Seperti Ramadhan-Ramadhan dalam beberapa tahun terakhir ini, apapun yang terjadi di Republik ini, masjid-masjid dipenuhi oleh jemaah Tarawih, termasuk masjid di kawasan-kawasan elit seperti Pondok Indah. Dan setelah absen sekitar hampir sepuluh tahun, pada salat tarawih hari pertama saya, isteri dan salah seorang cucu kami Upik, melaksanakan salat Tarawih bergilir dari rumah ke rumah yang diselenggarakan setiap tahun oleh Ikatan Keluarga Minang (IKM) di lingkungan tempat tinggal kami di Depok, sejak kompleks perumahan yang dibangun PERUMNAS tersebut selesai dibangun dan ditempati dalam tahun 1979. Kami mengambil yang sebelas rakaat seperti yang umumnya Taraweh yang dilaksanakan di masjid-masjid di Sumatra Barat dan masjid-masjid di kawasan perkotaan di Indonesia, tetapi biasanya selesainya lebih belakangan ketimbang Tarawih yang dilaksanakan di sebagian masjid-masjid di lingkungan kami yang melaksanakan 23 rakaat, karena kami melakukannya dengan lebih tartil. Setelah selesai shalat kami teruskan dengan bertadarus secara bergantian satu juz setiap malam, sehingga khatam pada akhir Ramadhan. Ramadhan memang bulan yang kondusif untuk beribadah. Selain memenuhi masjid untuk bertarawih, sekarang ada kecenderungan baru: banyak pula jemaah, termasuk dari kalangan terdidik berikttikaf semalam penuh di sejumlah masjid di beberapa hari terakhir, utamanya di malam ke 27. Tetapi kembali pertanyaan, ibadah itu untuk siapa sih? Untuk Allah kah? Apakah Allah “kesepian” atau berkurang kemahabesaran-Nya jika makhluk ciptaan-Nya tidak menyembah-Nya, memuji-Nya atau membesarkan Nama-Nya? Di sini saya ingin mengutip sebuah hadis Nabi SAW yang penggalannya pernah saya kutip pada kolom saya di Apakabar.ws menjelang Ramadhan, yaitu hadis yang mengisahkan nasib dua perempuan, yang satu pelacur yang masuk surga karena mendahulukan memberi minum seekor anjing yang kehausan di padang pasir meskipun ia sendiri juga kehausan; yang lain ahli ibadah yang masuk neraka karena sibuknya beribadah membiarkan seekor kucing mati kelaparan yang terkurung di dalam rumahnya. Saya tidak tahu siapa yang merawikan hadis yang ‘dahsyat’ tersebut. Tetapi karena saya pernah mendengar hadis ini disitir oleh Ulama sekaliber Dr Mifthah Faridh, saya tidak sangsi bahwa hadis tersebut adalah sahih. Lalu, kembali pertanyaan ialah ibadah itu untuk siapa dan untuk apa, karena seorang yang sangat rajin beribadah bisa saja masuk neraka untuk hal yang (kelihatannya) sangat “sepele”: membiarkan seekor kucing mati kelaparan karena yang terkurung di dalam rumahnya. Para ulama Tasauf umumnya mengatakan bahwa tujuan ibadah adalah untuk mebersihkan hati. Hati itu diibaratkan dengan kaca, yang perlu untuk digosok setiap hari agar tetap jernih dan berkilat Hanya hati yang bersih yang dapat melihat dengan jelas hakekat dari pesan-pesan ilahiah dengan genah, hati yang selalu mampu untuk memisahkan yang baik dengan yang buruk, yang benar dengan yang salah, yang patut dengan yang tidak. Ibadah seperti ini adalah ibadah yang dilakukan dengan ikhlas dan sepenuh hati, tidak hanya ibadah yang sekedar memenuhi persyaratan syariah. Hanya ibadah yang didasari rasa cinta kepada Allah dan kepada Nabi sang pembawa risalah sahajalah yang memungkinkan ibadah dilakukan dengan ikhlas dan sepenuh hati. Karena itu kidung-kidung para sufi, adalah kidung-kidung yang sarat dengan cinta. Musikus dan Sufi Besar India Hazrat Inayat Khan yang murid-muridnya datang dari berbagai penganut agama (Islam, Hindu, Budha, Kristen/Katolik, Zoroaster dan lain-lain ) pernah mengatakan bahwa kesalahan para penganut agama ialah mereka umumnya berhenti (dari mencari Tuhan) pada tangga pertama. Ini adalah ungkapan yang penuh makna. Tidak sukar untuk memaklumi bahwa yang dimaksud dengan “tangga pertama” itu adalah syariat masing-masing agama yang bersangkutan. Tidak sukar pula untuk menyaksikan dalam praktik keberagamaan sehari-sehari apa yang terjadi bila para penganut agama hanya berhenti pada syariat, atau aspek legal-formal dari sebuah agama maka perbedaan akan lebih banyak tampak dari pada persamaan. Jangan kata beda agama, Satu agama seperti beda mahzab dalam Islam (Sunni dan Syiah) saja sering timbul konflik berdarah-darah. Bahkan sesama Sunni (Wahabi dan Non-Wahabi) tidak jarang terdapat perbedaan sedemikian rupa sehingga tidak jarang satu pihak menghalalkan darah pihak lain. Padahal jangankan menghilangkan nyawa manusia, menyebabkan seekor kucing kucing mati kelaparan di dalam rumahnya saja, seorang ahli ibadah yang masuk neraka karena sibuknya beribadah. Tentu saja perjalanan dalam merambah hakekat, dan kemudian ma’rifat dilakukan dengan meninggalkan syariat, karena itu bukan teladan dari para Nabi dan Rasul. Pesan intinya, hendaklah para penganut agama tidak hanya berhenti pada syariat. Ketika mengawali shalat berjamaah dengan shalat Isya hari pertama, Pak Haji Nasran Muluk yang menjadi imam malam itu membaca surrah favorit para imam shalat, yaitu Surrah Al Insyirah [94] atau yang lebih dikenal dengan surrah Alam Nasyrah. Ini adalah sebuah surrah Makkiyah (turun di Mekah) yang seperti surrah-surrah Makkiyah umumnya singkat (surrah ini hanya 8 ayat), kuat, padat dan universal. Ayat ke-5 surrah ini, yang kemudian dipertegas pada ayat ke enam dengan redaksi yang nyaris sama berbunyi: “Fa inna ma ‘al ‘usri yusra” (sesungguhnya dalam kesempitan ada kelapangan). Sebuah pesan yang sarat makna, sebuah seruan melarang seorang hamba untuk tidak pernah kecil hati dalam menghadapi berbagai kesukaran, kesulitan dan kepahitan hidup, melarang berputus harapan, harapan yang membuat seseorang berjuang dan bertahan untuk hidup. Ada suatu perasaan nikmat yang tidak terkatakan dalam bertadarus sehabis Tarwih ini ini, sehingga jemaah tarawih sampai akhir Ramadhan kemarin malam nyaris tidak berkurang. Selama 29 malam kami telah berlayar dalam semesta Al Qur'an, yang diturunkan secara bertahap selama 23 tahun kenabian Al Mustapha Rasulullah dalam bahasa Arab yang indah, jelas namun kaya makna. Sebahagian bisa ditangkap apa adanya, sebagian memerlukan pemahaman atas konteks kesejarahan ketika ayat-ayat tersebut diturunkan, sebagian bersifat simbolik/alegorik, sebagian diyakini hanya Allah yang tahu maknanya (ayat-ayat mutasyabihat). Manusia dengan berbagai keterbatasannya pada dasarnya mempunyai iradat untuk memahami teks-teks suci. Tetapi karena keterbatasannya itu pula, mana kala seseorang berbicara tentang sebuah teks suci, maka ia berbicara tentang makna yang ia tangkap berdasarkan kekmampuan fikir, sebuah tafsir. Karena itu sebuah tafsir tidak pernah sempurna, final dan tunggal. Malam itu kami menyelesaikan juz ketigapuluh yang seluruhnya berisi surrah-surrah Makkiyah. Ada sesuatu yang terasa namun tak terkatakan, mengapa Nabi memerintahkan untuk menempatkan sebagian besar surrah-surrah Makkiyah tersebut pada bagian terakhir dari Al Qur'an. Dan ketika doa khatam Qur'an dibacakan, suasana hening terasa mencekam dan mata jemaah ada yang basah. Akankah Ramadhan tahun depan kami masih akan bertaraweh besama secara lengkap, mengingat kegiatan tersebut sudah berlangsung tanpa henti selama hampir 25 tahun. Banyak di antara kami yang sudah berumur, termasuk saya. Apalagi yang namanya umur tidak mengenal usia tua dan muda. Pada Acara hari terahir “Learning from Cak Nur” yang ditayangkan MetroTV setiap jam 4.30 pagi selama Ramadhan, Sufi dan Pemikir Besar Islam yang wafat tanggal 29 Agustus yang lalu, kebetulan membahas surrah Al Insyirah, dimulai dengan surrah 5 dan 6 yang saya kutip di atas yang kemudian dilanjutkannya dengan ayat 7: Maka apabila engkau telah selesai (dari suatu urusan) maka kerjakanlah (urusan yang lain) dengan sungguh-sungguh, 8: Dan hanya kepada Tuhanmu kamu berharap. Selama saya mengarungi samudara kehidupan selama hidup saya yang menjelang senja ini terasa benar bagi saya kebenaran dari pesan-pesan suci tersebut. Menjelang detik-detik menjelang azan maghrib pada Ramadhan hari terkahir kemarin petang, berbagai perasaan lega, gembira, sedih, terharu, rasa kehilangan dan keengganan yang sangat untuk berpisah, menggumpal di dada saya. Tidak ubahnya seperti perasaan saya ketika hendak meninggalkan Masjid Nabawi di Medinah untuk terakhir kalinya setelah menyelesaikan shalat wajib ke 40 (Arbain) di masjid yang sangat bersejarah itu dua hari menjelang kepulangan ke Tanah Aiar ketika menunaikan ibadah haji tahun 2003 yang lalu. Air mata saya tidak mulai tidak terbendung ketika azan magrib berkumandang, yang sekaligus menandakan berakhirnya Ramadhan tahun ini. Dan sebagaimana kaum muslimin lainnya yang berpuasa, saya tentu saja berharap dalam sebuah ucap yang sangat populer: “Minal ‘aidina wal faizin” (Semoga kita termasuk orang-orang yang kembali dalam keadaan fitri dalam kemenangan) Allahhu Akbar, Allahhu Akbar, Allahhu Akbar, Waliilahhil hamd. Selamat Idul Fitri, mohon maaf lahir dan batin atas setiap lembar kilaf dan kesalahan yang telah terlakukan Taqabalallahu minna waminkum taqoball ya Karim Wassalam, Darwin Depok, 3 November 2005, menjelang pagi *] Tulisan ini juga dapat dibaca di homepage Superkoran Apakabar (Apakabar.ws)
------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Click here to rescue a little child from a life of poverty. http://us.click.yahoo.com/rAWabB/gYnLAA/i1hLAA/aYWolB/TM --------------------------------------------------------------------~-> Milis Wanita Muslimah Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat. Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED] Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/