CMIIW-kalau ada data dan masukan baru (biar kita tahu duduk perkara sebenarnya) 
dan gak ada fitnah, ada yang putra madiun? 
-------------------------------------------------------------------------------------

http://myquran.org/forum/index.php/topic,16073.0.html

SH Terate adalah perguruan silat legendaris yang berperan menyebarkan pencak 
silat ke berbagai daerah (bahkan manca negara). Di pusatnya, Madiun, terdapat 
ribuan pendekar SH terate yang tersebar sampai pelosok-pelosok kampung. Bagi 
pemuda-pemuda di daerah Madiun, menjadi anggota SH terate adalah tradisi yang 
mereka laksanakan secara turun temurun. Bahkan banyak keluarga yang dari Kakek 
buyut sampe cicit, semua adalah anggota PS SH Terate. Hal ini membuat SH Terate 
sebagai organisasi, cukup disegani di kawasan Madiun karena memiliki massa yang 
sangat besar.

Sayang, di Madiun sering terjadi perkelahian massal antara anggota SH Terate 
dan anggota SH Tunas Muda (Winongo). Sebenarnya pendiri kedua perguruan silat 
tersebut berasal dari perguruan yang sama. Menurut hikayat, asal muasal pencak 
silat di Madiun adalah dari seorang pendekar bernama Suro (Mbah Suro). Konon, 
sewaktu masih sangat muda Mbah Suro ini adalah salah satu prajurit tangguh yang 
dimiliki Pangeran Diponegoro. Setelah Pangeran Diponegoro kalah dari Belanda, 
mbah Suro melarikan diri ke Madiun, dan mendirikan sebuah perguruan silat 
sendiri.

Perguruan silat ini kemudian berkembang cukup pesat. Mbah Suro memiliki banyak 
sekali murid. Namun diantara sekian ratus muridnya, ada dua yang paling 
menonjol. Yang satu kemudian mendirikan perguruan silat sendiri di daerah 
Winongo Madiun, dan kemudian di kemudian hari menjelma menjadi SH Tunas Muda. 
Sementara yang satunya meneruskan perguruan silat mbah Suro dan kemudian 
menjelma menjadi SH Terate.

Awalnya, kedua perguruan tersebut saling berdampingan dengan damai satu sama 
lain. SH Winongo memiliki pengaruh di daerah madiun kota, sementara SH Terate 
mengakar di daerah madiun pinggir/pedesaan. Benih perpecahan dimulai ketika 
antara tahun 1945-1965 an, banyak pendekar SH Winongo yang berafiliasi dengan 
PKI. SH Terate yang menganggap ilmu SH (Setia Hati) yang diturunkan oleh mbah 
Suro merupakan ilmu yang berbasis ajaran Islam, merasa SH Winongo mulai keluar 
dari jalur tersebut.

Perselisihan semakin menjadi-jadi antara tahun 1963-1967, dimana banyak 
pendekar dari kedua perguruan yang terlibat bentrok fisik dalam 
peristiwa-peristiwa politik. Meski banyak anggotanya yang berafiliasi kiri, 
namun secara organisasi SH Winongo tidak terlibat dalam aktivitas kekirian 
tersebut. Hal inilah yang kemudian menyelamatkan perguruan silat ini dari 
pembubaran oleh pemerintah.

Setelah masa pembersihan anggota PKI yang berlangsung antara tahun 1967-1971 di 
daerah Madiun, SH Winongo sedikit demi sedikit mulai kehilangan pamornya. 
Puncaknya, pada era 1980-an bisa dikatakan perguruan silat ini dalam keadaan 
mati suri. Konon, banyak pendekar SH Terate yang berperan sebagai eksekutor 
para anggota PKI (termasuk beberapa pendekar SH Winongo yang terlibat PKI) di 
kawasan Madiun. Hal inilah yang kemungkinan memicu dendam pendekar SH Winongo 
yang non-PKI tapi merasa memiliki solidaritas pada kawan-kawannya yang 
dieksekusi tersebut.

Entah kebetulan atau tidak, seiring dengan munculnya PDI sebagai kekuatan 
politik yang cukup kuat pada era 1990-an, pamor SH Winongo sedikit demi sedikit 
mulai naik kembali. Banyak pemuda dari kawasan perkotaan Madiun yang masuk 
menjadi anggota SH Winongo. Madiun kota sendiri merupakan basis PDI yang cukup 
kuat. Sementara Madiun kabupaten merupakan basis NU dan Muhammadiyah. Banyak 
yang mengatakan bahwa situasi tersebut mirip dengan situasi di zaman '60-an, 
dimana PKI berkuasa di Madiun kota dan NU berkuasa di Madiun Kabupaten.

Seiring dengan perkembangan tersebut, mulai sering terjadi perkelahian antar 
pendekar di berbagai pelosok Madiun. Perkelahian yang juga melibatkan senjata 
tajam tersebut tak jarang berakhir dengan kematian salah satu pihak. Pada waktu 
itu, Madiun bagaikan warzone para pendekar silat (termasuk dengan senjata tajam 
dan senjata lainnya). Di berbagai sudut kota dan kampung terdapat grafiti yang 
menunjukkan identitas kelompok pendekar yang menguasai kawasan tersebut. 
Pendekar SH Terate menggunakan istilah SHT (Setia Hati Terate) atau TRD (Terate 
Raja Duel) untuk menandai basisnya. Sementara SH Winongo menggunakan istilah 
STK, yang kemudian diplesetkan menjadi "Sisa Tentara Komunis", untuk menandai 
kawasan mereka.

Pada kurun waktu 1990-2000, STK mengalami perkembangan jumlah anggota yang 
sangat pesat. Desa Winongo sebagai markas besar mereka, pada awalnya masih 
mudah diserang oleh pendekar SHT dari wilayah tetangga. Namun karena kekuatan 
mereka yang semakin besar membuat Winongo menjadi untouchable area. Hampir 
seluruh pemuda dan lelaki di desa ini menjadi anggota STK yang militan, 
sehingga penyerbuan SHT ke wilayah ini menjadi semakin sulit dilakukan.

STK menggunakan taktik populis dalam merekrut anggota baru. Mereka masuk ke SMP 
dan SMU di kota Madiun dan menawarkan status pendekar secara instan kepada 
pemuda-pemuda yang mau bergabung. Sementara untuk meraih status pendekar di 
SHT, persyaratannya cukup berat dan memakan waktu cukup lama. Tawaran menjadi 
pendekar instan tersebut tentu saja mendapat sambutan yang besar dari para 
pemuda yang belum mengetahui esensi sebenarnya sebuah panggilan "pendekar". Di 
Madiun, menjadi pendekar adalah sebuah kehormatan yang diimpi-impikan para 
pemuda. Predikat pendekar menjadi sangat elit karena harus dicapai dengan susah 
payah. Seorang Pendekar dipastikan memiliki kemampuan silat dan fisik yang 
prima, serta pemahaman agama yang dalam.

Akibat taktik populis yang dilakukan STK, kode etik pertarungan antar pendekar 
yang selama ini terjaga, sedikit demi sedikit mulai pudar. Anak-anak muda yang 
naif (pendekar instan) mulai menggunakan cara-cara yang kurang etis dalam 
berkelahi. Misalnya mereka mengeroyok lawan, menculik lawan di rumah, tawuran 
(lempar-lemparan batu), menyerang dari belakang, dan cara-cara yang tidak 
terhormat lainnya. Awalnya pendekar-pendekar SHT yang memegang teguh kode etik 
pertarungan pencak silat, masih berupaya sabar. Namun, akhirnya mereka 
kehilangan kesabaran setelah korban di pihak mereka mulai berjatuhan.

Tercatat, terjadi beberapa kali pertarungan yang memakan korban jiwa akibat 
tindakan yang tidak sportif. Pernah terjadi kasus dimana dua orang pendekar 
yang sedang berboncengan sepeda ontel, di tebas dari belakang oleh lawan 
bersepeda motor dengan menggunakan clurit. Kemudian ada juga kasus seorang 
pendekar yang sedang menggarap sawah, ditebas dari belakang oleh lawannya 
dengan menggunakan pacul.

Kejadian-kejadian tersebut merupakan gambaran betapa etika pertarungan sportif 
satu lawan satu yang selama ini dipegang erat oleh para pendekar, mulai pudar.

Cikal bakal dua perguruan silat terbesar di Madiun, SH Terate dan SH Winongo, 
adalah sebuah perguruan pencak silat puritan bernama SH Putih. SH Putih 
didirikan oleh seorang pendekar silat bernama Mbah Suro pada tahun 1903. Mbah 
Suro adalah seorang pengembara, dia telah melanglang buana sampai ke Tiongkok 
dan India untuk mempelajari berbagai ilmu bela diri. 

Setelah merasa cukup ilmu, Mbah Suro pulang ke tanah kelahirannya, dan 
mendirikan sebuah perguruan pencak silat tanpa nama. Berdasarkan ilmu yang 
didapatkannya selama mengembara, ia mengembangkan jurus-jurus silat baru yang 
kemudian membawa pembaharuan dalam ilmu beladiri asli nusantara ini. 

Setelah Mbah Suro meninggal pada tahun 1923, terdapat dua orang muridnya yang 
berebut pengaruh untuk menjadi pimpinan perguruan silat tersebut. Perebutan ini 
kemudian berakibat pada terpecahnya mereka ke dalam dua kubu. Kubu pertama 
kemudian mendirikan perguruan silat baru bernama Setia Hati Winongo (Kenanga), 
dan kubu yang lain mendirikan Setia Hati Terate (Teratai). Perebutan tersebut 
akhirnya tereskalasi menjadi konflik terbuka, ketika masing-masing perguruan 
tersebut sudah memiliki banyak pengikut. Konflik masih terus terjadi sampai 
hari ini, dengan dinamika yang berbeda, sesuai dengan perkembangan jaman.

Sementara, SH Putih kemudian menutup diri karena tidak mau terlibat dalam 
perseteruan antara keduanya. Sampai saat ini SH Putih masih ada, dan yang 
diperbolehkan menjadi murid di perguruan silat ini hanyalah anggota keluarga 
dan keturunan Mbah Suro saja. SH Putih menjadi semacam dewan guru besar, untuk 
menentukan apakah seorang pendekar dari SH Winongo dan SH Terate yang telah 
mencapai level tertinggi bisa naik tingkat atau tidak (dalam karate istilahnya 
DAN I, DAN II, dst, untuk sabuk hitam). Saat ini pendekar dengan tingkat 
tertinggi (Tingkat III) masih dipegang oleh pendekar dari SH Winongo. Sementara 
dari SH Terate belum ada (Paling tinggi Tingkat II).

Antara SH Winongo dengan SH Terate menganut prosedur yang berbeda dalam 
penetapan seorang murid menjadi "WARGA". Di SH Winongo, seorang murid yang baru 
masuk, harus segera disahkan sebagai "WARGA" agar ikatan emosional dan fisik 
yang bersangkutan dengan perguruan tidak terlepas lagi. Sementara di SH Terate, 
untuk menjadi "WARGA" seorang murid harus menjalani proses yang panjang dan 
sangat keras. Seorang "WARGA" dalam filosofi SH Terate haruslah pendekar yang 
benar-benar telah memahami esensi dari ilmu pencak silat itu sendiri, terutama 
kegunaannya bagi masyarakat. Sehingga, sedikit sekali dalam satu angkatan, 
seorang murid SH Terate akhirnya dapat mencapai level menjadi "WARGA".

1998-2000

Konflik antara SHT dan STK agak mereda pada periode ini. Hal ini diakibatkan 
gejolak sosial politik yang melanda negeri ini, mengakibatkan aparat bertindak 
cukup keras terhadap berbagai hal yang berpotensi menimbulkan gejolak sosial. 
Pada periode ini, prosesi karnaval menyambut ulang tahun RI yang biasa menjadi 
ajang pertarungan massal antara SHT dan STK ditiadakan. Selain itu, Korem 081 
Madiun memaksa kedua perguruan tersebut untuk berlatih bersama di markas Korem 
setiap Jum'at malam dengan tujuan untuk menyatukan keduanya.

Hal lain yang mempengaruhi sedikit meredanya konflik adalah peristiwa 
pembunuhan kiai-kiai di Jawa Timur oleh ninja bertopeng. Pada saat itu, 
penjagaan desa dan kampung di Madiun berlangsung sangat ketat. Bahkan di 
beberapa wilayah, pendekar SHT dan STK saling bahu membahu mengamankan 
lingkungan


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke