Made Wiryana wrote:
...
> Masing-masing kita lakukan hal di atas dalam 3 bulan ke depan, tiap
> > kali ceritakan kepada 3 - 5 orang teman dan saudara, sambil ngajak
> > mereka untuk bertransaksi. Pasti  industri kita akan tambah maju...
>
> Kalau saya memiliki prinsip, dalam mengembangkan suatu laynan, maka dari
> tahapan disain sebaiknya kita melihat "kultur", "behaviour" dari organisasi
> pengguna layanan itu.
>
> > p.s. Untuk payment gateway via kartu kredit, kita ada pay.indo.com.
> > Kita memang tawarkan untuk yang sudah lebih established - kalo untuk
> > terima kartu kredit secara offline/fisik saja belum bisa, berarti
> > resiko kreditnya untuk bisa terima secara online terlalu tinggi...
>
> Di Jerman cerita sistem pembayaran mana yang diterima akan lain lagi :-) dan
> ini menguatkan pendapat saya bahwa, infrastruktur sosial (termasuk trust)
> akan menentukan bagaimana model layanan itu harus dibentuk.  Jangan dibalik.
>
> > p.p.s. Kenapa gak ada yang memulai? Liat di negara mana aja, yang
> > memulai harus start up. Start up perlu modal, dan struktur permodalan
> > di Indonesia tidak memungkinkan adanya start up teknologi yang cukup
> > bermodal (no, modal ventura yang ada tidak jalan - minta kolateral dan
> > minta bunga hampir 40%)
>
> Mungkin perlu didekati dg "teknologi sederhana" (misal hanya email, sms,
> uucp he he he) tapi dg transkasi sebesar mungkin.  Seperti kata pedagang
> "pokoke untung", khan ini bukan pamer teknologi
>
> Mungkin dg pendekatan itu malah bisa timbul solusi teknologi "khas" yg
> sangat cocok dg kondisi Indonesia, dan mendorong Internet shoping yg tak ada
> duanya :-)
>
> IMW

Ada beberapa poin yang tersirat di atas, banyak yang saya setuju, cuma
belum cukup untuk jadi bisnis (jadi necessary but insufficient):

1. Disain harus bagus, pokoke klop dan pas buat organisasi/pasarnya.
Secara teori benar, tapi secara prakteknya, hal ini praktis tidak
mungkin terjadi dalam 1 iterasi. Harus trial and error. Google, Yahoo,
Ebay, Amazon, dsb - continuously do that. Di sini perlu kapital yang
tinggi - nggak cukup cuma star gazing terus dapat ilham.

2. Pendekatan teknologi sederhana. OK saja. At the end of the day,
teknologi BUKAN cost yang paling dominan, dan BUKAN jadi satu-satunya
penentu suksesnya bisnis. Kalo liat pola financing bisnis dot com di
US, round angel financing (round zero lah bisa dibilang), biasanya
cukup untuk bikin prototypenya (kalo dalam kasus Google, cek dari salah
satu founder Sun Micro, kalo gak salah sebesar USD 100 ribu). Jadi core
idenya bisa dibilang ada di sini. Setelah itu, perlu ada round 1 dan 2
investasi untuk mulai bikin production systemnya - yang untuk
ditawarkan ke pasar, dan marketing kecil-kecilan. Round 2 dan 2.5 dan
IPO dan seterusnya baru digunakan untuk menggeber promosi
besar-besaran. Expedia, E-Trade, misalnya, pada saat revenuenya baru
beberapa juta dollar, sudah berani spend 10-50x revenuenya untuk
promosi. Duit dari mana? Round 2/2.5/IPO. Amazon, habis IPO, issue bond
USD 1 billion. Dari sini dikembangkan lagi teknologi macem-macem,
infrastruktur, dan promosi gila-gilaan.

Kalo ditanya si Google/Yahoo/Amazon/Ebay, kunci suksesnya, mereka akan
bilang execution. Execution perlu orang yang bagus dan berpengalaman.
Orang yang bagus dan berpengalaman itu susah dicari dan mahal (stock
option jadi salah satu cara yang paling efektif untuk me-rekrut).

So, technology/financing/people - menurut saya play setidaknya porsinya
sama pentingnya dalam suksesnya. Sekarang ini di Indonesia, teknologi
bisa diadaptasi/didisain, people lumayan ada, financing praktis gak
ada...

Just my 2 cents...

--Eka Ginting
  indo.com

p.s. Ada yang tertarik untuk bikin Angel Financing Club? Budi? Kita
invite anak-anak ITB untuk pitch ide teknologi, kita finance untuk
prototype dan business plan development, untuk kemudian di-pitch ke
venture capital? Any interest dari yang ngoprek?


--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
http://teknoblogia.blogspot.com/2005/02/tata-tertib-milis-v15.html
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke