salam,
Ari Condro
Sales Support Group
PT LG Electronics Display Devices Indonesia
MM2100 Industrial Town
Cikarang Barat, Bekasi 17520 Indonesia 
92.0636
0812-8460316
----- Original Message ----- 
From: "Taufik Munir" <[EMAIL PROTECTED]>
Kebangkitan Sastra di Mesir pada abad modern diawali
dengan berkembangnya aliran sastra yang kemudian
dikenal dengan aliran konservatif (Tayyar
al-Muhafidzin), yaitu aliran yang merekonstruksi ruang
lingkup sastra dengan tetap merevivalisasi sastra
klasik serta mengembangkan tema sastra sesuai dengan
kondisi kekinian. Pelopor aliran ini adalah Mahmud
Sami al-Barudi (1838-1904).
Pembaharuan yang dilakukan Barudi bukan melakukan
sweeping atau menyapu bersih kaidah-kaidah sastra
klasik, seperti qowafi (rhyme) dan wazan (ritme). Oleh
karena itu aliran ini disebut muhafidziin karena
mereka tetap menjaga parameter sastra yang diwariskan
secara turun-temurun dari sastrawan-sastrawan klasik.
Namun demikian, pembaharuan Barudi hanya sebatas
pembaharuan pada diksi tema yang dikaitkan dengan
kondisi pada zamannya atau hasil dari interaksi
langsung dengan sosial budaya masyarakat pada waktu
itu. 

Sepeninggal Barudi, muncullah para kampium sastra yang
dengan gigih terus merombak dan mengembangkan aliran
ini hingga banyak sastrawan yang belajar dan semakin
mencetuskan Barudi sebagai pelopor pembaharuan sastra.
Diantara sekian banyak yang menimba ilmu dari Barudi
diantaranya: Ahmad Syauqi, Hafid Ibrahim, Matron,
Ahmad Muharam dan Rasafi yang menyumbangkan andil
besar dalam pembaharuan sastra Arab.

Namun, penulis mencoba mengangkat satu diantara
sastrawan yang paling kesohor di dunia Arab, yaitu
Ahmad Syauqi. Nyaris tak ada masyarakat dunia yang
tidak mengenal Syauqi karena kepiawaiannya mengolah
kata-kata sastra dan mengeksplorasi keindahan
puisi-puisinya. Sastrawan-sastrawan lain sangat
mengagumi syair Syauqi, hingga pada tahun 1928 Syauqi
resmi dikukuhkan sebagai Amir Syu'aro (Raja Pujangga)
negeri arab. 

Banyak yang menarik dalam membahas tokoh sastra ini.
Karena barangkali dialah satu-satunya sastrawan yang
muncul dari kalangan bangsawan. Maka tidak heran jika
pertama kali sastranya terlahir dari gejolak kehidupan
istana yang pada waktu itu Mesir berada di bawah
kekuasaan dinasti Ottoman (Turki Ustmani). Karena itu
syair-syair Syauqi banyak mengangkat isu para petinggi
Istana. Walaupun begitu Syauqi tidak lama bernaung di
bawah atap mewah singgasana, hingga pada akhirnya ia
mengalami kegetiran hidup di luar istana beberapa
lama. Lebih tragis lagi, ketika masa-masa kehidupannya
di pengasingan, yang tentu saja membuat perubahan yang
drastis pada setting syair yang diangkat Syauqi. Latar
belakang inilah yang penulis anggap penting untuk
mengenal Syauqi lebih dekat lagi.

Riwayat Hidup Ahmad Syauqi 
Ahmad Syauqi dilahirkan di daerah Alhanafi Kairo pada
16 Oktober 1868 M.  Darah campuran yang ada pada
dirinya berasal dari Arab, Turki dan Yunani. Darah
Arab ia dapatkan dari ayahnya yang berasal dari suku
Kurdi, sedangkan Ahmad Halim sang kakek (bapak dari
ayahnya) berasal dari Turki yang kemudian menikah
dengan Tamraz, seorang dara Yunani.  Silsilah yang
gado-gado ini berpengaruh kuat pada karakter sastra
Syauqi, dimana Arab dan Yunani terkenal dengan syair
dan para sastrawannya.

