Tulisan ini bisa dibaca juga di http://aman.kinana.or.id/2006/01/13/memahami-kalimat-arab/372/ dengan judul aslinya "Memahami Kalimat Arab".
Suatu kali kawanku pernah bertanya tentang suatu masalah yang berkaitan dengan aktivitasku akhir-akhir ini, Selama kamu membaca atau menerjemahkan suatu buku berbahasa Arab, bagian mana saja yang kamu rasakan sangat susah? Aku merenung beberapa saat, dan mengingat-ingat kembali sekian banyak kesulitan-kesulitan yang pernah kutemui. Salah satu persoalan yang paling melekat hingga ini adalah persoalan istilah-istilah dalam pemahaman bahasa. Dan ini tidak hanya saya temui dalam penerjemahan beberapa buku Arab, tetapi juga merupakan kesulitan yang sejak lama saya renungi. Selama kuliah di Universitas al-Azhar misalnya, tidak sedikit dari diktat-diktat yang bisa saya pahami dengan baik. Namun ketika saya harus berbicara tentang masalah-masalah dalam bahasa Indonesia, saya harus berpikir keras bagaimana caranya untuk memberikan pemahaman yang akurat. Tentu saja sangat berbeda dengan kondisi ketika saya harus menjawab soal-soal ujian. Bahkan pada bagian yang satu ini, saya menerapkan berbagai macam metode yang selama ini santer di kalangan kawan-kawan. Saya pernah menguasai diktat dengan teknik hapalan, pernah juga dengan teknik Insya, yaitu kita cukup memahami dan nantinya mengungkapkan sendiri pemahaman tersebut dengan bahasa kita sendiri. Dan pernah juga saya menggunakan kedua teknik itu sama rata dalam satu diktat. Tidak banyak persoalan yang menjadi kendala, karena bagaimanapun saya tetap menuliskannya dalam bahasa Arab. Uniknya, persoalan-persoalan yang saya temui dalam penerjemahan selain istilah-istilah secara umum, justru adalah istilah-istilah bahasa sendiri. Mungkin ini disebabkan statusnya sebagai istilah bahasa sehingga dalam buku-buku yang tidak secara khusus membicarakan bahasa pun akan menggunakannya dalam keperluan tertentu, dan lebih lagi dalam bidang ushul fiqih. Dulu, saya pernah memetakan tingkat kandungan suatu ungkapan dalam bahasa Arab. Secara sederhana, suatu ungkapan Arab adalah susunan kata-kata. Kemudian setiap kata mengandung makna yang khas, dan mempunyai pengaruh terhadap makna umum kalimatnya sesuai dengan kedudukannya dalam kalimat tersebut. Satu kalimat ini kemudian secara global adalah kalimat dan makna kalimat. Banyak pembaca bahasa Arabtentu saja yang saya maksud adalah teks-teks serius, bukan percakapan sehari-harihanya terhenti pada batas ini. Dia membaca suatu kalimat kemudian menemukan maknanya. Padahal, dalam bahasa Arab masih ada tingkatan yang harus dilalui, yaitu dilâlah, mafhûm, dan maqshûd. Jadi, kata > kalimat > makna > dilâlah > mafhûm > maqshûd. Dan ini masih dalam kontek umum, masih belum lagi menjangkau lebih jauh konsep-konsep sastra, khususnya ilmu balaghah yang dari sana bisa kita jumpai istilah makna al-makna (secara umum dalam ilmu bahasa sangat berkaitan dengan persoalan konotatif dan denotatif), kemudian zhilâl al-maknaatau menggunakan istilah lain dari dosen saya, Prof. Dr. Sayyid Taqiyuddin, adalah maâni hâmisyiah makna-makna sekunder atau bias makna. Pada kajian ushûl fikih, beberapa konsep-konsep ini terus dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dalam membaca dan memahami teks-teks agama. Pada tingkatan mafhûm di atas misalnya, dalam ushul fikih kita kenal lagi beberapa pembagian ke dalam beberapa cabang yang sebagian berkaitan dengan konsep bahasa dan sebagian lagi berkaitan dengan konsep logis atau ilmu manthiq. Maka, dari sudut ushul fikih, kita mengenal mafhûm ibârah, mafhûm