Tulisan ini bisa dibaca juga di 
http://aman.kinana.or.id/2006/01/13/memahami-kalimat-arab/372/ dengan judul 
aslinya "Memahami Kalimat Arab".

Suatu kali kawanku pernah bertanya tentang suatu masalah yang berkaitan dengan 
aktivitasku akhir-akhir ini, “Selama kamu membaca atau menerjemahkan suatu buku 
berbahasa Arab, bagian mana saja yang kamu rasakan sangat susah?” Aku merenung 
beberapa saat, dan mengingat-ingat kembali sekian banyak kesulitan-kesulitan 
yang pernah kutemui. Salah satu persoalan yang paling melekat hingga ini adalah 
persoalan istilah-istilah dalam pemahaman bahasa. Dan ini tidak hanya saya 
temui dalam penerjemahan beberapa buku Arab, tetapi juga merupakan kesulitan 
yang sejak lama saya renungi.

Selama kuliah di Universitas al-Azhar misalnya, tidak sedikit dari 
diktat-diktat yang bisa saya pahami dengan baik. Namun ketika saya harus 
berbicara tentang masalah-masalah dalam bahasa Indonesia, saya harus berpikir 
keras bagaimana caranya untuk memberikan pemahaman yang akurat. Tentu saja 
sangat berbeda dengan kondisi ketika saya harus menjawab soal-soal ujian. 
Bahkan pada bagian yang satu ini, saya menerapkan berbagai macam metode yang 
selama ini santer di kalangan kawan-kawan. 

Saya pernah menguasai diktat dengan teknik hapalan, pernah juga dengan teknik 
Insya, yaitu kita cukup memahami dan nantinya mengungkapkan sendiri pemahaman 
tersebut dengan bahasa kita sendiri. Dan pernah juga saya menggunakan kedua 
teknik itu sama rata dalam satu diktat. Tidak banyak persoalan yang menjadi 
kendala, karena bagaimanapun saya tetap menuliskannya dalam bahasa Arab.

Uniknya, persoalan-persoalan yang saya temui dalam penerjemahan selain 
istilah-istilah secara umum, justru adalah istilah-istilah bahasa sendiri. 
Mungkin ini disebabkan statusnya sebagai istilah bahasa sehingga dalam 
buku-buku yang tidak secara khusus membicarakan bahasa pun akan menggunakannya 
dalam keperluan tertentu, dan lebih lagi dalam bidang ushul fiqih. Dulu, saya 
pernah memetakan tingkat kandungan suatu ungkapan dalam bahasa Arab. 

Secara sederhana, suatu ungkapan Arab adalah susunan kata-kata. Kemudian setiap 
kata mengandung makna yang khas, dan mempunyai pengaruh terhadap makna umum 
kalimatnya sesuai dengan kedudukannya dalam kalimat tersebut. Satu kalimat ini 
kemudian secara global adalah kalimat dan makna kalimat. 

Banyak pembaca bahasa Arab—tentu saja yang saya maksud adalah teks-teks serius, 
bukan percakapan sehari-hari—hanya terhenti pada batas ini. Dia membaca suatu 
kalimat kemudian menemukan maknanya. Padahal, dalam bahasa Arab masih ada 
tingkatan yang harus dilalui, yaitu dilâlah, mafhûm, dan maqshûd. Jadi, kata –> 
kalimat –> makna –> dilâlah –> mafhûm –> maqshûd. Dan ini masih dalam kontek 
umum, masih belum lagi menjangkau lebih jauh konsep-konsep sastra, khususnya 
ilmu balaghah yang dari sana bisa kita jumpai istilah makna al-makna (secara 
umum dalam ilmu bahasa sangat berkaitan dengan persoalan konotatif dan 
denotatif), kemudian zhilâl al-makna—atau menggunakan istilah lain dari dosen 
saya, Prof. Dr. Sayyid Taqiyuddin, adalah ma’âni hâmisyiah ‘makna-makna 
sekunder atau bias makna’.

Pada kajian ushûl fikih, beberapa konsep-konsep ini terus dikembangkan sesuai 
dengan kebutuhan dalam membaca dan memahami teks-teks agama. Pada tingkatan 
mafhûm di atas misalnya, dalam ushul fikih kita kenal lagi beberapa pembagian 
ke dalam beberapa cabang yang sebagian berkaitan dengan konsep bahasa dan 
sebagian lagi berkaitan dengan konsep logis atau ilmu manthiq. Maka, dari sudut 
ushul fikih, kita mengenal mafhûm ibârah, mafhûm isyârah, mafhûm dilâlah, 
mafhûm iqtidhâ, dan mafhûm mukhâlafah. Bayangkan saja jika konsep-konsep ini 
muncul dalam suatu kitab Arab yang ingin kita terjemahkan, tetapi buku itu 
tidak membahas persoalan itu, tetapi hanya memberikan pengantar kepada masalah 
lain yang menjadi pembahasannya. 

Jikalau dulu saya pernah melakukan pemetaan seperti itu, dalam lingkup 
perkembangan selanjutnya, pembahasan teori-teori bahasa semakin luas. Bahkan 
kita bisa memetakan dari sudut bidang-bidang yang terkait dalam bahasa. 
Gambaran sederhananya, kalimat terdiri dari kumpulan kata, setiap kata 
mengandung makna, setiap kata merupakan sekumpulan bunyi. Dan kumpulan kata 
tersebut merupakan satu ikatan dalam suatu relasi. Pemetaan pemahaman terhadap 
bahasa tersebut bisa diawali dengan level leksikal (al-mustawâ al-mu’jami), 
kemudian level bunyi (al-mustawâ al-shauti), level morphem (al-mustawâ 
al-sharfi), level gramatikal (al-mustawâ al-nahwi), baru terakhir level 
semantik atau al-mustawâ al-dilâli.

Pada level leksikal lebih ditekankan pada pencermatan kosa kata. Dan pada 
bagian ini kita harus mencermati makna-makna yang tertuang dalam kamus, dan 
bagaimana pemakaian suatu kata itu biasa terjadi dalam teks-teks. Misalnya, 
dalam suatu kalimat tertentu, suatu kata biasa digunakan dengan makna pertama, 
sedangkan pada kalimat tertentu yang lain, suatu kata yang sama biasa digunakan 
dengan makna kedua. Dan begitu seterusnya. Pada bagian ini saja, sudah bisa 
kita tangkap bagaimana pengaruhnya terhadap pemahaman kita terhadap suatu 
kalimat sebelum melangkah ke level selanjutnya.

Level bunyi pada dasarnya tidak mempunyai pengaruh yang besar. Karena itu, 
tingkatan ini sering digabungkan dengan level leksikal atau dengan level 
morphem. Namun dalam kasus-kasus tertentu, tetap saja dibutuhkan sehingga harus 
kita sebutkan secara tersendiri. Level ini dibutuhkan misalnya, dalam membaca 
puisi-puisi Arab klasik, atau dalam membaca al-Qur`an yang lebih terfokus 
kemudian dalam pembahasan ilmu tajwîd.

Level morphem merupakan level terakhir pada tingkat kata tunggal. Di sini kita 
diharuskan untuk mencermati bentukan-bentukan kata dan variannya, kemudian 
sampai mana tingkat perbedaan makna antara satu bentuk dengan bentuk yang lain. 
Perubahan-perubahan bentuk kata secara umum dan makna-maknanya menjadi kajian 
khusus Ilmu Sharaf atau Morphologi dalam istilah modern. Menguasai dasar Ilmu 
Sharaf adalah bekal utama dan syarat mutlak dalam level ini. 

Namun ketika membaca suatu teks, yang dibutuhkan tidak lagi sekadar teori-teori 
Ilmu Sharaf, tetapi juga mencermati penggunaan-penggunaan varian kata dalam 
kalimat dengan melihat kontek-kontek kalimatnya. Kita misalnya sudah bisa 
mengetahui penggunaan kata ber-wazan fâ’ilun yang bermakna pelaku dan bisa 
membedakan dengan kata ber-wazan fa’âlun yang juga bermakna pelaku, tetapi 
mengandung ketekunan, sudah lengket menjadi atribut, dan kontiunitas.

Ada dua kasus yang ingin saya sampaikan dalam kaitan dengan level morphem ini. 
Kasus pertama, sewaktu Keluarga Terobosan mendiskusikan tentang opsi yang 
diberikan oleh MPR kepada Timor Timur pada masa Habibie, ada seorang kawan yang 
mengajukan pendapat dengan melakukan perbandingan dengan otonomi yang diberikan 
oleh Israel kepada Palestina. Pada saat itu dia mengetengahkan analisa politik 
dari koran, dan mencoba mengulasnya. Pada saat itu dia membahasakan kata 
i’tirâf yang ia temui dengan pengenalan dan pengetahuan. Saya hanya kecut, tapi 
terpaksa diam karena pembahasan tentang bahasa bukan pada tempatnya. Tentu 
saja, kita menemukan ulasan yang sedikit janggal karena ada suatu pemahaman 
bahasa yang tidak tepat sejak awal.

Kasus kedua, baru-baru saja saya temukan, yaitu sebuah makalah yang ditulis di 
situs swaramuslim. Makalah tersebut berbicara tentang jimat dan hal-hal yang 
berbau klenik dan bagaimana hukumnya menurut pandangan Islam . Ada satu hadis 
Nabi s.a.w. yang berbunyi, “Man ta’allaqa tamîmatan falâ atammahullâhu lahu.” 
Kalimat hadis ini diterjemahkan oleh penulisnya dengan “Barangsiapa 
menggantungkan jimat, maka semoga tidak disempurnakan oleh Allah (hajatnya).” 
Secara sederhana, kita memang bisa mengerti makna hadis ini dan apa kandungan 
yang dimaksud. Namun saya mencoba memberikan perbandingan dengan terjemahan 
yang mencermati kaidah ilmu Sharaf, yaitu dasar kita memahami dalam level ini. 

Hadis tersebut menggunakan kata ‘ta’allaqa’ yang mengandung beberapa makna 
selain kata dasarnya. Beberapa makna yang relevan adalah ‘mutâw’ah’, dilâlah 
‘ala ittikhâz, dan mu’ânah wa takalluf. Makna-makna ini menunjukkan kandungan 
intransitif. Bisa dilihat terjemahan di atas menggunakan makna transitif yang 
sebenarnya lebih tepat jika digukana kata ‘allaqa. Satu makna yang sedikit 
mengena dengan terjemahan tersebut adalah makna dilâlah ‘ala ittikhâz; yakni 
makna menjadikan sesuatu yang terkandung dalam kata dasar. Misalnya kata 
al-wisâdah adalah bantal, maka tawassada-hu berarti menjadikan sesuatu itu 
sebagai bantal, atau kata ibnun adalah anak, maka tabannâ adalah menjadikannya 
sebagai anak. Jika hadis di atas kita terjemahkan sesuai dengan makna ini, maka 
secara literal adalah “Barangsiapa menjadikan jimat sebagai gantungan….” 

Bisa kita lihat sendiri, terjemahan tersebut hanya mengena pada sedikit dari 
kandungan yang dimaksud. Makna lain yang menurut saya lebih tepat adalah 
muthâwa’ah; yakni jika kita menggantungkan sesuatu, maka sesuatu itu 
tergantung. Dengan makna ini, hadis di atas tidak sekadar menggantungkan jimat, 
tetapi siapa saja yang bergantung dengan jimat walau jimat itu sendiri hanya 
disimpan. Seharusnya kata ta’allaqa dalam hadis itu intransitif, tetapi 
digunakan secara transitif karena rahasia bahasa tertentu yang menjadi 
pembahasan level selanjutnya, yaitu level gramatikal. 

Maksud hadis itu menjadi lebih tegas, bukan jimatnya yang tergantung, tetapi 
adalah oknum yang tergantung dengan jimat. Dan karena oknum, maka makna menjadi 
bergantung. Dan karena makna ketergantungan inilah, maka hal itu dilarang 
karena bagi seorang muslim, prilaku yang benar adalah berusaha dan menyerahkan 
semuanya yakni bergantung kepada Allah, bukan kepada benda-benda dengan 
membuatnya sebagai jimat-jimat.

Dan apabila makna ini sudah jelas, maka makna yang ketiga; takalluf, semakin 
jelas lagi karena makna takalluf menunjukkan usaha keras dan keterikatan dengan 
makna dasar. Misalnya kata sabar menjadi tashabbara yakni berusaha keras 
melakukan sabar, kata karam adalah pemurah menjadi takarrama berusaha 
bermurah-murah hati. Dan kata ta’allaqa dalam hadis dengan makna ini berarti 
suatu upaya keras dan keterikatan dengan gantungan yang berupa jimat. Dan masih 
banyak lagi kasus-kasus bahasa pada level ini yang mesti kita cermati baik-baik.

Level selanjutnya adalah level gramatikal. Bekal dasar dalam level ini adalah 
menguasai konsep dasar gramatikal yang menjadi pembahasan khusus Ilmu Nahwu. 
Secara global sebenarnya level ini lebih mencermati sah tidaknya kedudukan 
suatu kata dalam struktur kalimat. Kemudian mencermati makna yang muncul dari 
relasi antara kata-kata. Salah satu contoh, firman Allah Swt yang sering kita 
hapal, “Kun fayakûn.” Ini hanya sebuah kalimat singkat, tetapi dalam Ilmu Nahwu 
mengandung relasi yang mengungkapkan makna tidak sederhana. Strukturnya 
berbentuk syarat dan jawab syarat. Namun jawab syarat-nya menggunakan kata Fâ, 
bukan kata Yakûn itu sendiri yang seharusnya dijadikan berstatus Jazm sebagai 
jawab syarat. 

Apabila kalimat ini kita terjemahkan secara sederhana, “Jadi! Maka jadilah,” 
langsung terbayang dalam benak kita bahwa ketika Allah Swt menghendaki sesuatu 
dan lalu mengatakan “Jadilah!” maka sesuatu itu dengan serta merta terjadi 
langsung. Pemahaman ini tidak sepenuhnya salah, tetapi tidak tepat apabila kita 
melihatnya dari sudut yang lebih umum dan hal-hal yang berkaitan dengan 
sunnatullah. Bahkan makna sepintas itu menggambarkan tidak adanya proses. 
Padahal ayat itu berada dalam kontek umum dan mencakup semua kejadian termasuk 
yang ada proses padanya. Itulah rahasia yang terkandung dengan menggunakan Fâ 
sebagai jawab syarat, bukan dengan kata Yakûn dengan dijadikan berstatus Jazm. 
Sedangkan relasi antara syarat yakni kata Kun dan jawab syarat yakni Fa Yakûn, 
mengandung makna kepastian.

Pada hakikatnya, pembahasan ini sudah mulai melangkah ke pembahasan level yang 
selanjutnya sebagaimana kajian kebahasaan secara umum. Namun menurut saya, 
pembahasan ini lebih tepat masuk ke dalam level ini. Dengan demikian, Ilmu 
Nahwu tidak hanya sebatas mengetahui sah atau tidaknya kedudukan suatu kata 
dalam kalimat dan bagaimana relasinya dengan kata lain. Namun juga menyingkap 
rahasia makna ungkapan yang dimaksud. Dan pencermatan awal pada bagian ini 
menjadi pijakan dasar untuk melangkah di level selanjutnya.

Dan ini yang ditekankan oleh Abdul Qahir dalam ilmu Balaghah dan dia 
menyebutkan bahwa Ilmu Balaghah pada dasarnya adalah mengejar makna-makna 
Nahwu. Saya lebih sepakat dengan pendapat ini, karena pada level selanjutnya 
tidak hanya membahas tentang kandungan makna semantik suatu kalimat atau 
mengejar makna-makna Nahwu saja, tetapi juga berbaur dengan konsep-konsep lain 
termasuk bidang-bidang yang tidak terkait dengan kajian bahasa secara langsung 
seperti ilmu manthiq; apalagi bidang-bidang kajian yang memang masih terkait 
dengan kajian ilmu bahasa.

Pada praktiknya, Abdul Qahir konsisten dengan gagasannya ini, secara lebih 
khusus lagi pada bagian Ilmu al-Ma’ani yang merupakan salah satu bagian dari 
tiga bagian Ilmu Balaghah. Dia menerapkan pembahasan-pembahasan yang panjang 
lebar dalam bukunya Dalâil I’jaz secara khusus. Alasan yang paling utama dalam 
hal ini bahwa kaidah-kaidah struktur bahasa bukanlah kaidah-kaidah abstrak yang 
hanya digunakan untuk mengetahui kedudukan suatu kata apakah sebagai subjek, 
predikat, objek, atau kata keterangan. Akan tetapi, merupakan kaidah-kaidah 
yang berlaku dalam bahasa untuk membentuk relasi-relasi tertentu sesuai dengan 
keinginan pengucapnya dalam rangka menyampaikan maksud yang terkandung dalam 
dirinya kepada orang lain. Dan itu tidak cukup hanya dipandang dari sudut makna 
setiap kata saja, tetapi kata-kata itu harus terangkai dalam relasinya yang 
khas.

Relasi antarkata mempunyai sudut makna tertentu yang berbeda ketika suatu kata 
itu mempunyai relasi dalam bentuk lain. Relasi inilah yang disebut Abdul Qahir 
al-Jurjâni dalam bukunya “Dalâil al-I’jâz” dengan Nazhm. Membahas bagian ini 
artinya kita sudah memasuki level selanjutnya, yaitu mustawâ dilâli. Dan saya 
sendiri lebih membatasi pembahasan level itu hingga bagian ini saja. Karena 
bagian ini merupakan pijakan pertama—setelah pada level sebelumnya kita telah 
memahami kedudukan kata dalam kalimat dan mengejar makna-makna Nahwu—pada level 
ini sebelum melangkah lebih jauh ke bagian-bagian lain yang berkaitan dengan 
semantik, estetika, semiotika, dan bidang-bidang lainnya. Bahkan hingga ke 
bagian-bagian yang saling mengisi padanya dari kajian-kajian manthiq, filsafat, 
psikologi, dan ilmu-ilmu komunikasi.

Argumen yang diajukan oleh Abdul Qahir al-Jurjani tentang Nazhm sangat tampak 
bahwa hal itu ia kemukakan sebagai jawaban atau bantahan terhadap pendapat 
tertentu. Penelusuran yang dilakukan bisa menyingkap bahwa rupanya dua kitab 
yang ia tulis pada dasarnya adalah bantahan terhadap Qadhi Abdul Jabbar. Tentu 
saja saya tidak perlu berpanjang lebar dalam bagian ini. 

Salah satu argumennya yang paling penting Abdul Qahir menyebutkan,—dengan 
menggunakan bahasa saya sendiri—Ambillah 10 kata dan serahkan kepada 10 orang. 
Kemudian minta mereka merangkai kalimat dari kata-kata itu. Jika memang 
kualitas kalimat dan relasi antarkata itu sama, maka kita akan mendapatkan 
pengertian yang sama. Jika memang suatu makna bisa didapatkan dari makna dasar 
kata, tentu tidak perlu bersusah payah dalam menyusun kata-kata itu. Namun 
kenyataannya, kita akan mendapatkan 10 kalimat yang berbeda-beda dari 10 kata 
yang sama, kita juga akan mendapatkan pengertian yang beberda, dan kita akan 
mendapatkan kualitas kalimat yang berbeda-beda pula.” Inilah gagasan utama 
Nazhm yang diajukan oleh Abdul Qahir.

Pada sudut praktis dalam memahami level ini, kita mencoba menelaah salah satu 
firman Allah Swt yang berbunyi, “Qul hal yastawil ladzîna ya’lamûn walladzîna 
lâ ya’lamûn.” Maknanya, “Katakan, apakah sama orang yang mengetahui dan orang 
yang tidak mengetahui.” Secara umum kita sudah bisa menangkap kandungan yang 
dimaksud dari kalimat ini. Artinya pada batas ini, kita berada dalam garis yang 
sama dengan ketika membahas Kun Fayakûn di atas. Sedangkan mustawa dilâli 
kemudian lebih tertuju kepada pembahasan bentuk kalimat yang bisa kita awali 
dengan pertanyaan kenapa kalimat ini berbentuk (istifhâm) pertanyaan? 

Dalam tafsîr al-Qur`an, kita akan sering menemukan penjelasan maksud secara 
langsung, yaitu penekanan bahwa tidak sama antara orang yang mengetahui dan 
orang yang tidak mengetahui. Atau kalau dalam konsep Ilmu Ma’ani disebutkan 
bahwa Istifhâm di sini bermakna an-nafyu; yakni menjadi “Katakan, tidak sama 
orang yang mengetahui dan orang yang tidak mengetahui.” Namun penjelasan ini 
masih belum menjawab pertanyaan kita, dan upaya menjawab pertanyaan kita itulah 
yang menjadi bagian level semantik atau mustawâ dilâli.

Penggunaan style pertanyaan ini mengandung makna yang lebih dari sekadar 
penegasan ketidaksamaan, tapi juga mengajak pembaca untuk menegaskannya dengan 
penuh keyakinan karena merupakan persoalan yang sudah pasti dan didukung dengan 
fakta yang sudah biasa terjadi dalam kehidupan mereka sehari-hari, sekaligus 
juga mengandung ajakan secara kesadaran per pembaca untuk melakukan sesuatu 
yang menjadi pilihan di antara dua kondisi tersebut. Bagian ini juga merupakan 
salah satu bidang yang menarik perhatian kelompok bahasa beraliran 
psikolinguistik.

Kandungan lainnya, penggunaan kata “mengetahui” yang jelas transitif tanpa 
penyebutan objek merupakan penekanan kepada hal pengetahuan tanpa melihat objek 
yang diketahui. Artinya ketidaksamaan itu sudah nyata secara mutlak, baik dalam 
lingkup yang kecil dalam kehidupan sehari-hari hingga tingkat penelitian 
akademis. Secara sederhana, bisa saja kita katakan maknanya yang tidak 
menyebutkan objek tersebut dengan “Tidak sama antara orang yang berpengetahuan 
dengan orang yang tidak berpengetahuan.” Akan tetapi, silahkan renungi 
bagaimana kalimat ayat itu tidak menggunakan langsung kalimat makna yang kita 
ajukan ini; karena konotasinya akan membawa pembaca hanya ke tingkat akademis 
atau pengetahuan formal. 

Sebagaimana yang seharusnya tuntutan Ilmu Nahwu, kata “mengetahui” pasti 
mempunyai objek. Oleh karena itu, pada level gramatikal objek harus tetap ada 
dan dalam kalimat seperti ini, objeknya berada dalam style tertentu yang 
dikenal dengan istilah takdîr. Sedangkan pada level ini, pencermatan terhadap 
kenyataan tidak ada penyebutan objek mengajukan suatu rahasia bahasa tertentu 
yang berkaitan dengan maksud “mengetahui” itu sendiri. 

Bahasa lugasnya begini, “Justru itu, mengetahui itu penting sehingga 
objek-objek yang tidak terbatas itu bisa didapatkan.” Hal ini juga mengantarkan 
kita kepada makna bahwa pada prosesnya tidak hanya terhenti sebatas tahu, 
tetapi berlanjut terus pada pencarian ketahuan-ketahuan itu. Dan dalam relasi 
yang saling terkait, makna ini juga yang membuat kita mengerti kenapa digunakan 
kata “mengetahui” bukan “berpengetahuan” meskipun objeknya tidak disebutkan. 

Dan ini saja masih belum selesai. Masih banyak makna dari segi mustawâ dilâli 
ini yang bisa kita hasilkan dengan mencermati kalimat tersebut dengan 
pendalaman-pendalaman terhadap banyak hal yang saling terkait antara 
level-level yang kita sebutkan sebelumnya. Misalnya, penggunaan istifhâm dengan 
Hal, kata ya’lamûn bukan dengan kata ya’rifûn, menggunakan maushûl alladzi 
disandingkan dengan shilatul maushul yang berupa kalimat verbal, menggunakan 
kata hubung (athaf) dengan menggunakan waw, dan hubungan itu ¬antara prasa 
dengan prasa bukan antara kata dengan kata, dan mendahulukan prasa “orang yang 
mengetahui” daripada prasa “orang yang tidak mengetahui”.

Oleh karena itu, sangat wajar jika dari sudut pemahaman bahasa saja kita akan 
menemukan ragam pendapat yang berbeda-beda pada kesimpulan akhir, seperti yang 
kita temukan dalam lingkup fikih dan hukum Islam . Meskipun ketika membaca 
suatu ayat atau hadis, bisa saja kita merasa bahwa maksudnya sudah jelas, 
apalagi dengan sudah membaca terjemahannya. Ini masih belum lagi telaah 
terhadap sudut-sudut lain yang sudah menjadi kajian bidang tertentu dan pada 
prinsipnya masih punya kaitan dengan pemahaman bahasa; yang dalam pemetaan saya 
pertama dari kata, kalimat, makna, dilâlah, dan berlanjut kepada mafhûm 
kemudian terus kepada maqshûd. 

Dan perbedaan pendapat tersebut masih belum lagi dilengkapi dengan 
faktor-faktor yang terdapat dalam perbincangan tentang dalil-dalil teks dan 
beberapa pembahasan lain yang menjadi bagian khusus bidang ushul fikih, hadis 
dan ushul hadis, tafsir dan ushul tafsir, dan seterusnya.

Dan hal-hal seperti ini pula sebagaimana saya sebutkan di atas yang menjadi 
kendala dalam penerjemahan buku-buku Arab, khususnya yang berkaitan dengan 
bidang-bidang tertentu, atau bidang-bidang umum yang memuat istilah-istilah 
tertentu sehingga kemudian kadang saya berpikir, terjemahan kita akan lebih 
mengena jika berbentuk uraian, lebih lagi pada kandungan-kandungan makna yang 
sangat susah kita temukan padanannya dalam bentuk kata tunggal atau kalimat 
singkat tertentu.

Sekian, 

Wassalam

Aman


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Join modern day disciples reach the disfigured and poor with hope and healing
http://us.click.yahoo.com/lMct6A/Vp3LAA/i1hLAA/aYWolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke