Posted by: "Karman" kar...@namnam.co.id 
Wed Mar 24, 2010 7:23 am (PDT) 


Assalamu alaikum,

menarik disimak pendapat KH Hasyim Muzadi di hadapan Mahkamah Konstitusi:

RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 140/PUU-VII/ 2009
PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1965 TENTANG PENYALAHGUNAAN 
DAN/ATAU PENODAAN AGAMA TERHADAP
UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

10 Februari 2010

: KH. HASYIM MUZADI

Assalamualaikum wr. wb.
Selamat sejahtera untuk kita semua dan selamat pagi.

Majelis Hakim yang saya muliakan, menurut pemahaman saya, Undang-Undang Nomor 1 
Tahun 1965 tidak menyangkut kebebasan agama tapi menyangkut penodaan agama, 
sehingga tidak relevan kalau dikaitkan dengan kebebasan masing-masing kita 
beragama. Yang kedua, di dalam penjelasan dari undang-undang itu, juga ada pada 
penjelasan Pasal 1 bahwa tidak menghalangi juga agama-agama yang mungkin akan 
ada. Saya baca ini tidak berarti bahwa agama-agama lain misalnya Yahudi, 
Zoroasterian, Shinto, Taoisme dilarang di Indonesia. Jadi sudah jelas, bukan 
Undang-Undang Kebebasan Agama. Yang kedua, saya berpendapat bahwa undang-undang 
ini masih diperlukan di Indonesia, karena kalau dicabut akan ada tiga akibat 
yang ditimbulkan.

1. Bisa atau dapat menimbulkan instabilitas Indonesia.

2. Dapat mengganggu kerukunan umat beragama yang sampai hari ini sudah kita 
upayakan begitu rupa sehingga sangat baik. Bahkan kantor PBNU sendiri sekaligus 
kantor agama-agama di seluruh Indonesia ini. Ini bisa terganggu.

3. Saya justru kasihan bahwa kalau ini dicabut yang paling rugi adalah 
minoritas. Kalau mayoritas dia cukup mempunyai kemampuan untuk bereakasi, 
tetapi kalau reaksi itu timbul karena penodaan, kemudian tidak ada patokan 
hukumnya maka yang terjadi tentu anarki.

Jadi kita jangan mengambil logika terbalik, seakan-akan tidak ada aturan 
menjadi beres.Tapi tidak ada aturan itu masyarakat akan bikin aturannya 
sendiri. Saya ingin menyampaikan beberapa sisi dari undangundang ini. Menarik 
undang-undang ini tahun 1965 karena saya termasuk orang tua yang menangi, apa 
menangi bahasa Indonesianya? Ya menangi lah, mengalami pada tahun itu. Tahun 
itu memang tahuntahun penghujatan agama luar biasa baik dari segi media, 
budaya, politik, dan juga kekuasaan. Juga ada manpower sehingga orang-orang 
yang ada di Blitar, yang di Kediri yang melakukan ibadah dalam Islam ketika itu 
diserbu secara membabibuta oleh kelompok-kelompok ateisme.

Hari ini kita melihat ada orang mengaku Nabi, ada orang mengaku malaikat 
Jibril, setelah ditahan menangis. Lha ini saya juga heran bagaimana malaikat 
bisa menangis? [hadirin tertawa]. Kalau dia diusut apakah Mikail juga menjadi 
saksi? Ini semuanya dengan adanya orang-orang beribadah secara tidak baik 
merebak di Indonesia. Maka diperlukan kewaspadaan kita untuk ini.

Modal utama tentu bukan hukum, modal utama adalah saling menghormati antar 
agama itu. Mempunyai nilai lebih luhur daripada sekedar legal formal yang 
kadang-kadang masih prosedural dan belum substansial. Selanjutnya yang kedua, 
penghujatan, penistaan, dan pembelokan agama tertentu menurut pandangan saya 
bukan bagian dari demokrasi tetapi merupakan agresi moral terhadap keluhuran 
agama itu masing-masing yang diserang karena tidak pernah ada demokrasi yang 
tidak dibatasi oleh demokrasi yang lain dan orang menghormati agama adalah hak 
demokrasinya dia dan memeluk pun hak demokrasinya dia, jangan dibalik 
penyerangan menjadi hak demokrasi daripada moral itu sendiri.

Yang ketiga, secara konstitusi bahwa konstitusi tidak menganut rinci itu 
menurut saya sudah lazim. Konstitusi cuma mengatakan kebebasan agama, tapi 
agama itu apa? Dan berapa? Lalu bagaimana? Tentu hak undang-undang, tidak bisa 
dikonfrontir undang-undang ini dengan pokok konstitusinya. Yang seharusnya 
undang-undang bertindak sebagai memorie van toelichting terhadap konstitusi dan 
undang-undang itu.

Kemudian, kalau undang-undang ini dicabut sesungguhnya tidak akan bisa 
menyurutkan reaksi dari kelompok agama yang merasa disinggung. Nah, kalau tidak 
menyurutkan, kemudian tidak ada patokan yang ada, maka yang terjadi justru 
kesulitan kita bersama-sama untuk mengayom di bawah agama-agama dan lintas 
agama.

Yang selanjutnya, saya ingin menyampaikan fakta. Karena saya selama ini masih 
menjadi salah satu Presiden World Conference on Religion for Peace. Saya 
mengetahui betul bahwa sebuah eksistensi atau koeksistensi, multi-eksistensi 
atau pro-eksistensi lintas agama inilah yang benar. Bahwa masing-masing agama 
berusaha menghormati agama lain tanpa dia harus melepaskan keyakinan yang 
sesungguhnya dari agama yang diwakilinya. Sehingga di sini peristiwa yang 
menyangkut Saudara saya tercinta Arswendo saya pikir karena hanya apes saja. 
[hadirin tertawa] Kenapa? Pertama, karena mungkin respondennya siapa. Coba 
respondennya di Al-Hikam atau di pesantren, itu nomor satu semua Nabi Muhammad. 
Yang kedua, mungkin tidak tahu bahwa itu menyinggung. Seperti juga di Thailand 
misalnya banyak orang tidak tahu bahwa masuk masjid dengan sepatu, itu perkara 
besar. Padahal di Kristen itu biasa. Oleh karenanya maka di gereja tidak pernah 
ada orang kehilangan sepatu karena sepatunya
dipakai[hadirin tertawa], yang kehilangan sandal adalah di masjid, tapi di 
gereja yang hilang sepeda motornya [hadirin tertawa].

Nah, ketidaktahuan ini, ini perlu ada jalan keluar. Saya harus tahu sebagai 
orang Islam atau tokoh Islam, hal-hal apa saja yang sangat peka di dalam agama 
Katolik. Saya harus tahu hal-hal apa yang peka di dalam agama Budha. Untuk apa? 
Untuk supaya saya tidak masuk menyinggung yang lain. Ketika saya di Vatikan, 
saya diledek oleh seorang Monsieur, namanya Monsieur Michael Fitcher, "Pak 
Hasyim katanya Kyai di Indonesia itu isterinya banyak", nah ini nyiindir ini 
saya bilang. Lalu saya jawab dengan sindiran pula, "Mungkin karena menampung 
isterinya pastur yang tidak jadi" [hadirin tertawa]. Artinya bagaimana 
mengemukakan sebuah koreksi tanpa penodaan itu adalah seni untuk lintas agama 
ini.

Jadi yang kita perlukan sekarang adalah kehati-hatian yang pertama, yang kedua 
yang kita perlukan adalah mengenal orang lain pada hal yang sangat peka. Saya 
kira ini lebih luhur dari pada sekedar legal formalnya. Saya ingin masuk di 
dalam faktnya. Saya sudah dikenal di kalangan lintas agama sebagai pemadam 
kebakaran kalau ada peristiwa-peristiwa konflik. Suatu ketika ada peristiwa di 
Batu, dimana Quran diinjak-injak, lalu berdatanganlah anak-anak dari Pasuruan 
akan menyerbu ke Batu, Jawa Timur. Maka saya cegat di tengah, setelah ketemu 
saya bilang, "Jangan lakukan sendiri-sendiri karena semuanya ada aturannya". 
Maka berhenti di situ. Seandainya tidak ada aturan, maka saya tidak bisa lagi 
mengemukakan argumentasi untuk menghentikan daripada pertikaian itu.

Demikian juga yang di Marriot, ini bukan hanya menyangkut masalah nasional tapi 
juga masalah internasional. Apa yang dikemukakan bahwa agama Islam menghormati 
kemanusiaan itu kita tunjukkan. Pada saat relawan dari Korea Selatan ditangkap 
oleh Taliban yang di Afghanistan dan dibunuh satu persatu, maka kita 
mengemukakan appeal supaya itu dilepaskan dan alhamdulillah berhasil. Artinya 
apa? Artinya dimana letak religi dan dimana letak humanitas, itu diletakkan 
pada porsi yang sesungguhnya.

Suasana yang di Denmark, suasana yang di Switzerland, ternyata juga menggema, 
bukan hanya di negara mereka, tapi menggema di seluruh dunia hanya karena 
kartun Nabi Muhammad yang ada di Denmark dan hanya karena di Switzerland 
Manoret itu secara hukum dan secara konstitusi dilarang mesjid mendirikan 
menara. Ini sebagai sebuah pelajaran bahwa kehati-hatian kita terhadap harkat 
agama yang lain menjadi kunci dari pada kita semua.

Kuncinya adalah koeksistensi, artinya masing-masing agama mempunyai 
eksisitensinya sendiri dan dia dipersilakan untuk beragama pada tempat itu 
dengan yang sebaik-baiknya tapi dia punya kooperasi yang setingkat dengan 
keyakinan dan imannya atau multi eksistensi maka saya sangat memahami apa yang 
dikhawatirkan oleh dari MATAKIN, jadi sebenarnya apa yang ada di dalam 
undang-undang ini justru perlindungan bukan hanya kepada mayoritas tapi justru 
utamanya kepada minoritas dan saya sebagai warga negara Indonesia cukup bangga 
karena perlindungan mayoritas kepada minoritas di Indonesia jauh lebih baik 
daripada perlindungan mayoritas kepada minoritas di negara-negara yang lain.

(dikutip dari milis jurnalisme)


      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke