salam, Ari Condro Sales Support Group PT LG Electronics Display Devices Indonesia MM2100 Industrial Town Cikarang Barat, Bekasi 17520 Indonesia 92.0636 0812-8460316 ----- Original Message ----- From: "Taufik Munir" <[EMAIL PROTECTED]> Kebangkitan Sastra di Mesir pada abad modern diawali dengan berkembangnya aliran sastra yang kemudian dikenal dengan aliran konservatif (Tayyar al-Muhafidzin), yaitu aliran yang merekonstruksi ruang lingkup sastra dengan tetap merevivalisasi sastra klasik serta mengembangkan tema sastra sesuai dengan kondisi kekinian. Pelopor aliran ini adalah Mahmud Sami al-Barudi (1838-1904). Pembaharuan yang dilakukan Barudi bukan melakukan sweeping atau menyapu bersih kaidah-kaidah sastra klasik, seperti qowafi (rhyme) dan wazan (ritme). Oleh karena itu aliran ini disebut muhafidziin karena mereka tetap menjaga parameter sastra yang diwariskan secara turun-temurun dari sastrawan-sastrawan klasik. Namun demikian, pembaharuan Barudi hanya sebatas pembaharuan pada diksi tema yang dikaitkan dengan kondisi pada zamannya atau hasil dari interaksi langsung dengan sosial budaya masyarakat pada waktu itu.
Sepeninggal Barudi, muncullah para kampium sastra yang dengan gigih terus merombak dan mengembangkan aliran ini hingga banyak sastrawan yang belajar dan semakin mencetuskan Barudi sebagai pelopor pembaharuan sastra. Diantara sekian banyak yang menimba ilmu dari Barudi diantaranya: Ahmad Syauqi, Hafid Ibrahim, Matron, Ahmad Muharam dan Rasafi yang menyumbangkan andil besar dalam pembaharuan sastra Arab. Namun, penulis mencoba mengangkat satu diantara sastrawan yang paling kesohor di dunia Arab, yaitu Ahmad Syauqi. Nyaris tak ada masyarakat dunia yang tidak mengenal Syauqi karena kepiawaiannya mengolah kata-kata sastra dan mengeksplorasi keindahan puisi-puisinya. Sastrawan-sastrawan lain sangat mengagumi syair Syauqi, hingga pada tahun 1928 Syauqi resmi dikukuhkan sebagai Amir Syu'aro (Raja Pujangga) negeri arab. Banyak yang menarik dalam membahas tokoh sastra ini. Karena barangkali dialah satu-satunya sastrawan yang muncul dari kalangan bangsawan. Maka tidak heran jika pertama kali sastranya terlahir dari gejolak kehidupan istana yang pada waktu itu Mesir berada di bawah kekuasaan dinasti Ottoman (Turki Ustmani). Karena itu syair-syair Syauqi banyak mengangkat isu para petinggi Istana. Walaupun begitu Syauqi tidak lama bernaung di bawah atap mewah singgasana, hingga pada akhirnya ia mengalami kegetiran hidup di luar istana beberapa lama. Lebih tragis lagi, ketika masa-masa kehidupannya di pengasingan, yang tentu saja membuat perubahan yang drastis pada setting syair yang diangkat Syauqi. Latar belakang inilah yang penulis anggap penting untuk mengenal Syauqi lebih dekat lagi. Riwayat Hidup Ahmad Syauqi Ahmad Syauqi dilahirkan di daerah Alhanafi Kairo pada 16 Oktober 1868 M. Darah campuran yang ada pada dirinya berasal dari Arab, Turki dan Yunani. Darah Arab ia dapatkan dari ayahnya yang berasal dari suku Kurdi, sedangkan Ahmad Halim sang kakek (bapak dari ayahnya) berasal dari Turki yang kemudian menikah dengan Tamraz, seorang dara Yunani. Silsilah yang gado-gado ini berpengaruh kuat pada karakter sastra Syauqi, dimana Arab dan Yunani terkenal dengan syair dan para sastrawannya. Banyak anekdot yang selalu dituangkan penulis sejarah seni dan budaya untuk memberi gambaran betapa intimnya keluarga Syauqi dengan para petinggi Istana: Sewaktu kecil, mata Syauqi sakit. Syauqi kecil tidak dapat melihat ke bawah. Pada suatu hari sang nenek membawa Syauqi kecil mengunjungi Ismail (Penguasa Mesir pada waktu itu). Melihat mata Syauqi yang tidak dapat melihat ke bawah, Ismail mengambil beberapa butiran emas kemudian menaburkannya di atas permadani. Seketika pandangan Syauqi 'turun' ke bawah, lalu berusaha mengumpulkan dan bermain dengan butiran emas. Melihat tingkah polah Syauqi itu, Ismail memberi saran kepada sang nenek agar mengobati cucunya seperti yang ia lakukan. Sang nenek menjawab, "Obat seperti ini tidak dapat saya jumpai kecuali pada apotik paduka". Cerita ini menunjukan kecerdasan neneknya yang memang berasal dari Yunani dengan jawaban yang nyastra. Pada masa Syauqi dua sistem pendidikan diberlakukan. Pertama sistem pendidikan agama yang dipelopori al-Azhar, dan kedua sistem Eropa yang berorientasi pada sains dan sastra. Syauqi memilih alternatif kedua. Setelah menamatkan Pendidikan Dasar dan Menengahnya di bawah asuhan syekh Soleh, ia melanjutkan studi di Fakultas hukum, kemudian pindah ke "fakultas Tarjamah" sehingga mendapatkan ijazah dalam bidang Seni Terjemah. Kemudian Syauqi melanjutkan studinya di Perancis untuk memperdalam ilmu hukum dan sastra Perancis. Di Perancis Syauqi mulai bersentuhan dengan sastra dan para sastrawan Eropa khususnya sastra Perancis. Ia banyak membaca dan menonton drama Perancis seperti Son of Alexandria Diamas dan Ji Di Mo Basan. Pada tahun 1894 Syauqi kembali ke Mesir. Wawasan dan pengetahuan Syauqi juga semakin bertambah saat ia habiskan empat tahun berkelana di Perancis, ia semakin menguasai bahasa Perancis dan Turki sekaligus. Akibat campur tangan Inggris, pada saat Perang Dunia I meletus Syauqi dan para pejabat istana lainnya diasingkan ke Andalusia (Spanyol). Di pengasingan inilah Syauqi dicekam kesendirian dan kerinduan akan tanah airnya yang kemudian dituangkan ke dalam syair-syair melankolis. Usai Perang Dunia, Syauqi kembali ke tanah airnya mengabdikan diri kepada bangsa dan negaranya terutama dalam bidang sastra sampai menghembuskan napas terakhir pada 13 Oktober 1932. Tema-tema Syair Syauqi Secara global tema-tema yang diusung syair Syauqi terbagi dua; Pertama tema-tema "kuno" mengikuti jejak para sastrawan klasik, tema ini diantaranya adalah al-madh (sanjungan), al-fakher (kebanggan), al-ghozal (rayuan), al-rosta (belasungkawa) dan al-Hikmah (kata-kata bijak) serta tema-tema lain yang berkaitan dengan etika dan estetika. Kedua adalah tema-tema kontemporer yang tidak dapat dijumpai pada syair klasik. diantara tema-tema baru tersebut adalah, pertama, Sejarah. Tema sejarah yang Syauqi ungkapkan bukan hanya sebuah rentetan peristiwa tertentu yang sudah terjadi. Pada tema sejarah ini Syauqi menyisipkan suatu ibroh (pelajaran) yang ada pada sejarah dan peristiwa tersebut. Syauqi sendiri tahu banyak sejarah Mesir Kuno, sejarah Islam dan Sejarah Turki. Diantara kumpulan syairnya yang bertemakan sejarah adalah: Kibar al-Hawadis fii Wady el-Nil (Prahara Besar di Lembah Nil) yang menceritakan sejarah awal Mesir, Tut Akhmun wa al-hadharah (Tut Akhmun dan Peradabannya), Waqa'i al-Usmaniyah (Fakta-fakta Dinasti Ottoman) dan syair-syair sejarah Islam. Kedua bertemakan Sosial. Kepedulian Syauqi terhadap sosial budaya dilatarbelakangi oleh gap antara kehidupan masyarakat dan istana. Kesenjangan yang menganga itu semakin mengentalkan niatnya untuk semakin menyatu dengan rakyat dan memperhatikan kalangan grass-root. Syair-syair sosial yang diangkat Syauqi bisanya berkisar tentang kemiskinan, kebodohan dan petaka penyakit yang didera rakyat Mesir. Dalam tema sosial ini kita bisa melihat judul-judul puisinya seperti: al-Hilal wa al-Sholib al-Ahmaroni (Bulan Sabit Merah dan Salib Merah), al-ilmu wa al-ta'lim wa wajibul mu'alim (Sains, Pendidikan dan Tuntutan Guru), dan lain lain. Selain itu, --dan ini yang ketiga-- kita bisa jumpai syair-syair kontemporer yang bertemakan Fukahah (Anekdot). Meski syair-syairnya yang satiris dan tak pelak membuat pembacanya tertawa geli, namun anekdot Syauqi lebih menekankan substansi humor tersebut bukan pada permainan kata-kata seperti biasa dijumpai pada karya sastrawan lain. Dalam anekdotnya, Syauqi banyak menggunakan kata-kata samaran untuk menutupi identitas seseorang yang ia tulis. Diantara tema humor dalam syair Syauqi adalah al-Asad wa wajiiruhu al-himar (Singa dan Menteri Keledai). Sedangkan jenis syair yang keempat, yaitu Syair Drama. Ketika itu belum ada penyair yang memperkenalkan bentuk baru ini dalam sastra Arab, namun ternyata Syauqi berhasil membuat terobosan baru tersebut. Naskah drama yang dikemas dalam bentuk syair baru dikenal Arab di zaman modern ini, dan Syauqi adalah pelopornya. Darah Yunani yang dimiliki Syauqi rupanya telah mendorongnya menciptakan syair drama. Bukan hanya itu, ia juga banyak membaca drama-drama 'produk' Barat ketika masih belajar di Perancis. Drama yang diangkat Syauqi pada umumnya bersumber dari sejarah Mesir Kuno. Drama yang pertama kali diciptakan Syauqi berjudul "Cleopatra" yang ia tulis pada tahun 1927. Drama ini menceritakan hubungan antara kekaisaran Romawi dan kerajaan Mesir pada masa Bathelius di Alexandria yang pada waktu itu dikuasai oleh Cleopatra satu abad sebelum Masehi. (Dr Muhammad Anani, Ajmalu ma kataba Amir al-Syu'ara Ahmad Syauqi, Maktabat al-Usrah 2003). Bukan rahasia lagi jika banyak sastrawan Barat mengangkat kisah "Cleopatra" sebagai sejarah hitam kerajaan Romawi dan Yunani, karena mereka mengilustrasikan Cleopatra sebagai wanita jalang yang menjual dirinya untuk mengadu domba antara Antonio (komandan perang Yunani) dan Actafius (sang kaisar) pada pertempuran sengit yang dikenal dengan petempuran Actiyum, yaitu perang yang berkecamuk di lautan lepas. Sebaliknya, Syauqi berhasil menampilkan sosok Cleopatra sebagai pahlawan Mesir yang cerdas dan berani, rela mengorbankan dirinya untuk membebaskan Mesir dari penjajahan Yunani. Pengaruh Istana Dalam Syair-syair Syauqi Di atas telah disinggung bahwa Syauqi mendapatkan kedudukan tinggi di istana pada masa Sultan Abbas. Ia sendiri diangkat Abbas sebagai penterjemah istana dan sebagai orang kepercayaanya, banyak keputusan-keputusan kerajaan diadopsi dari inspirasi Syauqi. Masalahnya adalah kedudukan yang didapatkan Syauqi di istana membuatnya jauh dari kehidupan rakyat, dan tidak memperhatikan keadaan rakyat pada waktu itu, bahkan feeling sastranya pun banyak berkaitan dengan istana yang ia tempati. Syair-syair yang lahir ketika itu berisikan pujian-pujian terhadap kaum ningrat istana. Kebanggaannya terhadap syair pujian yang ia ciptakan dapat dilihat dalam salah satu bait syairnya: syairul azizi ma'a bil qaliili zal laqobi Sang pujangga kini di samping yang mulia yang sederhana ia berjulukan nama. Bisa ditebak, yang dimaksud "yang mulia" adalah Sultan Abbas. Kondisi kehidupan politik Mesir yang carut marut pada masa itu sangat mempengaruhi Syauqi untuk menjadi penyair istana. Di hadapan Syauqi, istana dan kehidupannya merupakan sumber kebesaran. Saat itu seluruh jiwa dan raga Syauqi adalah milik istana. Bahkan seandainya saat itu ia tengah marah, maka marahnya sebagai ungkapan dukungan penuh terhadap istana. Merendahkan Bangsa Arab Andaikata ada demokrasi dan kebebasan pada masa itu, niscaya akan terlahir sedikit perbedaan dalam tampilan komposisi syairnya. Ada dua peristiwa dimana Syauqi terlihat jelas keberpihakannya pada istana tanpa memperhatikan rakyat biasa : Pertama, ketika ia baru pulang dari Perancis setelah empat tahun belajar disana. Timbul sikap arogansi dirinya dan lebih mengangkat tema 'darah biru' dan bangsawan istana. Pengetahuan Barat yang ia dapat, berpengaruh besar pada sikapnya yang merendahkan kebudayaan Arab. Ia berasumsi bahwa yang menjadikannya maju bukanlah bangsa Arab, tapi para bangsawan istana yang kebanyakan bukan kalangan Arab, karena yang mendorong dan mendukungnya studi di Eropa adalah Abbas, sang Sultan. Kedua: Peristiwa Densaway, peristiwa ini terjadi karena salah seorang tentara Inggris mati di daerah ini karena tertimpa sengatan matahari ketika hendak merampas ladang para petani. Kemudian Jendral Lord Klomer mengomandoi tentaranya untuk membantai penduduk desa tersebut, dan timbulah pemberontakan dan perlawanan dari rakyat Densaway. Pada peristiwa tersebut para petinggi kerajaan tidak ikut campur, termasuk Syauqi yang merekam sejarah tersebut dalam syairnya. Dalam syairnya Syauqi menduga kesalahan Lord Klomer hanya kesalahan biasa, maka ia memohon kepada masyarakat agar melupakannya. (Bakinaz Muhammad Sa'id- Amir al-Syu'ara Ahmad Syauqi, hal. 5). Selain penyair istana yang selalu memuji para bangsawan Mesir, Syauqi juga banyak memuji para bangsawan Turki, kelompok syairnya ini disebut dengan at-Turkiyat (Turki sentris). Salah satu syairnya berjudul al-Andalus al-Jadidah yang mengasosiasi Turki ke dalam kategori Spanyol yang pernah menorehkan kejayaan di belahan bumi Eropa. Diasingkan Setelah PD I meletus, Inggeris berhasil menguasai Mesir dan Husen Kamil diangkat sebagai pimpinan Mesir. Abbas dan keluarganya diusir. Syauqi yang merupakan orang kepercayaannya tak luput dari malapetaka itu, ia dibuang ke Spanyol, tepatnya di Filderiro, Barcelona. Di pengasingan inilah Syauqi terlepas dari belenggu istana yang bertahun-tahun mengikatnya. Terjadi perubahan gaya hidup Syauqi yang sebelumnya hidup bergelimang kemewahan, di pengasingan ia lalui hari-hari dicekam kesedihan yang sebelumnya ia tidak pernah alami. Perasaannya berkecamuk nestapa karena terpisah dari tanah air, pedih karena dahsatnya perang, resah karena Abbas diasingkan, dan gelisah karena kecintaannya akan tanah air. Syauqi mulai merasakan dua sisi kehidupan yang berbeda antara senang dan sedih, ni'mat dan sengsara. Semuanya ia alami. Ini semua mempunyai pengaruh dalam perubahan syair Syauqi dari penyair istana menjadi penyair nasionalis dan kerakyatan. Maka lahirlah Syair Assiniya* (syair yang tiap akhir baitnya berujung huruf sin -Pen.) yang mengungkapkan kerinduannya terhadap tanah air: Haramkah seekor Bulbul kembali ke sangkar O halal semua jenis burung menempati Setiap rumah pasti berpenghuni Hanya mereka yang hina rumah orang lain dihuni (As Syauqiyat, Ali Abd el-Monem, hal. 559). Dalam bait ini Syauqi mengumpamakan dirinya sebagai seekor Bulbul. Burung ini tidak dapat tinggal kecuali pada sangkarnya. Demikian juga Syauqi tidak dapat tinggal selain di Mesir. Kemudian Syauqi menganalogi penjajah inggris dengan burung biasa yang suka tinggal dan mengacak-acak sangkar burung lain. Itulah penggalan sajak Syauqi yang intinya adalah kerinduan akan tanah air. Dalam Syairnya ini, Syauqi banyak mengambil bentuk metafora untuk mengambarkan kerinduannya terhadap Mesir. Hanya beberapa waktu Syauqi tinggal di Andalusia yang berubah menjadi Spanyol itu. Selama lima tahun banyak pengalaman yang direguknya, ia banyak berkeliling kota-kota bersejarah di Andalusia, puing-puing kota kerajaan Islam terkenal. Ia kunjungi Cordova, Granada, Sicillia dan kota lainnya. Sastra Andalusia ia tekuni, baik yang berupa novel atau syair, seperti novel "Putri Andalus" dan Syair Ibnu Jaidun. Dengan banyak membaca sastra Islam di Andalusia, kebanggaannya terhadap peradaban Arab mulai tumbuh. Ia sadar bahwa bangsa Arab telah memiliki peradaban yang tinggi. Semua wawasannya tentang peradaban Arab ia tuangkan dalam buku yang berjudul Duwal al-Arab wa 'udzoma al-Islam (Antologi syair Arab dan rezim Islam). Setelah perang dunia usai, ia kembali ke tanah air. Tentunya pintu istana sudah tertutup baginya, untuk selanjutnya ia memilih menjauhkan diri dari kemewahan dunia dan mencari tempat peristirahatan yang dekat dengan rakyat. Ia tingalkan kemegahan, lalu berbaur dengan masyarakat dan hidup sederhana bersama rakyat biasa. Dari sinilah tema Syair Syauqi mulai banyak mengangkat kehidupan sosial: tentang kemiskinan, penderitaan, ketimpangan sosial, pendidikan rakyat dan lain sebagainya. Beberapa Keistimewaan Diantara keistimewan Syair Syauqi dapat dijumpai pada susunan redaksinya yang lugas dan jelas, tentunya karena didukung dengan kepiawaiannya dalam menguasai bahasa asing seperti bahasa Perancis, Turki, dan banyak menghapal kamus bahasa asing lainnya. Dari segi musik, keindahan syair Syauqi banyak dikagumi para seniman musik ataupun para musikus di zamannya. Yang istimewa pada syair Syauqi juga adalah jenis Sy'ir Ghoiry yang ia miliki. Syi'ir Ghairi yang dimaksud di sini adalah subjek atau personifikasi yang dimunculkan bukan atas mana dirinya. Ia jarang mengangkat dirinya dalam tema Syair, kebanyakan temanya mengisahkan orang lain. Pada fase kehidupan istana, syair-syairnya dipersembahkan untuk memuji orang lain. Kendatipun ia pernah membanggakan diri dalam pengungkapan syair namun ia ungkapkan dengan diksi dan redaksi yang seolah diarahkan kepada pihak lain (Shawqi Dhief, 1999). Syauqi dianggap sebagai seorang penyair baru karena mampu ia tuangkan syairnya dengan uslub Ghoiry (diksi the other man), karena diksi tersebut ini lebih sulit dibandingkan dengan diksi yang mengekspresikan identitas dirinya sendiri. Syauqi dan Kritik Sastra Kritik mengkritik merupakan hal yang lazim dalam dunia sastra, bahkan dijadikan satu disiplin ilmu yang dikaji di lembaga bahasa yang biasa dikenal dengan kritik sastra. Sastra-sastra Syauqi juga tak luput dari hantaman kritik para sastrawan yang hidup pada zamannya, seperti Abbas Mahmud al-Akkad dan Toha Husein. Menurut Akkad, syair Syauqi tidak relevan dengan aliran baru, terlalu mengikuti arus dengan tradisi sastra dan syair klasik. Dalam bahasa perumpaan (tasybihat) misalnya, Syauqi banyak mengadopsi bentuk, simbol-simbol dan warna, bukan dari 'rasa' (al-'Atifah). Begitu juga halnya dengan syairnya yang tidak lagi natural yang telalu menekankan pada ornamen kata. Akkad juga menilai syair Syauqi menghambat aliran sastra baru yang ingin melepaskan diri dari belenggu sastra klasik seperti wazan (ritme) dan qofiyah (rhyme). Namun rupanya kritik tersebut memuat unsur subjektifitas pada diri Akkad. Larisnya syair Syauqi di pasaran dan selalu dimuat media massa pada saat itu membuat -Akkad yang juga sastrawan- kelimpungan. Sedangkan Thoha Husen menuduh Syauqi sebagai penyair malas, karena di salah satu sanjak yang berjudul Aristotelles, Syauqi banyak menyadur karya Plato, gurunya Aristotelles. Pada kesempatan lain, Thoha mengkritisi syair Syauqi yang terlalu hiperbolis dalam menganalogi potret masa silamnya. Dalam syairnya, misalnya, ia menyebutkan predikat ummul muhsiniin (ibu orang-orang bijak) sebuah gelar kebesaran yang ditujukan kepada Ibunda Abbas. Ia gambarkan kepulangan Ummul Muhsiniin dari Turki menggunakan kata al-Haudah (sebuah tenda yang memayungi punggung hewan), padahal ibunya