isyârah, mafhûm dilâlah, mafhûm iqtidhâ, dan mafhûm mukhâlafah. Bayangkan saja jika konsep-konsep ini muncul dalam suatu kitab Arab yang ingin kita terjemahkan, tetapi buku itu tidak membahas persoalan itu, tetapi hanya memberikan pengantar kepada masalah lain yang menjadi pembahasannya. Jikalau dulu saya pernah melakukan pemetaan seperti itu, dalam lingkup perkembangan selanjutnya, pembahasan teori-teori bahasa semakin luas. Bahkan kita bisa memetakan dari sudut bidang-bidang yang terkait dalam bahasa. Gambaran sederhananya, kalimat terdiri dari kumpulan kata, setiap kata mengandung makna, setiap kata merupakan sekumpulan bunyi. Dan kumpulan kata tersebut merupakan satu ikatan dalam suatu relasi. Pemetaan pemahaman terhadap bahasa tersebut bisa diawali dengan level leksikal (al-mustawâ al-mujami), kemudian level bunyi (al-mustawâ al-shauti), level morphem (al-mustawâ al-sharfi), level gramatikal (al-mustawâ al-nahwi), baru terakhir level semantik atau al-mustawâ al-dilâli. Pada level leksikal lebih ditekankan pada pencermatan kosa kata. Dan pada bagian ini kita harus mencermati makna-makna yang tertuang dalam kamus, dan bagaimana pemakaian suatu kata itu biasa terjadi dalam teks-teks. Misalnya, dalam suatu kalimat tertentu, suatu kata biasa digunakan dengan makna pertama, sedangkan pada kalimat tertentu yang lain, suatu kata yang sama biasa digunakan dengan makna kedua. Dan begitu seterusnya. Pada bagian ini saja, sudah bisa kita tangkap bagaimana pengaruhnya terhadap pemahaman kita terhadap suatu kalimat sebelum melangkah ke level selanjutnya. Level bunyi pada dasarnya tidak mempunyai pengaruh yang besar. Karena itu, tingkatan ini sering digabungkan dengan level leksikal atau dengan level morphem. Namun dalam kasus-kasus tertentu, tetap saja dibutuhkan sehingga harus kita sebutkan secara tersendiri. Level ini dibutuhkan misalnya, dalam membaca puisi-puisi Arab klasik, atau dalam membaca al-Qur`an yang lebih terfokus kemudian dalam pembahasan ilmu tajwîd. Level morphem merupakan level terakhir pada tingkat kata tunggal. Di sini kita diharuskan untuk mencermati bentukan-bentukan kata dan variannya, kemudian sampai mana tingkat perbedaan makna antara satu bentuk dengan bentuk yang lain. Perubahan-perubahan bentuk kata secara umum dan makna-maknanya menjadi kajian khusus Ilmu Sharaf atau Morphologi dalam istilah modern. Menguasai dasar Ilmu Sharaf adalah bekal utama dan syarat mutlak dalam level ini. Namun ketika membaca suatu teks, yang dibutuhkan tidak lagi sekadar teori-teori Ilmu Sharaf, tetapi juga mencermati penggunaan-penggunaan varian kata dalam kalimat dengan melihat kontek-kontek kalimatnya. Kita misalnya sudah bisa mengetahui penggunaan kata ber-wazan fâilun yang bermakna pelaku dan bisa membedakan dengan kata ber-wazan faâlun yang juga bermakna pelaku, tetapi mengandung ketekunan, sudah lengket menjadi atribut, dan kontiunitas. Ada dua kasus yang ingin saya sampaikan dalam kaitan dengan level morphem ini. Kasus pertama, sewaktu Keluarga Terobosan mendiskusikan tentang opsi yang diberikan oleh MPR kepada Timor Timur pada masa Habibie, ada seorang kawan yang mengajukan pendapat dengan melakukan perbandingan dengan otonomi yang diberikan oleh Israel kepada Palestina. Pada saat itu dia mengetengahkan analisa politik dari koran, dan mencoba mengulasnya. Pada saat itu dia membahasakan kata itirâf yang ia temui dengan pengenalan dan pengetahuan. Saya hanya kecut, tapi terpaksa diam karena pembahasan tentang bahasa bukan pada tempatnya. Tentu saja, kita menemukan ulasan yang sedikit janggal karena ada suatu pemahaman bahasa yang tidak tepat sejak awal. Kasus kedua, baru-baru saja saya temukan, yaitu sebuah makalah yang ditulis di situs swaramuslim. Makalah tersebut berbicara tentang jimat dan hal-hal yang berbau klenik dan bagaimana hukumnya menurut pandangan Islam . Ada satu hadis Nabi s.a.w. yang berbunyi, Man taallaqa tamîmatan falâ atammahullâhu lahu. Kalimat hadis ini diterjemahkan oleh penulisnya dengan Barangsiapa menggantungkan jimat, maka semoga tidak disempurnakan oleh Allah (hajatnya). Secara sederhana, kita memang bisa mengerti makna hadis ini dan apa kandungan yang dimaksud. Namun saya mencoba memberikan perbandingan dengan terjemahan yang mencermati kaidah ilmu Sharaf, yaitu dasar kita memahami dalam level ini. Hadis tersebut menggunakan kata taallaqa yang mengandung beberapa makna selain kata dasarnya. Beberapa makna yang relevan adalah mutâwah, dilâlah ala ittikhâz, dan muânah wa takalluf. Makna-makna ini menunjukkan kandungan intransitif. Bisa dilihat terjemahan di atas menggunakan makna transitif yang sebenarnya lebih tepat jika digukana kata allaqa. Satu makna yang sedikit mengena dengan terjemahan tersebut adalah makna dilâlah ala ittikhâz; yakni makna menjadikan sesuatu yang terkandung dalam kata dasar. Misalnya kata al-wisâdah adalah bantal, maka tawassada-hu berarti menjadikan sesuatu itu sebagai bantal, atau kata ibnun adalah anak, maka tabannâ adalah menjadikannya sebagai anak. Jika hadis di atas kita terjemahkan sesuai dengan makna ini, maka secara literal adalah Barangsiapa menjadikan jimat sebagai gantungan . Bisa kita lihat sendiri, terjemahan tersebut hanya mengena pada sedikit dari kandungan yang dimaksud. Makna lain yang menurut saya lebih tepat adalah muthâwaah; yakni jika kita menggantungkan sesuatu, maka sesuatu itu tergantung. Dengan makna ini, hadis di atas tidak sekadar menggantungkan jimat, tetapi siapa saja yang bergantung dengan jimat walau jimat itu sendiri hanya disimpan. Seharusnya kata taallaqa dalam hadis itu intransitif, tetapi digunakan secara transitif karena rahasia bahasa tertentu yang menjadi pembahasan level selanjutnya, yaitu level gramatikal. Maksud hadis itu menjadi lebih tegas, bukan jimatnya yang tergantung, tetapi adalah oknum yang tergantung dengan jimat. Dan karena oknum, maka makna menjadi bergantung. Dan karena makna ketergantungan inilah, maka hal itu dilarang karena bagi seorang muslim, prilaku yang benar adalah berusaha dan menyerahkan semuanya yakni bergantung kepada Allah, bukan kepada benda-benda dengan membuatnya sebagai jimat-jimat. Dan apabila makna ini sudah jelas, maka makna yang ketiga; takalluf, semakin jelas lagi karena makna takalluf menunjukkan usaha keras dan keterikatan dengan makna dasar. Misalnya kata sabar menjadi tashabbara yakni berusaha keras melakukan sabar, kata karam adalah pemurah menjadi takarrama berusaha bermurah-murah hati. Dan kata taallaqa dalam hadis dengan makna ini berarti suatu upaya keras dan keterikatan dengan gantungan yang berupa jimat. Dan masih banyak lagi kasus-kasus bahasa pada level ini yang mesti kita cermati baik-baik. Level selanjutnya adalah level gramatikal. Bekal dasar dalam level ini adalah menguasai konsep dasar gramatikal yang menjadi pembahasan khusus Ilmu Nahwu. Secara global sebenarnya level ini lebih mencermati sah tidaknya kedudukan suatu kata dalam struktur kalimat. Kemudian mencermati makna yang muncul dari relasi antara kata-kata. Salah satu contoh, firman Allah Swt yang sering kita hapal, Kun fayakûn. Ini hanya sebuah kalimat singkat, tetapi dalam Ilmu Nahwu mengandung relasi yang mengungkapkan makna tidak sederhana. Strukturnya berbentuk syarat dan jawab syarat. Namun jawab syarat-nya menggunakan kata Fâ, bukan kata Yakûn itu sendiri yang seharusnya dijadikan berstatus Jazm sebagai jawab syarat. Apabila kalimat ini kita terjemahkan secara sederhana, Jadi! Maka jadilah, langsung terbayang dalam benak kita bahwa ketika Allah Swt menghendaki sesuatu dan lalu mengatakan Jadilah! maka sesuatu itu dengan serta merta terjadi langsung. Pemahaman ini tidak sepenuhnya salah, tetapi tidak tepat apabila kita melihatnya dari sudut yang lebih umum dan hal-hal yang berkaitan dengan sunnatullah. Bahkan makna sepintas itu menggambarkan tidak adanya proses. Padahal ayat itu berada dalam kontek umum dan mencakup semua kejadian termasuk yang ada proses padanya. Itulah rahasia yang terkandung dengan menggunakan Fâ sebagai jawab syarat, bukan dengan kata Yakûn dengan dijadikan berstatus Jazm. Sedangkan relasi antara syarat yakni kata Kun dan jawab syarat yakni Fa Yakûn, mengandung makna kepastian. Pada hakikatnya, pembahasan ini sudah mulai melangkah ke pembahasan level yang selanjutnya sebagaimana kajian kebahasaan secara umum. Namun menurut saya, pembahasan ini lebih tepat masuk ke dalam level ini. Dengan demikian, Ilmu Nahwu tidak hanya sebatas mengetahui sah atau tidaknya kedudukan suatu kata dalam kalimat dan bagaimana relasinya dengan kata lain. Namun juga menyingkap rahasia makna ungkapan yang dimaksud. Dan pencermatan awal pada bagian ini menjadi pijakan dasar untuk melangkah di level selanjutnya. Dan ini yang ditekankan oleh Abdul Qahir dalam ilmu Balaghah dan dia menyebutkan bahwa Ilmu Balaghah pada dasarnya adalah mengejar makna-makna Nahwu. Saya lebih sepakat dengan pendapat ini, karena pada level selanjutnya tidak hanya membahas tentang kandungan makna semantik suatu kalimat atau mengejar makna-makna Nahwu saja, tetapi juga berbaur dengan konsep-konsep lain termasuk bidang-bidang yang tidak terkait dengan kajian bahasa secara langsung seperti ilmu manthiq; apalagi bidang-bidang kajian yang memang masih terkait dengan kajian ilmu bahasa. Pada praktiknya, Abdul Qahir konsisten dengan gagasannya ini, secara lebih khusus lagi pada bagian Ilmu al-Maani yang merupakan salah satu bagian dari tiga bagian Ilmu Balaghah. Dia menerapkan pembahasan-pembahasan yang panjang lebar dalam bukunya Dalâil Ijaz secara khusus. Alasan yang paling utama dalam hal ini bahwa kaidah-kaidah struktur bahasa bukanlah kaidah-kaidah abstrak yang hanya digunakan untuk mengetahui kedudukan suatu kata apakah sebagai subjek, predikat, objek, atau kata keterangan. Akan tetapi, merupakan kaidah-kaidah yang berlaku dalam bahasa untuk membentuk relasi-relasi tertentu sesuai dengan keinginan pengucapnya dalam rangka menyampaikan maksud yang terkandung dalam dirinya kepada orang lain. Dan itu tidak cukup hanya dipandang dari sudut makna setiap kata saja, tetapi kata-kata itu harus terangkai dalam relasinya yang khas. Relasi antarkata mempunyai sudut makna tertentu yang berbeda ketika suatu kata itu mempunyai relasi dalam bentuk lain. Relasi inilah yang disebut Abdul Qahir al-Jurjâni dalam bukunya Dalâil al-Ijâz dengan Nazhm. Membahas bagian ini artinya kita sudah memasuki level selanjutnya, yaitu mustawâ dilâli. Dan saya sendiri lebih membatasi pembahasan level itu hingga bagian ini saja. Karena bagian ini merupakan pijakan pertamasetelah pada level sebelumnya kita telah memahami kedudukan kata dalam kalimat dan mengejar makna-makna Nahwupada level ini sebelum melangkah lebih jauh ke bagian-bagian lain yang berkaitan dengan semantik, estetika, semiotika, dan bidang-bidang lainnya. Bahkan hingga ke bagian-bagian yang saling mengisi padanya dari kajian-kajian manthiq, filsafat, psikologi, dan ilmu-ilmu komunikasi. Argumen yang diajukan oleh Abdul Qahir al-Jurjani tentang Nazhm sangat tampak bahwa hal itu ia kemukakan sebagai jawaban atau bantahan terhadap pendapat tertentu. Penelusuran yang dilakukan bisa menyingkap bahwa rupanya dua kitab yang ia tulis pada dasarnya adalah bantahan terhadap Qadhi Abdul Jabbar. Tentu saja saya tidak perlu berpanjang lebar dalam bagian ini. Salah satu argumennya yang paling penting Abdul Qahir menyebutkan,dengan menggunakan bahasa saya sendiriAmbillah 10 kata dan serahkan kepada 10 orang. Kemudian minta mereka merangkai kalimat dari kata-kata itu. Jika memang kualitas kalimat dan relasi antarkata itu sama, maka kita akan mendapatkan pengertian yang sama. Jika memang suatu makna bisa didapatkan dari makna dasar kata, tentu tidak perlu bersusah payah dalam menyusun kata-kata itu. Namun kenyataannya, kita akan mendapatkan 10 kalimat yang berbeda-beda dari 10 kata yang sama, kita juga akan mendapatkan pengertian yang beberda, dan kita akan mendapatkan kualitas kalimat yang berbeda-beda pula. Inilah gagasan utama Nazhm yang diajukan oleh Abdul Qahir. Pada sudut praktis dalam memahami level ini, kita mencoba menelaah salah satu firman Allah Swt yang berbunyi, Qul hal yastawil ladzîna yalamûn walladzîna lâ yalamûn. Maknanya, Katakan, apakah sama orang yang mengetahui dan orang yang tidak mengetahui. Secara umum kita sudah bisa menangkap kandungan yang dimaksud dari kalimat ini. Artinya pada batas ini, kita berada dalam garis yang sama dengan ketika membahas Kun Fayakûn di atas. Sedangkan mustawa dilâli kemudian lebih tertuju kepada pembahasan bentuk kalimat yang bisa kita awali dengan pertanyaan kenapa kalimat ini berbentuk (istifhâm) pertanyaan? Dalam tafsîr al-Qur`an, kita akan sering menemukan penjelasan maksud secara langsung, yaitu penekanan bahwa tidak sama antara orang yang mengetahui dan orang yang tidak mengetahui. Atau kalau dalam konsep Ilmu Maani disebutkan bahwa Istifhâm di sini bermakna an-nafyu; yakni menjadi Katakan, tidak sama orang yang mengetahui dan orang yang tidak mengetahui. Namun penjelasan ini masih belum menjawab pertanyaan kita, dan upaya menjawab pertanyaan kita itulah yang menjadi bagian level semantik atau mustawâ dilâli. Penggunaan style pertanyaan ini mengandung makna yang lebih dari sekadar penegasan ketidaksamaan, tapi juga mengajak pembaca untuk menegaskannya dengan penuh keyakinan karena merupakan persoalan yang sudah pasti dan didukung dengan fakta yang sudah biasa terjadi dalam kehidupan mereka sehari-hari, sekaligus juga mengandung ajakan secara kesadaran per pembaca untuk melakukan sesuatu yang menjadi pilihan di antara dua kondisi tersebut. Bagian ini juga merupakan salah satu bidang yang menarik perhatian kelompok bahasa beraliran psikolinguistik. Kandungan lainnya, penggunaan kata mengetahui yang jelas transitif tanpa penyebutan objek merupakan penekanan kepada hal pengetahuan tanpa melihat objek yang diketahui. Artinya ketidaksamaan itu sudah nyata secara mutlak, baik dalam lingkup yang kecil dalam kehidupan sehari-hari hingga tingkat penelitian akademis. Secara sederhana, bisa saja kita katakan maknanya yang tidak menyebutkan objek tersebut dengan Tidak sama antara orang yang berpengetahuan dengan orang yang tidak berpengetahuan. Akan tetapi, silahkan renungi bagaimana kalimat ayat itu tidak menggunakan langsung kalimat makna yang kita ajukan ini; karena konotasinya akan membawa pembaca hanya ke tingkat akademis atau pengetahuan formal. Sebagaimana yang seharusnya tuntutan Ilmu Nahwu, kata mengetahui pasti mempunyai objek. Oleh karena itu, pada level gramatikal objek harus tetap ada dan dalam kalimat seperti ini, objeknya berada dalam style tertentu yang dikenal dengan istilah takdîr. Sedangkan pada level ini, pencermatan terhadap kenyataan tidak ada penyebutan objek mengajukan suatu rahasia bahasa tertentu yang berkaitan dengan maksud mengetahui itu sendiri. Bahasa lugasnya begini, Justru itu, mengetahui itu penting sehingga objek-objek yang tidak terbatas itu bisa didapatkan. Hal ini juga mengantarkan kita kepada makna bahwa pada prosesnya tidak hanya terhenti sebatas tahu, tetapi berlanjut terus pada pencarian ketahuan-ketahuan itu. Dan dalam relasi yang saling terkait, makna ini juga yang membuat kita mengerti kenapa digunakan kata mengetahui bukan berpengetahuan meskipun objeknya tidak disebutkan. Dan ini saja masih belum selesai. Masih banyak makna dari segi mustawâ dilâli ini yang bisa kita hasilkan dengan mencermati kalimat tersebut dengan pendalaman-pendalaman terhadap banyak hal yang saling terkait antara level-level yang kita sebutkan sebelumnya. Misalnya, penggunaan istifhâm dengan Hal, kata yalamûn bukan dengan kata yarifûn, menggunakan maushûl alladzi disandingkan dengan shilatul maushul yang berupa kalimat verbal, menggunakan kata hubung (athaf) dengan menggunakan waw, dan hubungan itu ¬antara prasa dengan prasa bukan antara kata dengan kata, dan mendahulukan prasa orang yang mengetahui daripada prasa orang yang tidak mengetahui. Oleh karena itu, sangat wajar jika dari sudut pemahaman bahasa saja kita akan menemukan ragam pendapat yang berbeda-beda pada kesimpulan akhir, seperti yang kita temukan dalam lingkup fikih dan hukum Islam . Meskipun ketika membaca suatu ayat atau hadis, bisa saja kita merasa bahwa maksudnya sudah jelas, apalagi dengan sudah membaca terjemahannya. Ini masih belum lagi telaah terhadap sudut-sudut lain yang sudah menjadi kajian bidang tertentu dan pada prinsipnya masih punya kaitan dengan pemahaman bahasa; yang dalam pemetaan saya pertama dari kata, kalimat, makna, dilâlah, dan berlanjut kepada mafhûm kemudian terus kepada maqshûd. Dan perbedaan pendapat tersebut masih belum lagi dilengkapi dengan faktor-faktor yang terdapat dalam perbincangan tentang dalil-dalil teks dan beberapa pembahasan lain yang menjadi bagian khusus bidang ushul fikih, hadis dan ushul hadis, tafsir dan ushul tafsir, dan seterusnya. Dan hal-hal seperti ini pula sebagaimana saya sebutkan di atas yang menjadi kendala dalam penerjemahan buku-buku Arab, khususnya yang berkaitan dengan bidang-bidang tertentu, atau bidang-bidang umum yang memuat istilah-istilah tertentu sehingga kemudian kadang saya berpikir, terjemahan kita akan lebih mengena jika berbentuk uraian, lebih lagi pada kandungan-kandungan makna yang sangat susah kita temukan padanannya dalam bentuk kata tunggal atau kalimat singkat tertentu. Sekian, Wassalam Aman [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Join modern day disciples reach the disfigured and poor with hope and healing http://us.click.yahoo.com/lMct6A/Vp3LAA/i1hLAA/aYWolB/TM --------------------------------------------------------------------~-> Milis Wanita Muslimah Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat. Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED] Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/