Precedence: bulk


Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka
PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom
E-mail: [EMAIL PROTECTED]
Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp
Xpos, No 06/III/27 Pebruari-4 Maret 2000
------------------------------

PENGUNGSI

(LUGAS): Halaman depan surat kabar serta majalah-majalah kita (termasuk
media ini), hari-hari ini selalu penuh dengan berita high politics.
Berita-berita tentang elit politik. Tentang manuver-manuver mereka yang
berada di dalam lingkaran kekuasaan ataupun yang berada di luar. Tentang Gus
Dur, tentang Wiranto, tentang kudeta dan lain sebagainya. Atau tentang
keadaan ekonomi kita secara makro. Tentang IMF, Bank Dunia, anti-IMF dan
anti-Bank Dunia.

Wajar saja. "Ini kan masa transisi," kira-kira begitu cara paling tepat
untuk memberi pembenaran. Lagi pula, bagi umumnya media massa, berita-berita
semacam inilah yang bisa mendongkrak oplah penjualan. Berita-berita lain
tentu masih diberi ruang. Hanya saja, seringkali kehilangan kedalaman. Amat
disayangkan, konsentrasi yang berlebihan pada persoalan-persoalan elit,
membuat sejumlah persoalan sosial yang amat urgen terasa terabaikan. 

Contohnya, persoalan pengungsi. Sebagai imbas dari konflik sosial dan
politik di berbagai daerah seperti Ambon, Aceh dan bekas wilayah RI, Timor
Timur, ratusan ribu bahkan jutaan pengungsi kini terlantar di berbagai
pos-pos pengungsian. Bahkan sejak awal terjadinya konflik, mereka kurang
mendapat perhatian. Kebanyakan orang lebih suka bicara tentang sebab, dalang
serta proses terjadinya konflik itu sendiri. Ketimbang berbicara tentang
bagaimana nasib para pengungsi.

Entah apa yang membuat kita sedemikian tumpulnya. Padahal, kondisi para
pengungsi di berbagai tempat, umumnya mengenaskan. Seperti yang dialami
ratusan pengungsi asal Timor Timur di asrama Transito Denpasar, yang
diberitakan terpaksa mengkonsumsi air sumur berwarna kuning kecoklatan
akibat suplai air dari PDAM mendadak dihentikan. Demikian pula dengan para
pengungsi di Ternate yang mulai kesulitan memperoleh makanan, akibat
terbatasnya kemampuan pemerintah daerah setempat. Seorang aktifis LSM
setempat menyatakan, ia telah terbiasa dengan keadaan demikian, "Yang lebih
kami butuhkan adalah makanan-makanan untuk bayi."

Mereka adalah korban. Korban konflik yang mereka tidak ingingkan, dan korban
dari situasi tidak menyenangkan di tempat baru yang kini terpaksa mereka
tempati. Sangat mungkin pula, mereka akan kembali jadi korban
ketidakpedulian kita.

Kalau untuk begitu banyak urusan elit, dibentuk banyak komisi, rasanya tak
ada salahnya pula membentuk komisi khusus urusan pengungsi. Kebersamaan kita
mengatasi masalah pengungsi, mungkin bisa jadi contoh kongkrit, bagaimana
persoalan SARA harus diselesaikan dengan tindakan nyata dan bersama. Bukan
cuma omong doang. (*)

---------------------------------------------
Berlangganan mailing list XPOS secara teratur
Kirimkan alamat e-mail Anda
Dan berminat berlangganan hardcopy XPOS
Kirimkan nama dan alamat lengkap Anda
ke: [EMAIL PROTECTED]


----------
SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html

Kirim email ke