Abbas datang ke Kairo dengan mengendarai mobil yang pada waktu itu sudah tidak asing lagi. Gugatan Thoha Husen ini dijawab oleh Syauqi Dhief bahwa penggunaan kata haudah sebagai kendaraan Ummul Muhsiniin adalah penghormatan khusus untuk sang ratu, seperti yang terjadi pada ratu-ratu jaman baheula yang memang terbiasa menggunakannya. Menjawab tuduhan Toha Husen yang menyatakan bahwa Syauqi banyak mengadopsi karya Plato dalam syair Aristotelles, Dhief mengatakan bahwa antara filsafat dan sastra terpaut jarak yang jauh. Filasafat sarat dengan olah pikir, sementara sastra berada dalam dimensi rasa dan estetika. Kendati kritik datang bertubi-tubi, Syauqi tetaplah Syauqi. Ia semakin mendapat derajat tinggi dalam sastranya. Ia tinggalkan kehidupan bangsawan beralih ke kehidupan rakyat biasa, sehinga syair-syairnya banyak diterima kalangan luas. Begitulah. Pro dan kontra dalam hal apapun merupakan hal yang biasa terjadi. Namun bagaimanapun, --meminjam istilah Syukri Iyadh-- Syauqi dikelilingi beberapa pihak yang penuh kebencian dan dendam. Di sisi lain Syauqi dipayungi para pengagum yang menaruh hormat luar biasa. Bahkan kendatipun Dhief mencoba mengkritisi syair-syair Ahmad Syauqi dan mencoba mengimbangi dua kontraversi tersebut semaksimal mungkin, akan tetapi ternyata ia bertekuk lutut pada shigot (formula bahasa) Arab Syauqi yang kental dan terkenal dengan penggunaan bahasa Arab klasik yang jarang sekali digunakan oleh penyair sezamannya, atau bahkan hingga hari ini! Para penggemar syair Ahmad Syauqi juga melihat beberapa segi syair yang pernah diamati Muhammad Husain Haikal sebagai "dualisme sosok Syauqi". Pada suatu sisi Syauqi adalah penyair Arab-Muslim, di sisi lain ia juga seorang penyair nasionalis. Namun pada cetakan kedua, ia menegaskan dualisme Syauqi yang beraliran hikmah, zuhd (asketis) dan reflektif-kontemplatif bersama aliran almat' al-hissiyah (kenikmatan inderawi) dan kenikmatan estetika seolah dua figur manusia tersebut menyatu dalam satu tokoh bernama Ahmad Syauqi, meskipun, kita percaya -berdasarkan kritik sastra modern- bahwa "identitas penyair wajib terisolir dari substansi syair". Berdasarkan post-critism sastra menyatakan sekte-sekte pemikiran tidak musti dikaitkan kepada seorang penyair seperti halnya dikait-kaitkan pada suatu era tertentu. Karena itu kita berupaya merepresentasikan zaman tersebut dengan sajak-sajak yang berseberangan dengan peristiwa-peristiwa yang tengah terjadi. Koleksi syair Ahmad Sauqi juga berseberangan dengan syair-syair putra generasi kita baik yang kita hapal sewaktu kecil dalam buku-buku koleksian atau berdasarkan peribahasa-peribahasa ralyat yang merambat dari mulut ke mulut, atau yang menjadi bagian dari seni klasik Arab.[] Daftar Pustaka 1. DR. Shalhuddin Muhammd Abdul al-Tawwab, Madaaris al-Syi'ri al-Arobi fii al-'Asry al- Hadist, al-Azhar Press. 2. DR Ali Ali Subhi dan DR Husni Muhammad Azil , Min al-Nushus al-Adabiyah fii al-'Asri al-Hadits. Al-Azhar Press. 3. DR. Syauqi Dhiif, Syauqi Syaa'i al-'asri al-Hadist. Daarul Ma'arif, Mesir 4. Bakinaz Muhammad Sa'id, Amir al-Syu'ara Ahmad Syauqi, tanpa penerbit 5. Abdul Mun'im Khofagah, Taarikh al-Adab fii al-'Asri al-hadits. ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Get fast access to your favorite Yahoo! Groups. Make Yahoo! your home page http://us.click.yahoo.com/dpRU5A/wUILAA/yQLSAA/aYWolB/TM --------------------------------------------------------------------~-> Milis Wanita Muslimah Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat. Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED] Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/