http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=154214SITUS PASIR ANGIN, DARI MONOLIT JADI MUSEUM
Wilayah Bogor telah lama diketahui memiliki banyak peninggalan berupa artefak. Mulai dari peninggalan prasejarah, awal masa sejarah, masa klasik (Hindu-Buddha), masa penyebaran Islam, hingga masa kolonial. Lebih dari separuh peninggalan budaya masa lalu yang tersebar di wilayah Bogor tersebut, adalah berupa artefak yang bercirikan tradisi Megalitikum (mega=besar, litikum=batu). Peninggalan berciri Megalitikum bisa ditandai dengan dibangunnya monumen-monumen dari batu, baik itu yang berupa monolit (batu tunggal) maupun bangunan yang tersusun dari sekumpulan atau kombinasi batu-batu. Batu monolit bisa berupa menhir, batu lumpang, batu meja, batu kursi, dan sebagainya. Sementara bangunan batu bisa berupa punden berundak, sarkofagus, dinding batu, benteng (kuta), dan lain-lain. Di wilayah Bogor, sebaran situs-situs bercorak Megalitikum ini banyak terdapat di daerah yang lebih tinggi daripada lingkungan sekitarnya, seperti di kaki gunung, lereng gunung, dan puncak bukit. Salah satu situs yang berada di puncak bukit dan dipandang sebagai situs prasejarah yang cukup penting bagi bidang arkeologi di Indonesia adalah situs Pasir Angin. Batu monolit Pasir Angin Nama tempat Pasir Angin di wilayah Bogor memang cukup banyak dan merupakan toponimi yang umum. Pasir dalam bahasa Sunda berarti bukit dan Pasir Angin, tentu saja, berarti bukit yang senantiasa diterpa angin atau bukit yang selalu berangin. Situs Pasir Angin terletak di Desa Cemplang, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Bukit Pasir Angin berada tidak jauh dari aliran Sungai Cianten. Situs ini ditandai dengan adanya satu batu monolit. Yang istimewa dari monolit ini adalah memiliki bidang datar di beberapa sisinya. Orientasi dari monolit setinggi 1,2 meter ini menghadap ke arah timur. Bagi orang awam sepertinya tidak ada yang aneh dari seonggok batu di puncak bukit ini, tetapi bagi para ahli, batu yang memiliki bidang datar dan berada di ketinggian, serta tidak jauh dari aliran sungai akan sangat menarik perhatian. Esensi dari kehidupan bercorak Megalitikum adalah adanya pemujaan terhadap arwah para leluhur. Para pendukung kebudayaan ini percaya bahwa tempat-tempat tinggi, seperti gunung dan bukit, merupakan tempat bersemayamnya arwah-arwah tersebut. Dengan demikian, tidak mengherankan jika di ketinggian banyak ditemui peninggalan tempat pemujaan (punden), seperti halnya situs Pasir Angin. Di situs ini, pada 1970 dilakukan ekskavasi atau penggalian yang dilakukan oleh tim dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslitarkenas) yang dipimpin oleh R.P. Soejono. Ekskavasi ini berlangsung sampai tahun 1975. Dari penggalian ini dihasilkan banyak artefak-artefak yang menunjukkan bahwa situs ini dahulunya merupakan tempat nenek moyang melakukan kegiatan ritual. Barang-barang yang ditemukan di sini, antara lain, kapak perunggu, tongkat perunggu, manik-manik batu dan kaca, mata tombak, kapak besi, serta gerabah. Dari penggalian ini terlihat bahwa barang-barang yang ditemukan ternyata berada di sekitar batu monolit dan berkumpul membujur dari barat ke timur. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan yang melibatkan benda-benda temuan tersebut dipusatkan pada batu monolit ini. Mengenai orientasi kegiatan di sekitar monolit dengan arah hadap timur-barat, menurut Haris Sukendar, hal ini disejajarkan dengan perjalanan matahari. Tempat matahari terbit, yaitu di timur merupakan perlambang dari kelahiran atau kehidupan, sedangkan tempat tenggelam matahari di barat merupakan simbol kematian. Diperkirakan, situs Pasir Angin digunakan menjadi tempat ritus pada masa logam awal sekitar tahun 600–200 SM. Hal ini diperkuat dengan hasil analisis radioaktif atom karbon C14 dari sampel arang di situs tersebut yang menunjukkan pertanggalan absolut dari tahun 1000 tahun SM sampai 1000 tahun Masehi. Kira-kira selama 2000 tahun upacara atau tradisi Megalitikum terus berlangsung di tempat ini. Museum Pasir Angin Penelitian dan penggalian yang dilakukan selama kurang lebih enam tahun di situs Pasir Angin ini telah menghasilkan begitu banyak barang temuan. Untuk menyimpan benda-benda tersebut, akhirnya dibangunlah situs museum di tempat ini pada 1976. Memang tidak semua benda hasil penggalian ditempatkan di museum ini, ada juga yang dibawa ke Jakarta dan disimpan di museum pusat dan di Kantor Puslitarkenas. Museum Purbakala Pasir Angin yang dibangun tak jauh dari batu monolit ini, selanjutnya tidak hanya menyimpan benda purbakala dari situs ini, tetapi juga dari situs-situs lain di sekitar Bogor, seperti sejumlah arca dari situs Gunung Cibodas Ciampea yang keadaannya banyak yang tidak utuh lagi. Disimpan juga di museum ini manik-manik dan guci keramik yang ditemukan secara tidak sengaja di situs Pasir Gintung. Sampai sekarang, museum Pasir Angin merupakan satu-satunya museum yang berada di wilayah Kabupaten Bogor. Sebagai tempat penyimpan benda-benda bersejarah, tentunya museum ini bisa dioptimalkan untuk kepentingan ilmu pengetahuan, dalam hal ini ilmu sejarah dan arkeologi. Keberadaannya juga bisa untuk lebih mengenalkan para generasi muda terhadap sejarah masa lalu bangsanya sehingga para penerus bangsa ini tidak kehilangan jati diri. Keberadaan situs Pasir Angin dan museumnya merupakan cermin perjalanan budaya Megalitikum di Indonesia. Ritus pemujaan di tempat ini ternyata dilakukan dari masa prasejarah sampai terus tembus ke masa sejarah. (Hendra M. Astari, aktivis kebudayaan Sunda, tinggal di Bogor)*** -- d-: dudi herlianto :-q kunyuk nuyun kuuk, kuuk nuyun kunyuk