Sabtu , 04 Oktober 2008 , 
OBITUARI

Duduh Durahman, Kritikus yang Tak Pernah Melukai
Oleh Cecep Burdansyah

PUBLIK sastra Sunda dan publik film pasti mengenal nama Duduh Durahman. Bagi 
insan perfilman, lelaki kelahiran Ciwidey, Kabupaten Bandung, Mei 1939 ini 
dikenal sebagai kritikus. Saking luasnya pengetahuannya dalam bidang flim, 
sastrawan Mochtar Lubis menjulukinya sebagai ensiklopedi film berjalan. 


Duduh jadi tempat bertanya siapa pun yang ingin tahu tentang film. Bagi publik 
sastra Sunda, Duduh dikenal sebagai kritikus sastra Sunda andal yang bisa 
disejajarkan dengan sastrawan Muh Rustandi Kartakusuma dan Ajip Rosidi. 


Bahkan Duduh dan Rustandi tergolong sebagai bidannya para pengarang Sunda. 
Kalau Rustandi kemudian kiprahnya terhenti karena usia renta, maka Duduh 
Durahman boleh dikatakan hingga akhirnya hayatnya masih aktif melahirkan 
pengarang-pengarang Sunda.


Tepat pada Hari Raya Idul Fitri 1 Oktober 2008, pukul 16.30, kabar menyentak 
pun datang. “Bah Duduh pupus,” begitu pesan singkat dari Hawe Setiawan. 


Selang beberapa menit pesan singkat terus bertubi-tubi. Antara lain dari Ketua 
Paguyuban Pangarang Sunda Etty RS dan seniman Herry Dim. Bahkan kru majalah 
Mangle langsung menelepon memberi kabar duka. Saya hanya bisa termangu membaca 
pesan singkat itu. Terlebih kabar duka itu datang di saat hari bahagia bagi 
seluruh umat Muslim. 


Saya dan beberapa penulis Sunda memang tahu Bah Duduh, demikian ia minta 
disapa, berbaring di RS Imannuel sejak minggu ketiga di bulan Ramadan. 


Kami sama-sama membesuknya. Kondisinya memang koma. Namun ketika kabar ajal 
menjemputnya, tak pelak kami semua kaget. Bagi saya dan teman-teman penulis 
Sunda, Bah Duduh tidak hanya dikenal sebagai kritikus sastra Sunda dan kritikus 
film. 


Ia lebih dari itu. Seorang bapak yang bisa diajak untuk “curhat”, seorang teman 
yang bisa diajak tertawa, seorang guru yang bisa diminta panduannya tentang 
menulis dan tempat bertanya seluk beluk sastra dan film.


Namun Bah Duduh juga kerap jadi lawan tangguh dalam diskusi bahkan debat. Harus 
saya akui, bagi saya dan Usep Romli, kerap Bah Duduh jadi sasaran kritik pedas 
karena kebijakannya yang terlalu lunak dalam menyeleksi karya-karya sastra 
Sunda yang dimuat di majalah Mangle.


Kalau Usep menuangkannya dalam tulisan, saya menyampaikan langsung ke Bah Duduh 
atau dalam acara diskusi. Mungkin seleksi yang lunak dan kritiknya yang halus 
itu dipandang sebagai kelemahan Bah Duduh. 


Tapi harus diakui pula, mungkin di situlah letak kekuatan Bah Duduh dalam 
mengasuh sastra Sunda di Mangle. Mungkin karena profesinya sebagai guru, maka 
jiwa guru itu pula yang melekat dalam diri Bah Duduh. 


Ia menjadikan dirinya sebagai kritikus yang lebih membimbing ketimbang kritikus 
yangmenguliti kelemahan pengarang. Pilihan ini pula yang membedakan posisinya 
dengan Ajip Rosidi dan Muh Rustandi Kartakusumah. 


Dua rekannya ini dikenal sebagai kritikus tajam karena tulisan mereka memang 
dikenal sangat “peureus”, bahkan tak jarang ada pengarang yang merasa luka 
kalau dikritik Ajip atau Rustandi, sementara dikritik oleh Bah Duduh malah 
sebaliknya, merasa terangkat dan “diakui” karena telah mendapat perhatiannya.


Bah Duduh memang dengan sadar mengambil pilihan untuk tidak melukai hati orang 
dalam karya-karya kritiknya. Salah satunya ketika ia jadi editor bersama 
Abdullah Mustappa dan Karno Kartadibrata, untuk menyeleksi 60 cerita pendek 
yang kemudian diterbitkan jadi buku Sawidak Carita Pondok.


Bah Duduh kemudian sendirian menerbitkan buku Petingan (karya-karya penting), 
yakni kumpulan cerita pendek dari para pengarang yang karyanya menonjol dan 
penting. Tapi kepada pengarang Hadi AKS, Bah Duduh “balaka” bahwa karya dalam 
buku Petingan sebetulnya bukanlah karya-karya pilihan dan penting. 


Karya-karya dalam Petingan sebetulnya dimaksudkan Bah Duduh untuk “ngupahan” 
alias melipur lara para pengarang yang karyanya tidak masuk pada antologi 
Sawidak Carita Pondok. Itulah kelebihan Bah Duduh, ia selalu berusaha untuk 
tidak mematikan kreativitas pengarang.


Pilihan sikapnya ini ia sadari karena, dalam kultur Sunda, bahkan Indonesia, 
kritik yang tajam sering ditanggapi pengarang sebagai dinamit yang melumpuhkan 
kreativitas, lantas pengarang itu pundung tak menulis lagi.


Kini, kritikus yang juga di masa tuanya memilih untuk juga menulis karya fiksi, 
antara lain buku kumpulan carponnya Ajalnya Sang Bentang Film, telah didekap 
tanah kelahirannya, di Pasir Suling, Desa Panyocokan, Kecamatan Ciwidey, 
Kabupaten Bandung, Kamis (2/10).


Selain kerabat dan keluarga, tampak yang mengantar antara lain Ketua DPD Partai 
Golkar Jabar H Uu Rukmana, novelis Aam Amilia, Ketua PPSS Etty RS, pengarang 
Abdullah Mustappa, Hadi AKS, Dian Hendrayana, Teddy Muhtadin, dan Ai Koraliati. 


Mereka hanya bisa berkaca-kaca, siapa lagi dalam sastra Sunda yang bisa 
mengkritik sekaligus melahirkan pengarang. Wilujeng angkat, Bah!  (*)


http://tribunjabar.co.id/artikel_view.php?id=21826&kategori=22



      
___________________________________________________________________________
Nama baru untuk Anda! 
Dapatkan nama yang selalu Anda inginkan di domain baru @ymail dan @rocketmail. 
Cepat sebelum diambil orang lain!
http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/id/

Kirim email ke