Precedence: bulk MARINIR Oleh: Otto Syamsuddin Ishak Saya pernah memendam rasa kagum terhadap marinir -dan itu terjadi jauh ketika masih bernama KKO. Rasa kagum itu muncul ketika rombongan saya berangkat dari Surabaya menuju Ujungpandang. Rupa-rupanya Surabaya memang sudah menjadi bumi KKO dan, kini marinir. Karena itu prajurit KKO selalu terkilas dihadapan saya. Dalam pelayaran itu, tiba-tiba seorang penumpang membisikkan sesuatu di telinga. Ia menyatakan KKO adalah pasukan elitnya Angkatan Laut. Mereka memiliki disiplin yang sangat tinggi bahkan hampir muskil rasanya. Ia memberi contoh bahwa bila ada prajurit yang berbuat salah, bahkan khilaf dalam menjalankan tugasnya, maka sang prajurit dengan segera menghukum dirinya sendiri. Saat ini terbayang di dalam pikiran saya, kedisiplinan yang sudah berubah menjadi kontrol diri yang ketat itu tentunya menunjukkan moralitas yang tinggi. Kedisiplinan adalah rancang bangun yang berdiri di atas fundasi moral. Komandan bukan lagi momok, bukan lagi senior, bukan lagi pangkatnya yang lebih tinggi, bukan lagi yang paling kuasa --melainkan adalah pribadi yang memiliki integritas moral yang lebih tinggi. Komandan menjadi aturan yang hidup dan memberi tauladan. Semua gerak-gerik komandan telah menjadi aturan keprajuritan yang berlaku bagi para prajurit KKO yang berada di dalam kendalinya. Sebab tak mungkin anak buah yang tahu diri berada di bawah kontrol komandan yang tak tahu diri -dan sebaliknya. Barangkali sosok KKO merupakan prototipe model ideal yang disebut prajurit profesional kerakyatan. Mereka memiliki prinsip sendiri, status yang jelas dan peran yang terkomando. Mereka tak mudah terombang-ambing oleh perubahan cuaca politik elite Negara, sebagaimana mereka mampu mengatasi perubahan cuaca lautan bebas yang sukar diprediksi. Ketika 1965, pasukan elite Angkatan Laut ini relatif memiliki posisi yang tak terlibat dalam konflik perebutan kekuasaan di Jakarta. Karena sikapnya yang mandiri, maka mereka justru memiliki nilai politik yang tinggi. Mereka disegani oleh angkatan lain dan --yang paling penting dicintai rakyat di mana mereka menjalankan tugasnya. Namun, karena itu pula Rezim yang berkuasa setelah kudeta 1965 itu memarjinalkan atau meminggirkan peran Marinir. Marinir menjadi tenggelam, dan rasa kagum saya pun terpendam. Rasa kagum itu kembali mencuat pada masa reformasi. Tampilan mereka yang disiarkan oleh TV swasta itu kembali menggugah rasa kagum itu. Bagaimana sang komandan dan anak buah berjalan di Salemba dengan senjata lengkap dan santai di saat-saat yang menegangkan itu, tapi tak terkesan arogan. Rakyat mengelu-elukan kehadiran Marinir, yang dibalas dengan senyuman. Label elite yang mereka sandang tak identik dengan momok, melainkan terkesan sebagai Ratu Adil. Dan, saya melihat truk-truk Marinir di jalan Jakarta. Para prajurit terkesan duduk santai. Senjata mereka tak menghunus. Kecepatan kenderaan normal, tak terkesan gawat darurat, kegugupan pasukan atau pun kehendak untuk diperlakukan istimewa oleh para pengguna jalan lainnya. Namun, pemandangan demikian ternyata tak mengurangi nilai dari label sebagai kesatuan elite. Marinir tampaknya tak bermain politik dan ingin dipermainkan oleh politik gonjang-ganjing elite Jakarta. Mungkin karena itulah, Marinir memiliki nilai kredibilitas (dapat dipercaya) dan akuntabilitas (tak korup) yang tinggi di mata rakyat. Apalagi Marinir tak pernah tercatat di hati rakyat pernah bergerak secara siluman untuk menghantam rakyat. Mereka selalu tampil dengan jati diri seutuhnya dan, dengan kontrol emosional yang kuat. Saya kira Marinir akan melakukan operasi amuk ketika Mayor Edy diculik dan dihilangkan. Operasi amuk itu bisa tampil dengan berbagai wajah, misalnya: asal tangkap, asal bakar, asal siksa dan asal jarah harta benda rakyat. Toh, mereka memang elite -yang bisa berarti mahakuasa. Ketika di bandara, saya berkenalan dengan seorang prajurit Marinir asal Aceh. Karena keramahannya, maka saya terdorong untuk bertanya: "siapakah sebenarnya pelaku penculikan itu menurut analisis Marinir?" Ia menjawab singkat: "Itu permainan politik tingkat tinggi." Karena dalam situasi hiruk-pikuk reformasi di Jakarta, Marinir berkali-kali dipancing untuk konflik dengan mahasiswa dan rakyat. Tapi komandan kami punya kebijakan tersendiri. Bahwa Marinir itu berasal dari dan bila sudah selesai tugas juga akan kembali sebagai rakyat sipil. Marinir bukanlah disiapkan untuk berhadapan dengan rakyat maupun mahasiswa. Kami justru diadakan atau ditugaskan untuk melindungi mereka dari provokasi kelompok-kelompok pericuh. "Mengapa selama tugas di Aceh, Marinir dapat hidup tenang di tengah-tengah masyarakat?" "Begini," katanya lebih lanjut, "bahwa dalam menjalankan tugas Marinir selalu mempertimbangkan faktor budaya setempat. Karena itu, dalam setiap satuan prajurit itu, selalu ada putra daerah setempat." Rupanya Marinir mempertimbangkan faktor budaya lokal dalam mengambil kebijakan. Memang masyarakat menyaksikan bagaimana pendekatan kultural itu dipraktekkan oleh para prajurit Marinir. Seorang rekan di Idi mengatakan ketika terjadi operasi amuk di Idi oleh kesatuan lain, ada 3 prajurit Marinir di pasar yang sedang bekerja menaik-turunkan tong-tong seorang tauke udang. Mereka berpakaian sipil sebagaimana layaknya seorang pekerja. Mereka tak hendak menggunakan senjata yang berada di tangannya dan memanfaatkan ketakutan masyarakat untuk mengambil hak preman. Mereka menhidupi dirinya dengan bekerja dan, sekaligus mengamankan daerah operasinya. Kata "mengamankan" menjadi penting karena itu pula mereka hampir bentrok senjata dengan pasukan yang sedang melakukan operasi amuk. Mereka mencegah praktek main tangkap, siksa, jarah dan bumi hangus harta benda warga sipil. Akibatnya mereka harus meminta bantuan dari kesatuannya untuk mencegah bentrok senjata dan arus balik operasi amuk itu. Setelah musibah Mayor Edy, kini 6 prajurit marinir kembali menjadi korban di markasnya sendiri di desa Ujoengblang, Bireuen. Mengapa prajurit Marinir lagi-lagi dikorbankan? Masyarakat mengatakan prajurit Marinir melakukan shalat bersama dan, juga gotong royong. Sementara Komandan Kodim 0103/Aceh Utara, Letkol Inf. Suyatno mengatakan pelakunya gerilyawan AGAM pimpinan Muslem. Dan, GAM mengatakan pembokongnya Brimob. Sementara komandan Marinir mengatakan mereka tak ada masalah dengan AGAM meskipun sudah bertugas sejak 1991. Lalu, siapakah pelakunya? Yang pasti mereka punya senjata, punya ruang gerak yang luas; dan tak dicurigai oleh para prajurit Marinir; serta punya kemampuan militer yang juga elitis. Kehadiran Polisi Militer pasca kejadian juga penting dikritisi. Dan penemuan saksi kunci, yakni Prajurit Dua Yudi S yang diraibkan adalah memegang peran penting. Meskipun demikian, saya tetap memendam kekaguman pada prajurit Marinir. Betapun 6 prajuritnya tewas dan 1 diculik, toh Marinir tak melakukan operasi amuk terhadap warga sipil. Rupa-rupanya, integritas moral yang tinggi membuat Marinir memiliki disiplin yang tinggi, sikap yang sabar dan jernih ... dan, tentunya rasa peri kemanusiaan yang tinggi pula.* Banda Aceh, 7 Februari 2000 ---------- SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html