara sukarela menyerahkan kekuasaannya yang menindas. Kebebasan harus diperjuangkan, direbut. Tidak akan diperoleh dengan mengharap belas kasihan dari kelas yang menindas. Menjadi pertanyaan: apakah tujuan Islam untuk menjadikan kaum mustadhafin (tertindas dan miskin) menjadi pemimpin di bumi dan mewarisi bumi, seperti dikemukakan dalam surat Al Qashash ayat 5-6 akan membumi, tanpa kaum mustadhafin melakukan perjuangan kelas? Yang sudah jelas dalam surat Ar Ra'du ayat 11 dikatakan "Tuhan tidak akan merubah keadaan sesuatu kaum, bila bukan kaum itu sendiri yang merubahnya". Artinya, kaum tertindas dan miskin (buruh, tani, miskin kota dan rakyat pekerja lain) akan tetap tertindas dan miskin, bila mereka tidak merubah keadaan dirinya. Untuk merubahnya itu, kaum mustadhafin harus mengorganisasi diri, menyusun kekuatan dan berJuang untuk melemparkan belenggu yang dililitkan kaum mustakbirin (para tiran, angkuh dan kaya) di leher mereka. Belenggu itu harus dicampakkan, baru mereka menjadi bebas. Kaum mustadhafin tidak bisa mengharap belas kasihan dari kaum mustakbirin, untuk dengan sukarela melepaskan belenggu yang mereka lilitkan dileher kaum mustadhafin. Justru kaum mustakbirin akan mempertahankan supaya kaum mustadhafin tetap terbelenggu, tetap tertindas dan miskin. Situasi itu akan mereka pertahankan dengan mati-matian. Sedekah, infak, zakat dari kaum mustakbirin bukanlah untuk menghapuskan belenggu penindasan dan penghisapan, malah bisa kaum mustadhafin ternina bobo, bila mereka sampai menggantungkan nasibnya pada sedekah, infaq dan zakat itu. Sedekah, infak, zakat hanya sekedar bantuan. Petunjuk surat Ar Ra'du ayat 11 cukup tegas, kaum mustadhafin harus melakukan perjuangan melawan kaum mustakbirin yang menindas. Dan itu adalah perjuangan kelas. Malah dalam perjuangan untuk tegaknya keadilan di bumi, Islam malah memperingatkan umatnya melalui surat An Nisa' ayat 75: "Mengapa kamu tidak berperang untuk membebaskan orang-orang yang teraniaya?" Peringatan Tuhan tsb menunjukkan Islam lebih keras dari perjuangan kelas yang diajarkan Marx. Kaum buruh tidak perlu dengan perang untuk bisa mendapat upah dan jaminan sosial yang lebih baik Herjuangan untuk naiknya upah dan jaminan sosial, itu merupakan bagian dari perjuangan kelas itu sendiri. Jadi, sesungguhnya Islamisme dan komunisme, sama-sama melakukan perjuangan kelas untuk mencapai tujuannya, yaitu hapusnya kapitalisme. Hanya berbeda istilah yang digunakan. Hakikatnya sama. Marx menggunakan istilah "perjuangan kelas", Islam menggunakan "usaha kaum". Usaha itu adalah perjuangan, kaum itu adalah kelas dalam masyarakat. ISLAMISME DAN KOMUNISME SAMA MEMERANGI KAPITALISME Tentang komunisme anti kapitalisme, bukan lagi bersuluh batang pisang, tapi telah bersuluh matahari. Komunisme menentang adanya penghisapan manusia atas manusia, komunisme menghendaki berlakunya keadilan dalam segala aspek kehidupan. Bagaimana dengan Islam? Apakah Islam juga anti kapitalisme, juga menentang adanya penghisapan manusia atas manusia dan juga menghendak keadilan dalam segala aspek kehidupan. Untuk menjawabnya, marilah kita buka lembaran ayat-ayat Al Quran. 1200 tahun sebelum Karl Marx muncul dengan Manifes Komunisnya. Quran, melalui surat AL Antam ayat 145 menyatakan "haram hukumnya memakan darah yang mengalir". Yang dimaksud dengan "memakan darah yang mengalir" bukannya hanya secara harfiah (yaitu hisap darahnya melalui tempat kulitnya yang dilukai), tapi lebih dalam lagi, yaitu memakan darah yang sedang mengalir dalam tubuh seseorang melalui pencuriant hasil tenaga kerjanya. Seperti diketahui, ketika Al Quran turun, di jazirah Arab terdapat tuan budak dan budak serta golongan merdeka. Si tuan budak senantiasa memakan darah yang mengalir dalam tubuh budak-budaknya, melalui memeras tenaga para budaknya. Si tuan budak tidak akan bisa memakan darah yang mengalir dalam tubuh budak-budaknya, bila darah telah berhenti mengalir dalam tubuh para budak tsb. Darah berhenti mengalir, berarti si budak itu telah berhenti sebagai manusia, ia telah jadi mayat. Di zaman kapitalis ini, si tuan kapitalis senantiasa mamakan darah yang mengalir dalam tubuh para buruhnya. Kapitalis tak akan dapat menghisap atau memeras tenaga kerja kaum buruh, kalau dalam tabuh kaum buruh itu darah tidak lagi mengalir. Kaum buruhnya memang diberi upah, sekedar untuk besok bisa bekerja lagi. Dengan demikian ia dapat memakan lagi darah yang mengalir dalam tubuh kaum buruh itu . Menurut istilah HOS Tjokroaminoto, melalui bukunya "Islam dan Sosialisme", yang ditulisnya di Mataram pada bulan November 1921, bahwa memakan darah yang mengalir dalam tubuh kaum buruh itu adalah "riba". Lengkapnya yang dikatakan HOS Tjokroaminoto tsb sbb: "Menghisap keringat orang yang bekerja, memakan hasil pekerjaan orang lain, tidak memberikan bahagian keuntungan yang semestinya (dengan seharusnya) menjadi bahagian lain orang yang turut bekerja mengeluarkan keuntungan. Itu semua perbuatan yang serupa ini (oleh Karl Marx disebut memakan keuntungan meeraraarde (nilai lebih-pen)), adalah dilarang sekeras-kerasnya oleh agama Islam, karena itulah perbuatan memakan riba belaka. Dengan begitu maka nyatalah agama Islam memerangi kapitalisme sampai pada "akarnya", membunuh kapitalisme daripada "benihnya". Oleh karena pertama-tama sekali yang menjadi dasarnya kapitalisme, yaitu memakan keuntungan meerwaarde sepanjang paham Karl Marx dan memakan riba sepanjang-pahamnya Islam (hal;17). Menghisap keringat atau memakan darah yang mengalir dalam tubuh orang lain tsb, adalah memakan barang yang batil (tiada hak). Surat Al Baqarah ayat 188 dengan tegas mengatakan: "Janganlah sebagian kamu memakan harta orang lain dengan yang batil (tiada hak) dan (jangan) kamu bawa kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta orang dengan berdosa, sedang kamu mengetahuinya". Kaum kapitalis ini senantiasa menumpuk-numpuk riba-riba yang diperolehnya dari tenaga kerja kaum buruh, sehingga makin lama makin besar dan kemudian dengan hasil riba yang telah bertumpuk-tumpuk itu diperbesarnya pula usaha itu, supaya dapat lebih banyak lagi memakan riba (atau hasil tenaga kerja kaum buruh itu). Surat dI hHmazah (ayat 1-4) mengutuk orang-orang yang menumpuk-numpuk harta ini. Cukup jelas, baik Islamisme maupun komunisme sama-sama memerangi kapitalisme. Berdasarkan persesuaian tujuan tsb, seharusnya Islamisme dan Komunisme bersekutu. Bukannya saling menjegal atau memerangi. ISLAMISME DAN KOMUNISME SAMA-SAMA KE SOSIALISME Bahwa Sosialisme menjadi tujuan Komunisme, setelah menumbangkan kapitalisme, sudah menjadi pengetahuan umum. Di bawah sistem sosialis, alat-alat produksi dikuasai oleh negara. Tidak ada lagi alat-alat produksi menjadi milik perseorangan. Dengan demikian tertutup bagi kaum kapitalis untuk menghisap kaum tertindas dan miskin. Di bawah sistem sosialis,seseorang akan mendapat menurut prestasi kerjanya. banyak prestasi kerjanya, akan banyak ia mendapat. Orang yang tidak bekerja, tak berhak untuk mendapat. Bahwa Sosialisme juga menjadi ajaran Islam, itu cukup gamblang dengan karya HOS Tjokroaminoto "Islam dan Sosialisme". Malah H. Agusalim pada tahun 1921 di Surabaya, ketika Kongres Nasional VI SI bulan Oktober, telah mengatakan "Nabi Muhammad SAW sudah mengajarkan sosialisme sejak 1200 sebelum Karl Marx ". Ucapan H. Agusalim itu guna menjawab argumen Semaun dan Tan Malaka yang hendak menguasai jalannya kongres dengan program komunisnya (Sekneg, "G.30-S pemberontakan PKI", hal: 11 ). Hanya saja, baik HOS Tjokroaminoto, maupun H. Agusalim tidak menyebutkan ayat mana dalam Al Quran yang menunjukkan hal itu. Sosialisme Islam itu benar diajarkan oleh Nabi. Karena dalam surat Al Qashash ayat 5-6, dikatakan: "Kami berjanji akan memberi karunia kepada kaum tertindas dan miskin (mustadhafin) untuk menjadikan mereka sebagai pemimpin di bumi dan mewarisi bumi. Kami tegakkan kedudukan mereka. Artinya, bila surat Al Qashash ayat 5-6 telah membumi, janji Allah telah dibumikan, maka kaum mustakbirin (para tiran, angkuh dan kaya) tidak dapat lagi melakukan penindasan dan penghisapan kepada kaum mustadhafin. Surat Al An'am ayat 145, surat Al Baqarah ayat 188 akan diamalkan dengan sungguh-sungguh. Kaum mustadhafin telah menjadi pemimpin. Hingga kini, setelah 14 abad lebih sejak turunnya Al Quran, Sosialisme yang dijanjikan dalam Al Qashah ayat 5-6 itu juga belum membumi. Hal itu tentu bukan karena Tuhan ingkar janji, melainkan karena umat Islam sendiri tidak mengikuti petunjuk Tuhan dalam burat Ar Ratdu ayat 11. Hal itu dimungkinkan karena ulama dan cendekiawanya, lebih banyak melihat kepada simbol-simbol, bukan kepada substansi Al Qurannya. Jadi, belum tegaknya sosialisme di dunia kini bukan semata-mata karena kaum komunis belum berhasil memperjuangkannya, tetapi juga karena sementara umat Islam sendiri juga menentang sosialisme, melalui menentang komunisme. Umat Islam yang menentang sosialisme, adalah menentang ajaran Al Quran itu sendiri. Marilah kita cermati, terutama persesuaian-persesuaian antara Islamisme dan komunisme. TONTONAN SEBAGAI CANDU BAGI RAKYAT Yang paling sering terdengar dari kalangan Islam yang "fanatik" (menurut istilah Bung Karno) ialah komunisme itu atheis. Mengapa sampai lahir ucapan demikian? Ucapan yang demikian lahir, karena Marx pernah mengatakan, "agama itu adalah candu bagi rakyat"- Tapi dalam konteks apa Marx mengucapkannya, tidak pernah diungkapkan oleh yang mengucapkan "komunisme itu atheis". Sebab, kalau mereka ungkapkan dalam konteks apa Marx mengucapkannya, akan merugikan mereka sendiri. Komaruddin Hidayat, dari Yayasan Paramadina, melalui tulisanya "Beragama Dikala Duka" (Kompas, 11/2/95) mengemukakan bahwa ketika Marx berbicara tentang Tuhan dan Agam, tidaklah berangkat dari postulat-postulat teologi, melainkan dengan mengamati situasi konkrit manusia, yang secara psikologis mereka tertindas oleh situasi sosial dan politik yang opresif. Marx yang merasa terpanggil untuk membela mereka yang tertindas secara politis dan ekonomis, ketika lembaga dan penguasa agama hanya menawarkan solusi berupa hiburan semu, yaitu janji-janji surga di seberang derita dan kematian. Bahkan Marx lebih kesal lagi, ketika melihat agama dengan para tokohnya telah berkolusi dengan penguasa yang tiran, yang menindas dan membodohi rakyat. Menurut Komaruddin Hidayat, yang menjadi sasaran pokok dari kritik Marx bukanlah hakikat Tuhan serta ajaran metafisika agama, melainkan praktek keberagamaan yang bersikap eskaptis, yaitu menjadikan agama sebagai tempat pelarian dari pergulatan sosial yang memerlukan penyelesaian konkrit, bukannya tawaran surgawi di seberang kematian. Keberagamaan semacam ini, bagi pemikir semacam Marx tak ubahnya sebagai opium yang menghilangkan derita sementara (palliatif), karena akar penyakitnya tidak tersentuh sama sekali. Sekiranya tokoh-tokoh agama ketika itu, tidak menjadikan agama sebagai tempat pelarian dari pergulatan sosial yang memerlukan penyelesaian konkrit, bukan tawaran surgawi di seberang kematian, bukan berkolusi dengan penguasa yang tiran, tentu tak akan muncul ucapan yang demikian dari Marx. Persoalannya akan menjadi lain. SEDIKIT TENTANG TAP MPRS No XXV/1966 Mengenai rencana pemerintah Gus Dur untuk mencabut TAP IdPRS N0 XXV/66, yang melarang komunisme adalah untuk menegakkan demokrasi, untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Tegasnya untuk tegaknya Pancasila dan UUD 1945. Dikatakan untuk menegakkan demokrasi, karena larangan terhadap komunisme adalah tindakan fasis. Seperti diketahui, definisi fasisme, menurut Sekneg, melalui "buku putih" (G.30-S pemberontakan PKI) ialah: "Ideologi otoriter yang memuja superioritas nasional. Inti komunisme dan liberalisme", (lihat ruang Glosari, hal: 65). Jadi, dicabutnya TAP MPRS tsb adalah untuk demokrasi itu sendiri. Dikatakan untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, karena "Pancasila adalah sarana pemersatu bangsa", seperti dikatakan Bung Karno sebagai penggalinya. Sedang TAP MPRS tsb adalah memecah persatuan bangsa. TAP MPRS tsb bertentangan dengan UUD 1945, terutama dengan pasal 27 dan 28, yang mengatakan semua warga negara bersamaan kedudukannya di depan hukum dan pemerintahan tanpa kecuali; kemerdekaan untuk berorganisasi, berkumpul, mengeluarkan pendapat dengan lisan dan tulisan. TAP MPRS itu memperlakukan warga negara secara diskriminatif. Apalagi TAP MPRS yang melarang ajaran komunisme, marxisme-leninisme itu lahir dari "MPRS sulapan" Suharto, bukan dari MPRS yang dibentuk Presiden Sukarno berdasarkan Dekrit kembali ke UUD 1945 tertanggal 5 Juli 1959. Dikatakan MPRs-sulapan, karena 105 orang anggotanya, yang mengangkat Suharto, tanpa hak. Suharto bukan presiden. 105 anggota MPRS yang diangkat Suharto itu, untuk menggantikan 105 orang anggota MPRS yang dibentuk Presiden Sukarno, yang dipecatnya. Suharto mengangkatnya dengan memanipulasi Supersemar sebagai "pelimpahan kekuasaan", padahal Supersemar hanya "pelimpahan tugas pengamanan", seperti dikatakan Presiden Sukarno dalam pidato 17 Agustus 1966. TAP MPRS yang tidak konstitusional itulah yang hendak dicabut pemerintahan Gus Dur. KESIMPULAN Jelas kiranya, terdapat banyak titik persesuaian antara Islamisme dan komunisme. Islamisme dan komunisme sama-sama melakukan perjuangan kelas (perjuangan kaum) untuk mengalahkan kapitalisme dan memenangkan sosialisme. Titik persesuaian itu perlu dikembangkan untuk terwujudnya rekonsiliasi nasional yang sejati. Hanya kaum fasis pendukung Suharto, yang akan menolak dicabutnya TAP MPRS No XXV/1966 itu. Kaum fasis tak berkeinginan adanya rekonsiliasi nasional. Mereka menghendaki tetap adanya perpecahan nasional. Di atas perpecahan nasional itulah mereka bisa hidup. *** ---------- SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html