Mangga aos geura baraya geuning pamarentah oge ngameunangkeun nyampur beas kualitas alus jeung nu kurang alus tapi kudu jujur cenah......lain kumaha ngontrolnanya pedagang jujur henteuna....hebatlahlah sakti pamarentah tehnya. Abdi oge osok ngoplos bandrek+susu......kumaha kang asep oplos bandrek+purwocengna eduuuuun...........
baktos ern sumber : http://www.mediaindonesia.com/ dimenu forum editorial APA yang tidak mungkin di Republik ini? Semua serbamungkin. Yang semula baru sebatas kemungkinan bisa menjadi kenyataan. Sebaliknya, yang awalnya kenyataan malah berubah wujud menjadi kemungkinan. Itu sebabnya, tidak mengherankan bila perbuatan yang sama mendapat perlakuan berbeda. Contoh paling nyata dari perlakuan yang berbeda itu bisa dilihat pada kasus mengoplos barang dagangan. Di Bantar Gebang, Bekasi, aparat pekan lalu menggerebek sebuah gudang yang mengoplos bahan bakar minyak. Pelaku mengoplos minyak tanah dan solar untuk kemudian dijual ke kalangan industri. Pelaku pun ditangkap aparat. Contoh lain, kasus daging oplosan yang menghebohkan pada awal Desember 2006. Ketika itu, aparat Polres Bogor membongkar komplotan perdagangan oplosan daging sapi dengan babi hutan atau celeng di kawasan Gunung Putri, Bogor. Jaringan itu beroperasi di Lampung, Pasar Senen Jakarta, dan Bogor. Pelakunya juga ditangkap aparat. Bisakah disimpulkan mengoplos barang dagangan merupakan tindak kejahatan? Belum tentu. Bahkan dibolehkan. Itulah yang terjadi di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta, saat Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu berdialog dengan para pedagang, Selasa (29/1). Menteri Perdagangan, atas nama pemerintah, mengizinkan pedagang di Pasar Induk Cipinang untuk mengoplos beras, baik dalam bentuk kemasan dan curah. Tentu saja izin itu dengan catatan, yakni pedagang harus jujur menyebutkan berat, jenis, dan kualitas beras dalam kemasan. Namun, justru di situlah letak persoalan. Yakni bagaimana mengawasi kejujuran pedagang ketika menjual barang oplosan diperbolehkan. Padahal, saat beras oplosan dilarang saja, sudah banyak pelaku usaha yang curang. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, misalnya, sejak lama mencium pelanggaran beras oplosan di supermarket karena isinya tidak sesuai dengan klaim di label kemasan. Tapi adakah produsen atau supermarket yang dikenai sanksi? Padahal Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Bab IV menyebutkan berbagai larangan bagi pelaku usaha, termasuk yang dapat dikategorikan sebagai pengoplosan. Antara lain dilarang memproduksi atau memperdagangkan barang atau jasa yang tidak sesuai dengan standar mutu. Timbul pertanyaan, bisakah dibuat standar mutu bagi beras oplosan sehingga pemerintah mengizinkannya? Bukankah dengan mengizinkan mengoplos beras, pemerintah sengaja melanggar Undang-Undang Perlindungan Konsumen? Mengoplos barang dagangan bukan hal baru. Nyaris tak ada kebutuhan masyarakat yang tak dioplos pedagang. Namun, yang paling mengerikan adalah dampak mengoplos obat dan makanan karena menyerang kesehatan manusia. Oleh karena itu, pemerintah tidak boleh terperangkap pada standar ganda. Di satu pihak mengoplos perbuatan kriminal, tetapi di lain pihak mengizinkan oplos. Untuk melindungi konsumen, yang juga berarti melindungi rakyat, pemerintah harus taat asas, dengan membuang kebijakan yang juga oplosan. Republik ini bukan republik oplosan.