Banyak anekdot yang selalu dituangkan penulis sejarah
seni dan budaya untuk memberi gambaran betapa intimnya
keluarga Syauqi dengan para petinggi Istana: Sewaktu
kecil, mata Syauqi sakit. Syauqi kecil tidak dapat
melihat ke bawah. Pada suatu hari sang nenek membawa
Syauqi kecil mengunjungi Ismail (Penguasa Mesir pada
waktu itu). Melihat mata Syauqi yang tidak dapat
melihat ke bawah, Ismail mengambil beberapa butiran
emas kemudian menaburkannya di atas permadani.
Seketika pandangan Syauqi 'turun' ke bawah, lalu
berusaha mengumpulkan dan bermain dengan butiran emas.
Melihat tingkah polah Syauqi itu, Ismail memberi saran
kepada sang nenek agar mengobati cucunya seperti yang
ia lakukan. Sang nenek menjawab, "Obat seperti ini
tidak dapat saya jumpai kecuali pada apotik paduka".  

Cerita ini menunjukan kecerdasan neneknya yang memang
berasal dari Yunani dengan jawaban yang nyastra. 
Pada masa Syauqi dua sistem pendidikan diberlakukan.
Pertama sistem pendidikan agama yang dipelopori
al-Azhar, dan kedua sistem Eropa yang berorientasi
pada sains dan sastra. Syauqi memilih alternatif
kedua. Setelah menamatkan Pendidikan Dasar dan
Menengahnya di bawah asuhan syekh Soleh, ia
melanjutkan studi di Fakultas hukum, kemudian pindah
ke "fakultas Tarjamah" sehingga mendapatkan ijazah
dalam bidang Seni Terjemah. Kemudian Syauqi
melanjutkan studinya di Perancis untuk memperdalam
ilmu hukum dan sastra Perancis. Di Perancis Syauqi
mulai bersentuhan dengan sastra dan para sastrawan
Eropa khususnya sastra Perancis. Ia banyak membaca dan
menonton drama Perancis seperti Son of Alexandria
Diamas dan Ji Di Mo Basan. Pada tahun 1894 Syauqi
kembali ke Mesir. Wawasan dan pengetahuan Syauqi juga
semakin bertambah saat ia habiskan empat tahun
berkelana di Perancis, ia semakin menguasai bahasa
Perancis dan Turki sekaligus.

Akibat campur tangan Inggris, pada saat Perang Dunia I
meletus Syauqi dan para pejabat istana lainnya
diasingkan ke Andalusia (Spanyol). Di pengasingan
inilah Syauqi dicekam kesendirian dan kerinduan akan
tanah airnya yang kemudian dituangkan ke dalam
syair-syair melankolis.

Usai Perang Dunia, Syauqi kembali ke tanah airnya
mengabdikan diri kepada bangsa dan negaranya terutama
dalam bidang sastra sampai menghembuskan napas
terakhir pada 13 Oktober 1932. 

Tema-tema Syair Syauqi
Secara global tema-tema yang diusung syair Syauqi
terbagi dua; 

Pertama tema-tema "kuno" mengikuti jejak para
sastrawan klasik, tema ini diantaranya adalah al-madh
(sanjungan), al-fakher (kebanggan), al-ghozal
(rayuan), al-rosta (belasungkawa) dan al-Hikmah
(kata-kata bijak) serta tema-tema lain yang berkaitan
dengan etika dan estetika. Kedua adalah tema-tema
kontemporer yang tidak dapat dijumpai pada syair
klasik. diantara tema-tema baru tersebut adalah,
pertama, Sejarah. 
Tema sejarah yang Syauqi ungkapkan bukan hanya sebuah
rentetan peristiwa tertentu yang sudah terjadi. Pada
tema sejarah ini Syauqi menyisipkan suatu ibroh
(pelajaran) yang ada pada sejarah dan peristiwa
tersebut. Syauqi sendiri tahu banyak sejarah Mesir
Kuno, sejarah Islam dan Sejarah Turki. Diantara
kumpulan syairnya yang bertemakan sejarah adalah:
Kibar al-Hawadis fii Wady el-Nil (Prahara Besar di
Lembah Nil) yang menceritakan sejarah awal Mesir, Tut
Akhmun wa al-hadharah (Tut Akhmun dan Peradabannya),
Waqa'i al-Usmaniyah (Fakta-fakta Dinasti Ottoman) dan
syair-syair sejarah Islam.

Kedua bertemakan Sosial. Kepedulian Syauqi terhadap
sosial budaya dilatarbelakangi oleh gap antara
kehidupan masyarakat dan istana. Kesenjangan yang
menganga itu semakin mengentalkan niatnya untuk
semakin menyatu dengan rakyat dan memperhatikan
kalangan grass-root. Syair-syair sosial yang diangkat
Syauqi bisanya berkisar tentang kemiskinan, kebodohan
dan petaka penyakit yang didera rakyat Mesir. Dalam
tema sosial ini kita bisa melihat judul-judul puisinya
seperti: al-Hilal wa al-Sholib al-Ahmaroni (Bulan
Sabit Merah dan Salib Merah), al-ilmu wa al-ta'lim wa
wajibul mu'alim (Sains, Pendidikan dan Tuntutan Guru),
dan lain lain.

Selain itu, --dan ini yang ketiga-- kita bisa jumpai
syair-syair kontemporer yang bertemakan Fukahah
(Anekdot). Meski syair-syairnya yang satiris dan tak
pelak membuat pembacanya tertawa geli, namun anekdot
Syauqi lebih menekankan substansi humor tersebut bukan
pada permainan kata-kata seperti biasa dijumpai pada
karya sastrawan lain. Dalam anekdotnya, Syauqi banyak
menggunakan kata-kata samaran untuk menutupi identitas
seseorang yang ia tulis. Diantara tema humor dalam
syair Syauqi adalah al-Asad wa wajiiruhu al-himar
(Singa dan Menteri Keledai).

Sedangkan jenis syair yang keempat, yaitu Syair Drama.
Ketika itu belum ada penyair yang memperkenalkan
bentuk baru ini dalam sastra Arab, namun ternyata
Syauqi berhasil membuat terobosan baru tersebut.
Naskah drama yang dikemas dalam bentuk syair baru
dikenal Arab di zaman modern ini, dan Syauqi adalah
pelopornya.

Darah Yunani yang dimiliki Syauqi rupanya telah
mendorongnya menciptakan syair drama. Bukan hanya itu,
ia juga banyak membaca drama-drama 'produk' Barat
ketika masih belajar di Perancis. Drama yang diangkat
Syauqi pada umumnya bersumber dari sejarah Mesir Kuno.
Drama yang pertama kali diciptakan Syauqi berjudul
"Cleopatra" yang ia tulis pada tahun 1927. Drama ini
menceritakan hubungan antara kekaisaran Romawi dan
kerajaan Mesir pada masa Bathelius di Alexandria yang
pada waktu itu dikuasai oleh Cleopatra satu abad
sebelum Masehi. (Dr Muhammad Anani, Ajmalu ma kataba
Amir al-Syu'ara Ahmad Syauqi, Maktabat al-Usrah 2003).

Bukan rahasia lagi jika banyak sastrawan Barat
mengangkat kisah "Cleopatra" sebagai sejarah hitam
kerajaan Romawi dan Yunani, karena mereka
mengilustrasikan Cleopatra sebagai wanita jalang yang
menjual dirinya untuk mengadu domba antara Antonio
(komandan perang Yunani) dan Actafius (sang kaisar)
pada pertempuran sengit yang dikenal dengan petempuran
Actiyum, yaitu perang yang berkecamuk di lautan lepas.
Sebaliknya, Syauqi berhasil menampilkan sosok
Cleopatra sebagai pahlawan Mesir yang cerdas dan
berani, rela mengorbankan dirinya untuk membebaskan
Mesir dari penjajahan Yunani. 

Pengaruh Istana Dalam Syair-syair Syauqi
Di atas telah disinggung bahwa Syauqi mendapatkan
kedudukan tinggi di istana pada masa Sultan Abbas. Ia
sendiri diangkat Abbas sebagai penterjemah istana dan
sebagai orang kepercayaanya, banyak
keputusan-keputusan kerajaan diadopsi dari inspirasi
Syauqi.

Masalahnya adalah kedudukan yang didapatkan Syauqi di
istana membuatnya jauh dari kehidupan rakyat, dan
tidak memperhatikan keadaan rakyat pada waktu itu,
bahkan feeling sastranya pun banyak berkaitan dengan
istana yang ia tempati. Syair-syair yang lahir ketika
itu berisikan pujian-pujian terhadap kaum ningrat
istana. Kebanggaannya terhadap syair pujian yang ia
ciptakan dapat dilihat dalam salah satu bait syairnya:


syairul azizi ma'a bil qaliili zal laqobi 

Sang pujangga kini di samping yang mulia
yang sederhana ia berjulukan nama. 

Bisa ditebak, yang dimaksud "yang mulia" adalah Sultan
Abbas. 
Kondisi kehidupan politik Mesir yang carut marut pada
masa itu sangat mempengaruhi Syauqi untuk menjadi
penyair istana. Di hadapan Syauqi, istana dan
kehidupannya merupakan sumber kebesaran. Saat itu
seluruh jiwa dan raga Syauqi adalah milik istana.
Bahkan seandainya saat itu ia tengah marah, maka
marahnya sebagai ungkapan dukungan penuh terhadap
istana.

Merendahkan Bangsa Arab
Andaikata ada demokrasi dan kebebasan pada masa itu,
niscaya akan terlahir sedikit perbedaan dalam tampilan
komposisi syairnya. Ada dua peristiwa dimana Syauqi
terlihat jelas keberpihakannya pada istana tanpa
memperhatikan rakyat biasa : Pertama,  ketika ia baru
pulang dari Perancis setelah empat tahun belajar
disana. Timbul sikap arogansi dirinya dan lebih
mengangkat tema 'darah biru' dan bangsawan istana.
Pengetahuan Barat yang ia dapat, berpengaruh besar
pada sikapnya yang merendahkan kebudayaan Arab. Ia
berasumsi bahwa yang menjadikannya maju bukanlah
bangsa Arab, tapi para bangsawan istana yang
kebanyakan bukan kalangan Arab, karena yang mendorong
dan mendukungnya studi di Eropa adalah Abbas, sang
Sultan. Kedua: Peristiwa Densaway, peristiwa ini
terjadi karena salah seorang tentara Inggris mati di
daerah ini karena tertimpa sengatan matahari ketika
hendak merampas ladang para petani. Kemudian Jendral
Lord Klomer mengomandoi tentaranya untuk membantai
penduduk desa tersebut, dan timbulah pemberontakan dan
perlawanan dari rakyat Densaway. Pada peristiwa
tersebut para petinggi kerajaan tidak ikut campur,
termasuk Syauqi yang merekam sejarah tersebut dalam
syairnya. Dalam syairnya Syauqi  menduga kesalahan
Lord Klomer hanya kesalahan biasa, maka ia memohon
kepada masyarakat agar melupakannya. (Bakinaz Muhammad
Sa'id- Amir al-Syu'ara Ahmad Syauqi, hal. 5).
Selain penyair istana yang selalu  memuji para
bangsawan Mesir, Syauqi juga banyak memuji para
bangsawan Turki, kelompok syairnya ini disebut dengan
at-Turkiyat (Turki sentris). Salah satu syairnya
berjudul al-Andalus al-Jadidah yang mengasosiasi Turki
ke dalam kategori Spanyol yang pernah menorehkan
kejayaan di belahan bumi Eropa.  

Diasingkan
Setelah PD I meletus, Inggeris berhasil menguasai
Mesir dan Husen Kamil diangkat sebagai pimpinan Mesir.
Abbas dan keluarganya diusir. Syauqi yang merupakan
orang kepercayaannya tak luput dari malapetaka itu, ia
dibuang ke Spanyol, tepatnya di Filderiro, Barcelona.

Di pengasingan inilah Syauqi terlepas dari belenggu
istana yang bertahun-tahun mengikatnya. Terjadi
perubahan gaya hidup Syauqi yang sebelumnya hidup
bergelimang kemewahan, di pengasingan ia lalui
hari-hari dicekam kesedihan yang sebelumnya ia tidak
pernah alami. Perasaannya berkecamuk nestapa karena
terpisah dari tanah air, pedih karena dahsatnya
perang, resah karena Abbas diasingkan, dan gelisah
karena kecintaannya akan tanah air. 

Syauqi mulai merasakan dua sisi kehidupan yang berbeda
antara senang dan sedih, ni'mat dan sengsara. Semuanya
ia alami. Ini semua mempunyai pengaruh dalam perubahan
syair Syauqi dari penyair istana menjadi penyair
nasionalis dan kerakyatan. Maka lahirlah Syair
Assiniya* (syair yang tiap akhir baitnya berujung
huruf sin -Pen.) yang mengungkapkan kerinduannya
terhadap tanah air: 

Haramkah seekor Bulbul kembali ke sangkar
O halal semua jenis burung menempati
Setiap rumah pasti berpenghuni
Hanya mereka yang hina
rumah orang lain dihuni
(As Syauqiyat, Ali Abd el-Monem, hal. 559). 

Dalam bait ini Syauqi mengumpamakan dirinya sebagai
seekor Bulbul. Burung ini tidak dapat tinggal kecuali
pada sangkarnya. Demikian juga Syauqi tidak dapat
tinggal selain di Mesir. Kemudian Syauqi menganalogi
penjajah inggris dengan burung biasa yang suka tinggal
dan mengacak-acak sangkar burung lain. 

Itulah penggalan sajak Syauqi yang intinya adalah
kerinduan akan tanah air. Dalam Syairnya ini, Syauqi
banyak mengambil bentuk metafora untuk mengambarkan
kerinduannya terhadap Mesir.

Hanya beberapa waktu Syauqi tinggal di Andalusia yang
berubah menjadi Spanyol itu. Selama lima tahun banyak
pengalaman yang direguknya, ia banyak berkeliling
kota-kota bersejarah di Andalusia, puing-puing kota
kerajaan Islam terkenal. Ia kunjungi Cordova, Granada,
Sicillia dan kota lainnya. Sastra Andalusia ia tekuni,
baik yang berupa novel atau syair, seperti novel
"Putri Andalus" dan Syair Ibnu Jaidun. Dengan banyak
membaca sastra Islam di Andalusia, kebanggaannya
terhadap peradaban Arab mulai tumbuh. Ia sadar bahwa
bangsa Arab telah memiliki peradaban yang tinggi.
Semua wawasannya tentang peradaban Arab ia tuangkan
dalam buku yang berjudul Duwal al-Arab wa 'udzoma
al-Islam (Antologi syair Arab dan rezim Islam). 
Setelah perang dunia usai, ia kembali ke tanah air.
Tentunya pintu istana sudah tertutup baginya, untuk
selanjutnya ia memilih menjauhkan diri dari kemewahan
dunia dan mencari tempat peristirahatan yang dekat
dengan rakyat. Ia tingalkan kemegahan, lalu berbaur
dengan masyarakat dan hidup sederhana bersama rakyat
biasa. Dari sinilah tema Syair Syauqi mulai banyak
mengangkat kehidupan sosial: tentang kemiskinan,
penderitaan, ketimpangan sosial, pendidikan rakyat dan
lain sebagainya.

Beberapa Keistimewaan
Diantara keistimewan Syair Syauqi dapat dijumpai pada
susunan redaksinya yang lugas dan jelas, tentunya
karena didukung dengan kepiawaiannya dalam menguasai
bahasa asing seperti bahasa Perancis, Turki, dan
banyak menghapal kamus bahasa asing lainnya. Dari segi
musik, keindahan syair Syauqi banyak dikagumi para
seniman musik ataupun para musikus di zamannya. 
Yang istimewa pada syair Syauqi juga adalah jenis
Sy'ir Ghoiry yang ia miliki. Syi'ir Ghairi yang
dimaksud di sini adalah subjek atau personifikasi yang
dimunculkan bukan atas mana dirinya. Ia jarang
mengangkat dirinya dalam tema Syair, kebanyakan
temanya mengisahkan orang lain. Pada fase kehidupan
istana, syair-syairnya dipersembahkan untuk memuji
orang lain. Kendatipun ia pernah membanggakan diri
dalam pengungkapan syair namun ia ungkapkan dengan
diksi dan redaksi yang seolah diarahkan kepada pihak
lain (Shawqi Dhief, 1999). Syauqi dianggap sebagai
seorang penyair baru karena mampu ia tuangkan syairnya
dengan uslub Ghoiry (diksi the other man), karena
diksi tersebut ini lebih sulit dibandingkan dengan
diksi yang mengekspresikan identitas dirinya sendiri.

Syauqi dan Kritik Sastra 
Kritik mengkritik merupakan hal yang lazim dalam dunia
sastra, bahkan dijadikan satu disiplin ilmu yang
dikaji di lembaga bahasa yang biasa dikenal dengan
kritik sastra. Sastra-sastra Syauqi juga tak luput
dari hantaman kritik para sastrawan yang hidup pada
zamannya, seperti Abbas Mahmud al-Akkad dan Toha
Husein. Menurut Akkad, syair Syauqi tidak relevan
dengan aliran baru, terlalu mengikuti arus dengan
tradisi sastra dan syair klasik. Dalam bahasa
perumpaan (tasybihat) misalnya, Syauqi banyak
mengadopsi bentuk, simbol-simbol dan warna, bukan dari
'rasa' (al-'Atifah). Begitu juga halnya dengan
syairnya yang tidak lagi natural yang telalu
menekankan pada ornamen kata. Akkad juga menilai syair
Syauqi menghambat aliran sastra baru yang ingin
melepaskan diri dari belenggu sastra klasik seperti
wazan (ritme) dan qofiyah (rhyme). 

Namun rupanya kritik tersebut memuat unsur
subjektifitas pada diri Akkad. Larisnya syair Syauqi
di pasaran dan selalu dimuat media massa pada saat itu
membuat -Akkad yang juga sastrawan- kelimpungan. 
Sedangkan Thoha Husen menuduh Syauqi sebagai penyair
malas, karena di salah satu sanjak yang berjudul
Aristotelles, Syauqi banyak menyadur karya Plato,
gurunya Aristotelles. Pada kesempatan lain, Thoha
mengkritisi syair Syauqi yang terlalu hiperbolis dalam
menganalogi potret masa silamnya. Dalam syairnya,
misalnya, ia menyebutkan predikat ummul muhsiniin (ibu
orang-orang bijak) sebuah gelar kebesaran yang
ditujukan kepada Ibunda Abbas. Ia gambarkan kepulangan
Ummul Muhsiniin dari Turki menggunakan kata al-Haudah
(sebuah tenda yang memayungi punggung hewan), padahal
ibunya Abbas datang ke Kairo dengan mengendarai mobil
yang pada waktu itu sudah tidak asing lagi.  

Gugatan Thoha Husen ini dijawab oleh Syauqi Dhief
bahwa penggunaan kata haudah sebagai kendaraan Ummul
Muhsiniin adalah penghormatan khusus untuk sang ratu,
seperti yang terjadi pada ratu-ratu jaman baheula yang
memang terbiasa menggunakannya. Menjawab tuduhan Toha
Husen yang menyatakan bahwa Syauqi banyak mengadopsi
karya Plato dalam syair Aristotelles, Dhief mengatakan
bahwa antara filsafat dan sastra terpaut jarak yang
jauh. Filasafat sarat dengan olah pikir, sementara
sastra berada dalam dimensi rasa dan estetika. 

Kendati kritik datang bertubi-tubi, Syauqi tetaplah
Syauqi. Ia semakin mendapat derajat tinggi dalam
sastranya. Ia tinggalkan kehidupan bangsawan beralih
ke kehidupan rakyat biasa, sehinga syair-syairnya
banyak diterima kalangan luas.
Begitulah. Pro dan kontra dalam hal apapun merupakan
hal yang biasa terjadi. Namun bagaimanapun, --meminjam
istilah Syukri Iyadh-- Syauqi dikelilingi beberapa
pihak yang penuh kebencian dan dendam. Di sisi lain
Syauqi dipayungi para pengagum yang menaruh hormat
luar biasa. Bahkan kendatipun Dhief mencoba
mengkritisi syair-syair Ahmad Syauqi dan mencoba
mengimbangi dua kontraversi tersebut semaksimal
mungkin, akan tetapi ternyata ia bertekuk lutut pada
shigot (formula bahasa) Arab Syauqi yang kental dan
terkenal dengan penggunaan bahasa Arab klasik yang
jarang sekali digunakan oleh penyair sezamannya, atau
bahkan hingga hari ini! 
Para penggemar syair Ahmad Syauqi juga melihat
beberapa segi syair yang pernah diamati Muhammad
Husain Haikal sebagai "dualisme sosok Syauqi". Pada
suatu sisi Syauqi adalah penyair Arab-Muslim, di sisi
lain ia juga seorang penyair nasionalis. Namun pada
cetakan kedua, ia menegaskan dualisme Syauqi yang
beraliran hikmah, zuhd (asketis) dan
reflektif-kontemplatif bersama aliran almat'
al-hissiyah (kenikmatan inderawi) dan kenikmatan
estetika seolah dua figur manusia tersebut menyatu
dalam satu tokoh bernama Ahmad Syauqi, meskipun, kita
percaya -berdasarkan kritik sastra modern- bahwa
"identitas penyair wajib terisolir dari substansi
syair". Berdasarkan post-critism sastra menyatakan
sekte-sekte pemikiran tidak musti dikaitkan kepada
seorang penyair seperti halnya dikait-kaitkan pada
suatu era tertentu. Karena itu kita berupaya
merepresentasikan zaman tersebut dengan sajak-sajak
yang berseberangan dengan peristiwa-peristiwa yang
tengah terjadi. Koleksi syair Ahmad Sauqi juga
berseberangan dengan syair-syair putra generasi kita
baik yang kita hapal sewaktu kecil dalam buku-buku
koleksian atau berdasarkan peribahasa-peribahasa
ralyat yang merambat dari mulut ke mulut, atau yang
menjadi bagian dari seni klasik Arab.[] 


Daftar Pustaka
1. DR. Shalhuddin Muhammd Abdul al-Tawwab, Madaaris
al-Syi'ri al-Arobi fii al-'Asry al- Hadist, al-Azhar
Press. 
2. DR Ali Ali Subhi dan DR Husni Muhammad Azil , Min
al-Nushus al-Adabiyah fii al-'Asri al-Hadits. Al-Azhar
Press. 
3. DR. Syauqi Dhiif,  Syauqi Syaa'i al-'asri
al-Hadist. Daarul Ma'arif, Mesir
4. Bakinaz Muhammad Sa'id, Amir al-Syu'ara Ahmad
Syauqi, tanpa penerbit 
5. Abdul Mun'im Khofagah, Taarikh al-Adab fii al-'Asri
al-hadits.








------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Get fast access to your favorite Yahoo! Groups. Make Yahoo! your home page
http://us.click.yahoo.com/dpRU5A/wUILAA/yQLSAA/aYWolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke