On 1/3/06, Ryo Saeba <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > saya sendiri bukan penganut EYD yang kaku, terlihat dari penggunaan > huruf kecil di awal kalimat. jadi saya sendiri pun terkena gelar > "bertolak-belakang" kalau memang setuju dengan ungkapan dari MDAMT > (sayang beliau sendiri tidak pernah ikut lagi dalam diskusi ini).
Soal kamu[*] memilih menggunakan huruf kecil di awal kalimat, bukan hanya tidak mengikuti EYD, melainkan terhadap banyak ejaan bahasa lain yang berbasis huruf Latin. Jadi menurut saya justru lebih condong sebagai "pemberontakan terhadap kelaziman penulisan huruf Latin." Jadi kemungkinan besar bukan hanya pemakai EYD yang komplain (jika mereka peduli), melainkan penutur bahasa Inggris pun turut keberatan. Apalagi jika blogmu yang didatangi, yang menurut saya kualitas pemakaian bahasa Inggrisnya sangat baik. *) "kamu": kata ganti yang akrab dan santai untuk orang kedua. > saya mungkin sealiran dengan zaki, dalam memandang wacana ini. adakah > yang bisa memberikan padanan kata dalam bahasa indonesia, istilah > asing "reinventing the wheel?" itu yang saya rasakan pertama kali > membaca tulisan MDAMT. belum lagi istilah "lingua franca", apakah > memang sulit sekali mempergunakan padanan dalam bahasa indonesia (jika > memang ada)? Saya sendiri tidak selalu dengan mudah mendapatkan padanan yang sesuai, terutama untuk istilah mutakhir. Salah satu rujukan saya selama ini adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia. Menurut saya, masalah yang lebih penting dalam pemakaian bahasa Indonesia saat ini adalah mengurangi kesenjangan pemakaiannya. Banyak ahli membicarakan padanan istilah dan teori tata bahasa yang menurut saya memang sangat tinggi tingkatannya, sedangkan di sisi lain pemakaian hasil-hasil ilmu yang berkait dengan kebahasaan itu di masyarakat masih rendah kualitasnya. Pada saat di satu sisi para ahli harus menyediakan solusi untuk istilah-istilah asing yang menyerbu perbendaharaan kosa kata kita, sebagian masyarakat masih rancu akan pemakaian awalan "di-" dan kata hubung "di". Hasilnya: seringkali diskusi tentang pemakaian bahasa Indonesia seolah-olah "merisaukan" hadirin karena mereka akan terbelenggu dengan pemakaian istilah aneh-aneh dan sekian puluh aturan yang terkesan rewel. Seperti halnya bahasa lain di dunia ini yang memiliki tata bahasa (pada sisi keilmuan disebut "aspek kecendekiaan" karena bisa diformulasikan dan mengikuti kaidah), tentunya aturan-aturan dalam bahasa Indonesia tidak dimaksudkan untuk mengekang penuturnya. Inisiatif untuk lebih memasyarakatkan, dalam arti berusaha menggunakan bahasa Indonesia pada ungkapan-ungkapan yang bersifat akrab, ini yang saya rasa masih kurang. Bahkan di beberapa forum di Internet yang membicarakan bahasa Indonesia pun saya amati hadirin di dalamnya terkesan ogah mengikuti aturan kebahasaan. Tentu saja ini bukan keluhan atau ofensif terhadap kondisi masyarakat yang sedang menapaki proses. Saya lebih suka hal ini dianggap semacam "kompetisi bebas" dan kesadaran bagi penutur untuk memilih yang lebih baik. Toh, cara berbahasa mewakili alur berpikir penuturnya. -- amal