Precedence: bulk


Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka
PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom
E-mail: [EMAIL PROTECTED]
Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp
Xpos, No 05/III/13-19 Pebruari 2000
------------------------------

JANGAN LUPA NAMA SUTIYOSO

(POLITIK): Dua nama luput dari daftar pemanggilan Komnas HAM terhadap
pejabat militer dan sipil kasus 27 Juli 1996. Sutiyoso dan Abubakar Nataprawira.

Perempuan suci Kalkuta, Bunda Theresia pernah berujar, "Tuhan bersahabat
dengan diam". Goenawan Mohamad dalam Catatan Pinggir menambahkan, "Kembang
tumbuh tanpa kata dan bulan bergerak tanpa berisik" (Tempo, Mei 1999).
Politik kontemporer Indonesia mengenali "diam" sebagai Megawati
Soekarnoputri. Pun ketika peristiwa berdarah menimpa PDI-P. Kini, dari luar
negeri Gus Dur membuka jalan.

Seusai bertemu PM Italia Massimo D'Atema, lawatan Presiden Abdurrahman Wahid
dilanjutkan ke Belgia. Kepada pers, presiden mengeluarkan pernyataan yang
memancing reaksi mantan Pangab Jenderal (Purn) Feisal Tanjung. Sewaktu
menjadi Pangab, demikian Gus Dur, Feisal memerintahkan Pangkostrad Wiranto
(1996-1997) untuk melenyapkan dirinya dan Ketua Umum PDI Megawati. "Dia mau
membantah, silahkan saja. Memangnya yang bikin kerusuhan di PDI siapa?"
lanjut presiden di Brussels, Belgia.

Di tanah air, pernyataan itu beroleh sambut. Selain bantahan Feisal bersama
mantan Kasum ABRI Letjen (Purn) Tarub, ada pula respon baik. Komnas HAM
berrencana memeriksa beberapa mantan pejabat militer dan sipil yang diduga
terkait penyerbuan kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro hari Sabtu, 27 Juli
1996. Beberapa nama sempat dilansir Ketua Subkomisi Pemantauan HAM Komnas
HAM, Albert Hasibuan (10/2). Selain Feisal Tanjung dan Tarub, tersebut nama
Syarwan Hamid (Kassospol ABRI) dan Sutoyo NK (Dirjen Sospol Depdagri). Tidak
dijelaskan mengapa Wiranto selaku Pangkostrad waktu itu tidak masuk dugaan.

Namun bukan cuma Wiranto yang luput. Terdapat dua nama penting belum
disinggung Albert atau pemberitaan media. Mereka: mantan Pangdam Jaya Mayjen
TNI Sutiyoso dan mantan Kapolres Jakpus Letkol Abubakar Nataprawira. Kalau
alasannya lantaran konsentrasi ke 'kakap' kurang kena. Sutiyoso dan Abubakar
jelas tergolong kakap. Sebagai Pangdam merangkap Ketua Bakorstanasda Jaya
Sutiyoso punya kendali atas pasukan di Jakarta.

Rangkai peristiwa bermula dari penyelenggaraan "Kongres Medan" oleh Suryadi,
Fatimah Ahmad, Buttu R Hutapea dan Lukman F Mokoginta, 20-23 Juni 1996.

Menolak Kongres Medan, di Jakarta berlangsung unjuk rasa damai (peaceful
long march) dari muka Kantor DPP PDI menuju Lapangan Monas, (20/6/96).
Sedari pagi ribuan massa PDI didukung kelompok-kelompok dan tokoh-tokoh
gerakan demokrasi membentuk barisan sepanjang lebih kurang satu kilometer.
Menjelang tengah hari iringan massa terhadang di depan Gedung Seni Rupa
Depdikbud,  Gambir. Tak sampai memakan waktu lama ribuan massa dipaksa
mundur melalui kekerasan. Puluhan orang luka parah dan ratusan lain luka ringan.

Pangdam Mayjen TNI Sutiyoso dari atas kendaraan militer kemudian terlihat
melintas menyisir lokasi. Memutar di simpang Tugu Tani, ia menghentikan
kendaraan di pertigaan Jalan Gondangdia untuk memberi pernyataan pers saat
itu juga. Tidak jauh, seorang ibu berpakaian merah terkulai lemas bernapas
satu-satu. Darah dari kepalanya mengalir terus membasahi aspal. Si ibu bukan
peserta unjuk rasa. Kebetulan saja kaos polos yang dikenakan sewarna dengan
kaos kebanyakan massa demonstran.

Ketika  ditanya perihal kekerasan aparat, Sutiyoso menjawab, "Bukan hanya
mereka yang luka-luka. Anak buah saya juga banyak yang cedera. Tidak
percaya? Silakan Saudara cek sendiri ke rumah sakit". Hari itu, 54 orang
ditangkap. Sebelum diangkut ke Polda Metro Jaya, mereka dipaksa berjemur di
halaman Markas Kostrad, tak jauh dari lokasi.

Epilog peristiwa pun tak lepas dari keterlibatan Sutiyoso. Jakarta pasca 27
Juli dicekam isu peledakan bom di sejumlah gedung perkantoran. Entah benar
atau sekedar isu, perintah tembak di tempat dikeluarkan Pangdam. Didesak
tuntutan menghadirkan tersangka, Intel Bakorstanasda Jaya menculik aktivis
Hendrik Dikson Sirait seusai yang bersangkutan menghadiri sidang perkara PDI
di PN Jakarta Pusat, awal Agustus 1996. Selama seminggu disekap Hendrik
disiksa, dipentung, disetrum dan sundut nyala api rokok. Ia dipaksa mengaku
sebagai anggota Partai Rakyat Demokratik (kambing hitam kala itu -red) dan
salah seorang otak pelaku ancaman bom. Padahal, "Intel-intel itu tahu betul
saya bukan dari PRD," terang Hendrik.

Sampai di situ alasan menyeret Sutiyoso cukup kuat. Namun hingga berita ini
diturunkan, Sutiyoso belum memberi keterangan. Beberapa staf Pemda DKI yang
mengetahui maksud Xpos menolak menghubungkan ke Sutiyoso. "Sudahlah, mas.
Itu sudah lalu. Soal becak dan Taman Puring saja kita sudah repot, kok."

Lalu, bagaimana Abubakar? Setelah menggantikan Dadang Garnida yang dipindah
ke Palembang, Abubakar 'giat' menangkapi aktivis. Sebagai operator lapangan,
ia pun terlibat sejak prolog hingga tuntas peristiwa. Penyerbuan Sabtu
Kelabu diikuti Abubakar dari jarak 100 meter.

Belakangan pernyataan Hasibuan dibantah rekannya dari Komnas. "Kasus 27 Juli
sebetulnya sudah selesai kita tangani," tutur anggota Komnas Samsuddin.

"Rekomendasi juga telah dikeluarkan dimana tercantum kelompok yang
bertanggungjawab, tidak ada person-person seperti diperkirakan selama ini".
Keterangan ini boleh dibaca sebagai peringatan. "Diam" tidak melulu sama
konteksnya dengan ujaran Bunda Theresia. (*)

---------------------------------------------
Berlangganan mailing list XPOS secara teratur
Kirimkan alamat e-mail Anda
Dan berminat berlangganan hardcopy XPOS
Kirimkan nama dan alamat lengkap Anda
ke: [EMAIL PROTECTED]


----------
SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html

Kirim email ke