Sekadar menambahkan tentang penjelasan istilah qath'i saja. Qath'i secara 
bahasa berarti pasti, sesuatu yang sudah terputus dari bentuk kemungkinan. 
Dan barangkali qath'i secara bahasa ini yang dimaksud oleh Mas Bejo. 
Sedangkan dalam istilah ushul fiqh atau dunia dalil mendalil, yang dimaksud 
dengan qath'i terdiri dari dua bagian:

Pertama, qath'i dilalah. Bagian ini lebih merujuk kepada teks. Setiap teks 
yang tidak mengandung kecuali satu makna atau satu maksud atau satu 
pengertian saja itu dinamakan qath'i dilalah. Karena itu jenis ini biasa 
disebutkan secara ringkas sebagai sesuatu yang tidak berpotensi mengandung 
penafsiran. Apabila suatu teks berpotensi mengandung penafsiran, maka 
disebut dengan zhanni dilalah. Catatan dari para ulama (lihat Ushul 20 Hasan 
al-Bana juga disebutkan di sana), sebagian besar dari teks-teks keislaman 
atau dalil-dalil masuk ke dalam bagian zhanni dilalah.

Kedua, qath'i tsubut. Bagian ini lebih merujuk kepada otentikasi. Karena itu 
sepenuhnya dilihat dari segi periwayatannya. Riwayat yang jelas qath'i 
tsubut adalah riwayat mutawatir. Sedangkan hadis ahad, meski sahih oleh 
mayoritas ulama hanya masuk ke dalam zhanni tsubut. Jadi qath'i yang bagian 
ini hanya ada dua yaitu al-Qur`an dan Hadis Mutawatir.

Dalam contoh, kenapa Imam Hanafi tidak mewajibkan alfatihah di dalam shalat, 
tapi cukup beberapa bagian dari al-Qur`an? Karena ayat al-qur`an menyatakan 
"Faqra`uu ma tayassara minal qur`an" (bacalah apa yang mudah dari 
al-Qur`an). Sedangkah hadis alfatihah itu sahih dengan riwayat ahad. Menurut 
mazhab Syafi'i, hadis berfungsi menjelaskan yang mujmal dan men-takhshish 
dalil yang umum. Ayat al-Qur`an tersebut masih umum dan hadis alfatihah 
berfungsi menjelaskan dan men-takhsishnya. Mazhab Hanafi menjawab, takhsish 
itu sama saja dengan nasakh. Sedangkan hadis ahad tidak bisa me-nasakh 
al-Qur`an yang jelas mutawatir (qath'i tsubut). Karena itu, ayat tersebut 
bersifat tetap dan kuat. Sedangkan membaca al-fatihah (sebagaimana riwayat 
ahad tersebut) dianjurkan (hukum sunnah) sebagai bagian dari al-Qur`an juga 
dan di-sunnah-kan (sunnah makna bahasa) oleh Nabi Saw.

Nah justru di sini kuatnya argumen Syafi'iyah dan jumhur ulama. Yaitu, 
takhsish tidak sama dengan nasakh. Ketika kita mengambil hadis alfatihah 
sebagai hujjah wajibnya membaca alfatihah, maka itu tidak disebut sebagai 
membatalkan (nasakh) ayat di atas. Karena ketika kita membaca alfatihah 
secara otomatis kita juga melaksanakan kandungan ayat di atas. Itulah salah 
satu contoh perbedaan pendapat yang terkait dengan dalil-dalil. Dari segi 
kedudukan ada qath'i tsubut dan zhanni tsubut, dan dari segi pemaknaan ada 
qath'i dilalah dan ada zhanni dilalah.

Jadi, suatu dalil:
1. adakalanya qath'i tsubut dan qath'i dilalah sekaligus. Contohnya yang 
sederhana adalah qul huwallahu ahad. Qath'i tsubut karena ayat al-Qur`an dan 
qath'i dilalah karena tidak mengandung kecuali satu penafsiran maksud.
2. adakalanya qath'i tsubut saja tidak qath'i dilalah. Contohnya, yadullahi 
fauqa aidiihim. Ayat al-Qur`an jadi qath'i tsubut, tetapi teksnya mengandung 
potensi penafsiran maksud yang berbeda, maka tidak qath'i dilalah.
3. adalakalanya qath'i dilalah saja tidak qath'i tsubut. Contohnya hadis 
alfatihah dalam contoh di atas.
4. adakalanya tidak qath'i tsubut dan tidak qath'i dilalah. Dan ini adalah 
zhanni tsubut dan zhanni dilalah. Selain al-Qur`an, kebanyakan dalil-dalil 
adalah jenis ini. Dan lebih banyak dari itu dengan memasukkan al-Qur`an, 
dalil-dalil adalah zhanni dilalah.

Ketika kita bertemu istilah qath'i --dalam wacana dalil-- secara mutlak, 
biasanya merujuk kepada makna bahwa dalil tersebut adalah qath'i tsubut dan 
qath'i dilalah sekaligus. Jika penulisnya memaksudkan qath'i dilalah saja 
atau qath'i tsubut saja, dia akan menyebutkannya dengan atributnya. 
Begitulah penulisan istilah yang semestinya. Namun kadang-kadang ada juga 
yang menuliskan qath'i saja (secara mutlak), dan biasanya pada pembahasan 
yang luas dimana dalil yang dimaksud itu tertera dengan jelas sedangkan 
penulisnya atau dalam lingkup kajiannya, dalil itu sudah bisa dimengerti 
sendiri oleh pembaca.

Persoalannya memang agak berbeda ketika dalil-dalil tersebut telah berada di 
dalam bahasa terjemah; karena sejujurnya kebanyakan bahasa terjemah sudah 
berada dalam bahasa pengertian. Contoh saja mengambil hadis yang sangat 
sederhana; Innamal A'malu binniyaat (Hanya saja amal itu dengan niat). Bagi 
kita dengan membaca terjemah ini, tentu sudah sangat jelas dan tidak 
mengandung potensi penafsiran. Mungkin yang ada hanyalah penjabaran. 
Sekarang jika kita mengambil hadis ini sebagai dalil tentang niat dalam 
pekerjaan, apakah sesederhana itu? Ulama-ulama berbeda pendapat soal niat 
dalam suatu amal justru karena hadis ini. Ada Ulama yang menakdirkan 
"mutaalliq jar majrur"* dengan shihhah, sehingga maksudnya adalah shihhatul 
A'maal binniyaat (hanya saja sahnya amal dengan niat). Maka mereka 
menyatakan bahwa niat merupakan salah satu rukun dalam suatu amal dan 
apabila tak ada niat maka amalnya tidak sah (Ini yang kebanyakan dipegang 
oleh para ulama, di Indonesia ya liat aja Kyai2 NU).

Ada ulama yang menakdirkan "mutaalliq jar majrur" tersebut dengan kamal, 
sehingga maksudnya adalah kamaalul A'maal binniyaat (hanya saja kesempurnaan 
amal dengan niat). Maka mereka menyatakan pentingnya niat sebagai bagian 
dari kesempurnaan amal, tapi tidak wajib. Banyak di antara ulama Hanafi yang 
mengikuti pendapat ini.

* Mutalliq jar majrur adalah istilah gramatikal bahasa Arab. Dan perbedaan 
pendapat yang muncul seperti itu tidak bisa dikatakan "kok beda padahal 
hadisnya sudah jelas atau sudah pasti" hanya semata-mata sudah bisa membaca 
maknanya, baik dalam bahasa Arabnya langsung atau lewat makna terjemahnya. 
Itu kalau yang kita maksud adalah membicarakan dalil-dalil, kedudukan, 
jenis, dan istinbath hukum. Kalau untuk ceramah yang lebih bersifat 
memberikan pengertian dan motivasi atau membaca untuk mengerti saja tanpa 
bermaksud mendiskusikan dalil dan kesimpulan hukum, ya tidak mengapa membaca 
bahasa aslinya atau terjemahnya lalu kemudian menalar dan mentadabburi, 
serta menjabarkannya.

Wassalam
Aman

----- Original Message ----- 
From: "Bejo Paijo" <[EMAIL PROTECTED]>
To: <wanita-muslimah@yahoogroups.com>
Sent: Tuesday, February 14, 2006 9:56 AM
Subject: Balasan: RE: Balasan: Re: [wanita-muslimah] Caci Maki di Islam


Terimakasih Pak Chodjim, mungkin nanti saya akan klik-klik lagi.
  Tapi ijinkan saya menyampaikan pendapat saya. Menurut saya Qath'i itu 
artinya pasti, nggak ada keraguan lagi. Dan tentang jilbab, monggo dipun 
waos :
  Perintah memakai jilbab bagi wanita muslimah telah Allah firmankan dalam 
kitab-Nya yang mulia Al-Qur’an dan hadits rasul-Nya.
  Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Shahih riwayat Muslim: “Ada dua 
golongan penduduk neraka dari ummatku, tetapi aku belum pernah melihat 
keduanya: Wanita-wanita yang berpakaian tetapi telanjang, yang 
berlenggak-lenggok dan memiringkan kepala mereka seperti punuk unta. Mereka 
tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya. Dan dimana sekelompok 
laki-laki bersama mereka yang membawa cemeti seperti ekor sapi yang mereka 
gunakan untuk memukuli atau menyambuki hamba-hamba Allah tersebut”
  Di redaksi lain :
  Hadits Muslim nomor 2128 yang berbunyi: “Diriwayatkan oleh Abu Hurairah 
dari Nabi shalallahu alaihi wassalam bersabda: Ada dua kelompok ahli neraka 
yang aku belum pernah melihat keduanya Seorang laki-laki yang mempunyai 
cemeti/cambuk seperti ekor sapi. Mereka mencambuki manusia dengannya dan 
para wanita yang berpakaian tetapi telanjang,bergoyang-goyang dan 
berlenggak-lenggok , kepala mereka ( ada sesuatu) seperti punuk unta yang 
bergoyang-goyang. Mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium 
baunya padahal bau surga itu dapat dicium dari jarak sekian dan sekian” 
Sedangkan hadits lain yang diriwayatkan Imam Ahmad 2/223 berbunyi : “Pada 
akhir ummatku nanti akan muncul kaum laki-laki yang menaiki pelana seperti 
layaknya kaum laki-laki, mereka turun kemasjid-masjid, wanita-wanita mereka 
berpakaian tetapi laksana telanjang, diatas kepala mereka (ada sesuatu) 
seperti punuk unta yang lemah gemulai. Laknatlah mereka, karena sesungguhnya 
mereka adalah wanita-wanita yang
 terlaknat”
  Sebagai muslim, kita punya dua pilihan :
  menjadi hamba Allah (taat pada perintah dan menjauhi laranganNya serta 
mengikuti sunnah NabiNya) atau hamba setan yaitu mengikuti hawa nafsunya dan 
mematuhi seruan setan dengan meninggalkan seruan Allah dan rasul-Nya.
  Dan perlu diingat :
  “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi wanita 
yang mukmin apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu 
ketetapan(urusan) akan ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan 
mereka. Dan, barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguh 
dia telah sesat, sesat yang nyata”(Al-Ahzab:36)
  Dalil lainnya :
  “katakanlah kepada wanita yang beriman:Hendaklah mereka menahan pandangan 
mereka, dan memelihara kemaluan mereka dan janganlah mereka menampakkan 
perhiasan mereka kecuali yang biasa nampak dari mereka. Dan hendaklah mereka 
menutupkan kain kudung kedada mereka dan janganlah menampakkan perhiasan 
mereka, kecuali kepad suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami 
mereka, atau putera-putera mereka, atau puter-putera suami mereka, atau 
saudara-saudara mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau 
putera-putera saudara perempuan mereka atau wanita-wanita islam atau 
budak-budak yang mereka miliki atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak 
mempunyai keinginan terhadap wanita atau anak-anak yang belum mengerti 
tentang aurat wanita. Dan, janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar 
diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kepada Allah, 
hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”
  Sebab turunnya ayat ini menurut Ibnu Katsir :
  “Telah sampai berita kepada kami dan Allah Maha Tahu bahwa Jabir bin 
Abdullah Al-Anshari telah menceritakan bahwa Asma binti Murtsid tengah 
berada ditempatnya di Bani Haritsah. Tiba-tiba banyak wanita menemuinya 
tanpa menutup aurat dengan rapi sehingga tampaklah gelang-gelang kaki 
mereka, dada, dan kepang rambutnya. Asma berguman :Alangkah buruknya hal 
ini. Maka Allah Ta’ala menurunkan ayat ini” Diriwayatkan bahwa Aisyah 
radhiyallahu anha pernah berkata : “Semoga Allah merahmati wanita Muhajirin 
yang pertama yang tatkala Allah Ta’ala menurunkan ayat:”Dan hendaklah mereka 
menutupkan kain kerudung kedada mereka..”mereka lantas merobek kain tak 
berjahit (muruth) yang mereka kenakan itu, lalu mereka berkerudung dengannya 
(dalam riwayat lain disebutkan: Lalu merekapun merobek sarung-sarung mereka 
dari pinggir kemudian mereka berkerudung dengannya” Hadits Riwayat Bukhari 
(II:182 dan VIII:397) dan Abu Dawud dan Al-Hakim (IV/194)

Wassalamua'alaikum




------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Join modern day disciples reach the disfigured and poor with hope and healing
http://us.click.yahoo.com/lMct6A/Vp3LAA/i1hLAA/aYWolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke