Menemukan Akar Gerakan Perempuan Indonesia

Oleh: Mukhotib MD

Berbagai diskusi sejarah gerakan perempuan Indonesia, biasanya-paling
sering-menyandarkan diri pada tokoh Kartini, yang disebut-sebut sebagai
tokoh emansipasi perempuan Indonesia. Walaupun kepahlawanan yang dilabelkan
kepada Kartini pantas untuk diragukan. Bukan saja ia tidak melakukan apa pun
kecuali hanya imajinasi semata-mata, tetapi ia sendiri bersedia menjadi
istri dari laki-laki yang sudah beristri. (Gadis Arivia: 1997). Menguatnya
kajian gerakan perempuan bersandar pada Kartini, setidaknya karena ia
meninggalkan written text, yaitu surat-surat yang ditulisnya dan lalu
diterbitkan dalam sebuah buku yang amat terkenal, "Habis Gelap Terbitlah
Terang". (Maria Hartiningsih: 2000). Berkaitan dengan buku di atas, tidak
sedikit pula para ahli yang menyangsikan keasliannya sebagai karya asli
Kartini (Saskia Eleonora Wieringa: 1999).

Kajian lain justru menunjukkan, tokoh seperti Dewi Sartika, sebenarnya jauh
lebih jelas melakukan tindakan-tindakan aksi ketimbang Kartini yang tidak
pernah melakukan apa-apa. Dewi Sartika mendirikan sekolah pertamanya pada
tahun 1904 dengan nama Sekolah Istri dan selanjutnya diubah menjadi Sekolah
Keutamaan Istri. Hingga tahun 1912, Dewi Sartika telah mendirikan 9 sekolah,
jumlah yang mencapai 50% dari keseluruhan sekolah di Pasundan (Marianne
Katoppo: 2000).

Kecurigaan sebagian peneliti terhadap written text itu, setidaknya bersandar
pada kemungkinan adanya keinginan Belanda untuk membuktikan keberhasilan
politik etis, dengan dibukanya peluang-peluang bagi bangsa Indonesia untuk
mendapatkan pendidikan. Sebab, semangat pendidikan di Indonesia akibat
politik etis-sesungguhnya tidak dimaksudkan untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa Indonesia, tetapi lebih untuk menunjang terselenggaranya pemerintah
Hindia Belanda. Mereka yang telah mendapatkan pendidikan dimaksudkan agar
bisa dapat bekerja di kantor-kantor pemerintahan Belanda. Sudah pasti,
kebanyakan hanya menduduki jabatan pegawai rendahan. (Sukanti Suryochondro:
1995).

Tetapi, menurut Sukanti Suryochondro, setidak-tidaknya-meski tidak secara
langsung, kebijakan politik etis telah membangkitkan semangat di kalangan
kaum perempuan untuk bergerak dan berjuang mendapatkan persamaan hak
pendidikan bagi perempuan. Buah dari semangat ini, berdirilah Poetri Mardika
(1912), salah satu organisasi perempuan yang kelahirannya memang mendapat
dukungan dari Boedi Oetomo (organisasi laki-laki). Dalam perkembangannya,
Poetri Mardika pernah mengajukan mosi kepada Gubernur Jenderal pada tahun
1915 agar perempuan dan laki-laki diperlakukan sama di muka hukum.

Setelah ini berdiri banyak perkumpulan perempuan baik yang didukung oleh
organisasi laki-laki maupun yang terbentuk secara mandiri oleh perempuan
sendiri. Sebut saja misalnya, Pa­wiyatan Wanito (Magelang, 1915), Percintaan
Ibu Kepada Anak Temurun-PIKAT (Ma­na­do, 1917), Purborini (Tegal, 1917),
Aisyiyah atas bantuan Muhammadiyah (Yogyakarta, 1917), Wanito Soesilo
(Pemalang, 1918), Wanito Hadi (Jepara, 1919), Poteri Boedi Sedjati
(Su­ra­baya, 1919), Wanito Oetomo dan Wanito Moeljo (Yogyakarta, 1920),
Serikat Kaoem Iboe Soematra (Bukit Tinggi, 1920), Wanito Katolik
(Yogyakarta, 1924). (Sukanti Suryo­chondro: 1995). Dalam catatan sejarah,
hampir setiap organisasi perempuan ini, menerbitkan majalah mereka sendiri
sebagai media untuk membentuk opini publik sehingga gagasan-gagasan mereka
terkomunikasikan ke dalam masyarakat luas.

Secara umum sifat tujuan organisasi tersebut adalah sosial dan kultural,
memperjuang­kan nilai-nilai baru dalam kehidupan keluarga dan masyarakat,
mempertahankan ekspresi kebudayaan asli melawan aspek-aspek kebudayaan Barat
yang tidak sesuai. Hampir tidak ada sumber yang bisa dilacak kegiatan
politik macam apa, kecuali catatan-catatan yang lebih menunjukkan pada
kegiatan-kegiatan sosial-budaya.

Gerakan nasionalisme juga berkobar di kalangan organisasi perempuan, dan
pada tang­gal 22 Desember 1928, diadakan Kongres Perempuan Indonesia I di
Yogyakarta. Kongres ini melahir­kan semacam federasi organisasi perempuan
dengan nama Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI) dan pada tahun
1929, setahun setelah terbentuknya, diganti menjadi Peri­kat­an Perkumpulan
Istri Indonesia (PPII). Pada awal berdirinya, upaya-upaya yang dilakukan
adalah perhatian pada lingkungan keluarga dan masyarakat, kedudukan
perempuan dalam hukum perkawinan (Islam), pendidikan dan perlindungan
anak-anak, pendidikan kaum perempuan, perempuan dalam perkawinan, mencegah
perkawinan anak-anak, nasib yatim piatu dan janda, pentingnya peningkatan
harga diri perempuan, dan kejahatan kawin paksa. Perhatian ini meluas,
misalnya, pada tahun 1935 dibentuk Badan Penyelidikan Perburuhan Kaum
Perempuan-salah satunya rapat umum untuk perempuan buruh batik di Lasem Jawa
Tengah, membentuk Badan Pemberantasan Buta Huruf, Badan Pemberantasan
Perdagangan Perempuan dan Anak-anak (Sukanti Suryochondro: 1995).

Perkembangan gerakan perempuan semakin maju, ketika dalam Kongres Perempuan
II, Maret 1932, isu nasionalisme dan politik muncul, selain soal perdagangan
peremuan, hak perempuan dan penelitian keadaan sanitasi di kampung serta
tingginya angka kematian bayi. Ki Hajar Dewantara, dalam pidatonya
mengatakan, sangat terkesan dengan perjuangan feminis di Turki, Cina,
Persia, dan India, yang memberikan kontribusi sangat besar bagi suksesnya
perjuangan nasional di negara mereka. Dua tahun sebelum Kongres II ini, pada
tahun 1930, Suwarni Pringgodigdo, mendirikan organisasi perempuan yang aktif
dalam perjuangan politik, yaitu Istri Sedar di Bandung dan menerbitkan
jurnal Sedar. Perjuangan lain, adalah upaya gerakan perempuan untuk
menentang poligami yang dipandang merugikan perempuan.

Pada tahun yang sama dengan berdirinya Istri Sedar tahun 1930-an, para
aktivis perempuan dalam Sarekat Rakyat mengorganisasikan demonstrasi politik
untuk buruh perempuan dengan tuntutan kenaikan upah, kesejahteraan buruh dan
keselamatan kerja. Salah satu aksi yang paling mencolok, sebenarnya justru
demonstrasi yang dilakukan sebelumnya, yaitu pada tahun 1926 di Semarang
yang menuntut perbaikan kondisi kerja bagi buruh perempuan, dengan memakai
caping kropak. Selama pembrontakan komunis pada tahun 1926 banyak perempuan
ditahan bukan hanya karena mereka membantu suami mereka, tetapi juga karena
aktivitas mereka sendiri. Bersama dengan laki-laki, banyak perempuan yang
diasingkan ke Boven Digul, sebuah kamp konsentrasi Belanda di Irian Jaya.
Sukaesih dari Jawa Barat, dan Munasiah dari Jawa Tengah termasuk di antara
perempuan-perempuan tersebut. (Saskia E. Wieringa: 1988).

Pada Kongres Perempuan III, setelah melakukan pembubaran PPII, mulai
dimunculkan isu tentang hak suara perempuan. Perempuan terus memperjuangkan
hak politik atau keterwakilan perempuan, dengan memperjuangkan Maria Ulfa
menjadi anggota Volksraad, meskipun gagal. Maria Ulfa kemudian terpilih
menjadi menteri Sosial pada Kabinet Syahrir II (1946) dan S.K. Trimurti
menjadi menteri Perburuhan pada Kabinet Amir Sjarifuddin (1947-1948). Pada
pemilu 1955, gerakan perempuan Indonesia berhasil menempatkan perempuan
sebagai anggota parlemen (Budi Wahyuni, dkk.: 2002).

Perjuangan dan gagasan gerakan perempuan yang sedemikian kuat dan berani
pada akhirnya menjadi sepi. Kentalnya patriarkhi yang melingkupi para
penulis sejarah Indonesia, menjadikan gerak perempuan dalam konteks
pembentukan bangsa ke arah kemerdekaan-tentu saja mencakup gerakan politik
yang telah mereka lakukan, tersisihkan atau bahkan terhapuskan sama sekali.
Kecuali catatan-catatan peran mereka dalam wilayah domestik, seperti dapur
umum untuk para gerilyawan. Di sinilah lantas muncul arus besar dalam
pendidikan sejarah di Indonesia tentang peran laki-laki dalam perjuangan
nasional dan nasionalisme kemudian menjadi sungguh-sungguh semata-mata
wacana laki-laki (Catherine Hall, 1993). Padahal, sebagaimana ditegaskan,
Catherine Hall, tak seharusnya ketertengge­lam­an perempuan dalam perjuangan
nasional ini hilang. Sebab jika membaca berkembangnya mo­tivasi utama yang
mendorong gerakan kemerdekaan Indonesia adalah kekecewaan terhadap kekuasaan
kolonial yang paternalistik dan berwatak menindas laki-laki, tetapi
perempuan jauh lebih berat mengalaminya, baik dalam kehidupan publik maupun
pribadi. Penindasan dua tingkat ini yang mendorong perempuan berpartisipasi
aktif dalam gerekan kemerdekaan. Selain, hampir menjadi fakta tak
terbantahkan, semua gerakan nasionalis Indonesia diorganisasikan oleh pemuda
dan perempuan untuk memerangi rasa kedaerahan yang mewarnai gerakan
kemerdekaan. Dalam konteks inilah, mulai muncul kritik tajam terhadap ilmu
pengetahuan sosial yang menyembunyikan pengalaman perempuan secara individu
maupun kolektif, dalam seluruh kegiatan sosial, ekonomi, politik, dan
kebudayaan. Kemunculan mereka dalam panggung sejarah gerakan nasional,
misalnya, hanya dalam posisi penempelan atau menduduki posisi antagonis.

Memasuki babak baru gerakan perempuan Indonesia, ketika pada tahun 1946,
setelah kemerdekaan diperoleh bangsa ini, organisasi perempuan mulai tumbuh,
baik sebagai organisasi yang baru maupun kebangkitan kembali yang telah ada.
Gerakan perempuan pasca kemerdekaan (masa Soekarno) ini, di samping tetap
memperjuangkan agenda-agenda-termasuk pasca pemberangusan di zaman Jepang,
mereka terus memperjuangkan kesamaan politik, hak memperoleh pendidikan dan
kesempatan bekerja. Persoalan yang dihadapi adalah tindakan diskriminatif
antara laki-laki dan perempuan. Pada masa ini, meski demikian, hak politik
yang sama setidaknya secara legal telah dijamin dalam pasal 27 UUD 45. Lalu
lahir UU 80/1958, yang menjamin adanya prinsip pembayaran yang sama untuk
pekerjaan yang sama, perempuan dan laki-laki tidak dibedakan dalam sistem
penggajian.

Sejarah gerakan perempuan yang panjang ini, memang masih banyak menyisakan
pertanyaan dan kebutuhan akan lacakan-lacakan yang lebih serius dan
mendalam. Karena sangat dibutuhkan adanya landasan sejarah yang kuat dalam
membangun gerakan perempuan saat ini. Diyakini benar, gerakan perempuan
memiliki kekhasan karakter dan strategi gerakan dan bahkan mungkin ideologi
dalam setiap tahapan sejarah di Indonesia. Soal lain, yang mungkin relevan
untuk didiskusikan adalah sejak kapan sesungguhnya akar sejarah gerakan
perempuan di Indonesia mesti ditautkan?

-----------------------------------------------

Mukhotib MD adalah Koordinator Jaringan Advokasi Konsumen Kesehatan
Reproduksi PKBI DIY








Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke