Apakah mayit disiksa karena tangisan keluarga? Ini saya culik dari beberapa referensi dengan mengacu kepada buku hukum-hukum wanita. Dan minta maaf kalau ulasannya bersifat apa adanya. Dan judul utama merupakan kesimpulan umum pendapat menurut saya.
BOLEH MENANGISI MAYAT SELAMA TIDAK DISERTAI DENGAN TERIAKAN, RATAPAN, UNGKAPAN KEBENCIAN, MENAMPAR-NAMPAR PIPI, MEROBEK-ROBEK PAKAIAN DAN SEUMPAMANYA. Ketahuilah bahwa Allah s.a.w. tidak menyiksa karena air mata yang berlinang atau karena kesedihan hati. Telah tetap dari berbagai riwayat-dan akan dikemukakan sebentar lagi insya Allah-bahwa Nabi s.a.w. menangis dalam beberapa kasus dan orang-orang di sekelilingnya s.a.w. menangis. Dan tangisan Nabi bukanlah siksa atas mereka yang dia tangisi karena Dia s.a.w. adalah orang yang diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam. Sedangkan menangis yang disertai dengan suara yang nyaring, teriakan, ratapan dan apa yang berkaitan dengan hal itu seperti menampar-nampar pipi, merobek-robek pakaian, meraung terhadap mayat dan menyebut-nyebut kemulian turun temurun dan lain-lainnya dari perkara-perkara yang dilarang oleh Rasulullah s.a.w.-yaitu meratapi-maka ini diharamkan dan tidak dibolehkan dalam kondisi apapun dan pelakunya pasti berdosa karena melakukan hal tersebut. Lalu apakah ada pengaruh terhadap mayat dengan ratapan itu, dan apakah karena itu dia mendapatkan siksa? Dalam masalah ini terdapat perbedaan pendapat antara para ulama dari para sahabat dan lain-lainnya. Dan sekarang kami kemukakan dalil-dalil atas masalah tersebut. Hanya kepada Allah kita memohon petunjuk. DALIL-DALIL YANG MEMBOLEHKAN MENANGIS ATAS MAYAT Imam Bukhari berkata (hadits 1303): Diriwayatkan oleh Hasan ibn Abdul Aziz dari Yahya ibn Hasan dari Quraisy-yaitu ibn Hayyân-dari Tsâbit dari Anas ibn Malik r.a. dia berkata, kami bersama Rasulullah s.a.w. mengunjungi Abu Saif, pandai besi -dia adalah suami dari perempuan yang menyusukan Ibrahim a.s.[*] -lalu Rasulullah s.a.w. menemui Ibrahim kemudian mengecup dan menciumnya. Kemudian kami mengunjunginya setelah itu dan Ibrahim telah menghembuskan nafas terakhir sehingga membuat kedua mata Rasulullah s.a.w. berlinang. Lalu Abdurrahman ibn Auf berkata kepadanya, "dan kamu wahai Rasulullah?" Rasulullah s.a.w. menjawab, "Wahai Ibnu Auf, sesungguhnya ini kasih sayang." Kemudian dia mengikutkan dengan yang lain lalu dia s.a.w. berkata, "sesungguhnya mata berlinang dan hati bersedih dan kita tidak mengatakan kecuali apa yang diridhai Tuhan kita. Dan kami berpisah denganmu, wahai Ibrahim, sungguh bersedih." [Hadits Sahih dan juga diriwayatkan oleh Abu Musa dari Sulaiman ibn Mughirah dari Tsabit dari Anas r.a. dari Nabi s.a.w.] [**] [*] Ibrahim yaitu anak Rasulullah s.a.w. [**] Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata (Fathul Bâri, 3/174): Ibnu Baththâl berkata, hadits ini menjelaskan tangisan dan kesedihan yang dibolehkan, yaitu tangisan dengan mata berlinang dan kesedihan hati yang lembut tanpa kebencian terhadap keputusan Allah. Dan ini adalah makna yang paling jelas terdapat dalam masalah ini. Imam Bukhari berkata (hadits 1304): Diriwayatkan oleh Ashbagh dari Ibnu Wahab dia berkata, diriwayatkan oleh Amar dari Said ibn Harits al-Anshâri dari Abdullah ibn Umar r.a. dia berkata, Saad ibn Ubadah menderita sakit yang menimpanya lalu Nabi s.a.w datang mengunjunginya bersama Abdurrahman ibn Auf r.a., Saad ibn Abu Waqash r.a., dan Abdullah ibn Mas'ud r.a. dan ketika masuk (ke rumahnya), dia menemukannya dalam kesedihan keluarganya (pingsan).[*] Lalu Nabi berkata, "apakah sudah meninggal?" Mereka menjawab, "tidak, wahai Rasulullah." Kemudian Nabi s.a.w. menangis[**] dan ketika orang-orang melihat tangisan Nabi s.a.w. mereka ikut menangis. Lalu Nabi berkata,"harap kalian dengarkan? Sesungguhnya Allah tidak menyiksa karena tangis air mata dan tidak (juga) karena kesedihan hati. Tetapi Dia menyiksa dengan ini-dan dia memberi isyarat ke mulutnya-atau Dia memberi rahmat. Dan sesungguhnya mayat disiksa karena tangis keluarganya terhadapnya." Dan Umar r.a. memukul dengan tongkat, melempar batu dan mengais tanah. [Hadits Sahih dan diriwayatkan oleh Muslim hadits (924).] [*] Yaitu orang yang membuat dia pingsan karena melayani dan lainnya, demikian dikatakan oleh al-Hafiz, dan dia berkata, kata (keluarganya) gugur dalam kebanyakan riwayat yang ada dan atas ini al-Khattâbi memberikan uraian. Maka boleh saja bahwa yang dimaksud dengan kesedihan (musibah) adalah pingsan karena sakit dan kesusahan. Dan ini diperkuat oleh riwayat Muslim yang menyebutkan dengan kata (dalam pingsannya). Dan al-Turbasyti berkata, ghasyiah yaitu musibah karena kejahatan atau karena sakit atau hal yang tidak diharapkan. Dan yang dimaksud adalah apa yang membuat dia pingsan karena pedihnya sakit yang ia rasakan saat itu, bukan kematian, karena dia setelah itu sadarkan diri dari sakit itu dan hidup setelahnya beberapa masa. [**] Pada hadits ini menegaskan boleh menangis di depan orang sakit tersebut. (Demikian pernyataan Syaikh Mushtafa al-Adawi) Imam Bukhari berkata (hadits 1246): Diriwayatkan oleh Abu Ma'mar dari Abdul Wârits dari Ayyâb dari Hamid ibn Hilâl dari Anas ibn Malik r.a. dia berkata, Nabi s.a.w. bersabda, "Zaid mengambil panji kemudian terbunuh lalu diambil alih oleh Ja'far kemudian terbunuh lalu diambil alih oleh Abdullah ibn Rawahah kemudian terbunuh-dan kedua mata Rasulullah s.a.w. berlinang-kemudian diambil alih oleh Khalid ibn Walid tanpa ditentukan kemudian diberikan kemenganan baginya." [Hadits Sahih] Imam Bukhari berkata (hadits 1342): Diriwayatkan oleh Muhammad ibn Sinan dari Fulaih ibn Sulaiman dari Hilâl ibn Ali dari Anas r.a. dia berkata, kami menghadiri (pemakaman) anak perempuan Rasulullah s.a.w. dan Rasulullah s.a.w. duduk di pinggir kuburnya lalu aku melihat kedua matanya berlinang. Kemudian dia berkata, "siapa di antara kalian yang tidak bersetubuh [terdapat perbedaan pendapat dalam makna ini, makna lain 'melakukan dosa'] tadi malam?" Abu Thalhah menjawab, "saya." Dia berkata, "turunlah ke kuburnya." Lalu dia turun ke dalam kuburnya kemudian menguburkannya. [Hadits Sahih] Imam Bukhari berkata (hadits 1284): Diriwayatkan oleh Abdân dan Muhammad mereka berdua berkata, diriwayatkan oleh Abadullah dari 'Âshim ibn Sulaiman dari Abu Ustman dia berkata, diriwayatkan kepadaku oleh Usamah ibn Zaid r.a. dia berkata, anak perempuan Nabi s.a.w. mengutus (seseorang) kepadanya bahwa salah seorang anak laki-lakiku meninggal dunia, datanglah kunjungi kami. Lalu dia mengutus (seseorang), dan menyampaikan salam kepadanya dan berkata, "Sesungguhnya milik Allah apa yang Dia ambil dan milikNya apa yang Dia berikan, segala sesuatu di sisiNya sesuai ketentuan yang ditetapkan maka bersabarlah dan harapkanlah pahala." Lalu dia (anak perempuan Nabi) mengutus (seseorang) kepadanya dengan bersumpah agar mengunjunginya. Maka dia (Rasulullah) bangkit dan bersamanya Saad ibn Ubadah, Muadz ibn Jabal, Ubai ibn Ka'ab, Zaid ibn Tsabit dan beberapa laki-laki. Kemudian anak kecil itu diangkat kepada Rasulullah s.a.w. dan dirinya bergerak bergetar-dia berkata, aku mengira dia berkata-seakan-akan dia geriba (kantong air dari kulit) kering. Kemudian kedua matanya berlinang lalu Saad berkata, "Wahai Rasulullah, apa ini?" Dia menjawab, "ini adalah kasing sayang yang diciptakan oleh Allah dalam hati hamba-hambaNya. Sesungguhnya Allah hanya mengasihi orang-orang penyayang dari hamba-hambaNya." [Hadits Sahih Dan diriwayatkan oleh Muslim (hadits 923).] ABU BAKAR MENANGIS ATAS RASULULLAH S.A.W. Imam Bukhari berkata (hadits 1241-1242): Diriwayatkan oleh Basyar ibn Muhammad dia berkata, diriwayatkan oleh Abdullah dia berkata, diriwayatkan oleh Ma'mar dan Yunus dari Zuhri dia berkata, Abu Salamah meriwayatkan kepadaku bahwa Aisyah r.a. istri Nabi s.a.w. meriwayatkan kepadanya, dia berkata, Abu Bakar r.a. datang dengan kuda tunggangannya dari tempat tinggalnya di Sunuh lalu turun dan masuk ke dalam masjid tanpa berbicara kepada orang-orang sampai dia masuk kepada Aisyah r.a. kemudian menuju ke arah Nabi s.a.w.-dan dia sedang dibaringkan tertutup dengan jenis kain Yaman (yang mahal)-lalu dia membuka wajahnya kemudian menundukkan kepala kepadanya lalu menciumnya dan kemudian menangis. Lalu dia berkata, "(aku tebus) dengan ayahku dan ibuku kamu wahai Nabi Allah, Allah tidak mengumpulkan padamu dua kematian. Adapun kematian yang sudah dituliskan untukmu sudah kamu jalani." Abu Salamah berkata, lalu Ibnu Abbas r.a. mengabarkan kepadaku bahwa Abu Bakar r.a. keluar sedangkan Umar r.a. sedang berbicara kepada orang-orang. Lalu dia berkata, "duduklah." Dia menolak, kemudian dia berkata lagi, "duduklah." Dia menolak. Lalu Abu Bakar r.a. memberikan kesaksian sehingga orang-orang menuju ke arahnya dan meninggalkan Umar. Lalu dia berkata, "adapun setelah ini (Amma Ba'd), maka barangsiapa di antara kalian menyembah Muhammad s.a.w. maka sesungguhnya Muhammad s.a.w. telah mati dan barangsiapa menyembah Allah, sesungguhnya Allah hidup tidak mati. Allah s.w.t. berfirman, 'Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak akan mendatangkan mudarat kepada Allah sedikit pun; dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.' (QS. Ali Imrân : 144)." Maka demi Allah, sepertinya orang-orang tidak pernah mengetahui bahwa Allah menurunkan ayat ini sampai Abu Bakar membacakannya, lalu orang-orang menerima ayat ini darinya sehingga tidak terdengar seorang pun kecuali membacanya. [Hadits Sahih] TERMASUK TANGISAN YANG DIPERBOLEHKAN JUGA Imam Bukhari berkata (hadits 4433 dan 4434): Diriwayatkan oleh Yasrah ibn Shafwân ibn Jamîl al-Lakhmi dari Ibrahim ibn Saad dari ayahnya dari Urwah dari Aisyah r.a. dia berkata, Nabi s.a.w. memanggil Fatimah a. s. dalam sakitnya yang dia wafat padanya lalu dia membisikkan sesuatu sehingga dia menangis. Kemudian dia memanggilnya lalu membisikkan sesuatu sehingga dia tertawa. Lalu kami tanyakan tentang hal itu, dia menjawab, "Nabi s.a.w. membisikkan kepadaku bahwa akan dicabut nyawanya pada sakit yang dia wafat padanya sehingga aku menangis. Kemudian dia membisikkan kepadaku lalu memberitahukan bahwa aku adalah orang pertama keluarganya yang menyusul sehingga aku tertawa." [Hadits Sahih] Imam Bukhari berkata (hadits 4462): Diriwayatkan oleh Sulaiman ibn Harb dari Hamâd dari Tsâbit dari Anas dia berkata, ketika Nabi s.a.w. sakit berat membuat dia terbaring lemah, lalu Fatimah a.s. berkata, "aduhai betapa sakitnya ayah." Dia berkata kepadanya, "tidak ada sakit atas ayahmu setelah hari ini." Kemudian ketika dia sudah meninggal dunia, dia berkata, "aduhai ayah, menyambut Tuhan yang memanggilnya. Aduhai ayah, dari surga firdaus tempatnya. Aduhai ayah, kepada Jibril kami menghantarkannya." Dan ketika dimakamkan, Fatimah a.s. berkata, "Wahai Anas, apakah enak hati kalian menaburkan tanah atas Rasulullah s.a.w." [Hadits Sahih dan diriwayatkan oleh Ibnu Majah (1630) dan pada bagian akhir Hamâd berkata, lalu aku melihat Tsâbit ketika meriwayatkan hadits ini, dia menangis sampai aku melihat tulang-tulang rusuknya bergetar.] [*] [*] Al-Hafiz dalam Fathul Bâri berkata: diambil kesimpulan dari hadits bahwa boleh mengaduh karena kasihan kepada orang sakit ketika sekarat dengan seumpama ungkapan Fatimah a.s. (aduhai betapa sakitnya ayah) dan hal itu tidak termasuk sebagai meratap karena Rasulullah s.a.w. membiarkannya melakukan hal itu. Dan sedangkan ungkapannya ketika setelah diambil nyawanya (aduhai ayah.. hingga akhirnya) maka bisa diambil kesimpulan bahwa ungkapan-ungkapan itu, apabila orang yang meninggal benar-benar bersifat demikian maka tidak dilarang menyebutkannya padanya setelah dia wafat. Berbeda apabila itu yang nampak padanya sedangkan yang sebenarnya adalah sebaliknya atau dia tidak bersifat demikian maka termasuk dalam hal yang dilarang. Imam Muslim berkata (hadits 2454): Diriwayatkan oleh Zuhair ibn Harb dari Amar ibn 'Âshim al-Kilâbi dari Sulaiman ibn Mughîrah dari Tsâbit dari Anas dia berkata, Abu Bakar berkata-setelah Rasulullah s.a.w. wafat-kepada Umar, "mari berangkat ke rumah Ummu Aiman, kita mengunjunginya sebagaimana Rasulullah s.a.w. mengunjunginya." Kemudian setelah kami sampai kepadanya, dia menangis. Lalu mereka berdua berkata kepadanya, "Apa yang membuatmu menangis? apa yang di sisi Allah lebih baik bagi RasulNya s.a.w." Dia menjawab, "apa yang membuatku menangis bukan karena aku tidak tahu apa yang di sisi Allah lebih baik bagi RasulNya s.a.w., tetapi aku menangis karena wahyu telah terputus dari langit." Sehingga membuat mereka berdua tersentuh (terdorong) untuk menangis lalu mereka berdua menangis bersamanya. [Hadits Hasan] HADITS "SESUNGGUHNYA ORANG MATI DISIKSA KARENA TANGIS ORANG HIDUP" DAN PERDEBATAN YANG ADA SEPUTAR MASALAH INI A. HADITS UMAR R.A. Imam Bukhari berkata (hadits 1290): Diriwayatkan oleh Ismail ibn Khalil dari Ali ibn Mushir dari Abu Ishaq-dia adalah al-Syaibâni-dari Abu Burdah dari ayahnya dia berkata, ketika Umar r.a. tertimpa musibah, membuat Shuhaib berkata, "aduhai saudaraku." Lalu Umar berkata, "tidakah engkau mengetahui bahwa Nabi s.a.w. bersabda, 'sesungguhnya orang mati disiksa karena tangisan orang hidup." [Hadits Sahih dan dikeluarkan oleh Muslim halaman (639). Dan hadits dari Umar r.a. terdapat beberapa sanad riwayat, silahkan lihat beberapa di antaranya dalam Sahih Muslim halaman 638 dan setelahnya. ] B. HADITS AISYAH R.A. Imam Bukhari berkata (hadits 1289): Diriwayatkan oleh Abdullah ibn Yusuf dari Malik dari Abdullah ibn Abu Bakar dari ayahnya dari Umrah binti Abdurrahman meriwayatkan kepadanya bahwa dia mendengar Aisyah r.a. istri Nabi s.a.w. berkata, sesungguhnya Rasulullah s.a.w. sedang lewat pada perempuan Yahudi (meninggal) dan keluarganya menangisinya lalu dia berkata, "mereka menangisinya sedang dia sesungguhnya disiksa dalam kuburnya." [Hadits Sahih dan dikeluarkan oleh Muslim hal. (643), Turmudzi dalam Bab Jenazah hadits (1006) dan berkata, ini hadits hasan lagi sahih, dan Nasa`i (4/17).] C. REDAKSI LAIN BAGI DUA HADITS ITU SEKALIAN Imam Bukhari berkata (hadits-hadits 1286, 1287, 1288): Diriwayatkan oleh Abdân dari Abdullah dari Ibnu Juraij dia berkata, diriwayatkan oleh Abdullah ibn Ubaidullah ibn Abi Mulaikah dia berkata, Anak perempuan Ustman r.a. wafat di Makkah dan kami datang untuk menghadirinya dan hadir juga Ibnu Umar r.a. dan Ibnu Abbas r.a. dan aku duduk di antara mereka berdua-atau dia berkata, aku duduk di samping salah satu keduanya-kemudian datang orang lain lalu duduk di sampingku. Kemudian Abdullah ibn Umar r.a. berkata kepada Amar ibn Ustman, "tidakkah kamu berhenti menangis? Karena sesungguhnya Rasulullah s.a.w. bersabda, 'bahwasanya orang mati disiksa dengan tangisan keluarga atasnya." Kemudian Ibnu Abbas r.a. berkata, "sesungguhnya Umar r.a. berkata sebagian itu." Kemudian dia menceritakan (hadits), dia berkata, saya bersama Umar r.a. keluar dari Makkah sampai ketika kami berada di sahara, tiba-tiba ada rombongan dalam bayang kecoklat-coklatan. Lalu dia (Umar) berkata, "Pergilah dan lihat siapa rombongan itu." Dia berkata, lalu aku melihat ternyata Shuhaib kemudian aku beritahu kepadanya. Lalu dia berkata, "Panggil dia kemari untukku." Lalu aku kembali kepada Shuhaib dan aku katakan, "Pergilah dan temui Amirul Mu'minin." Ketika Umar tertimpa musibah, Shuhaib masuk sambil menangis dan berkata, "Aduhai saudaraku.. aduhai sahabatku." Sehingga Umar r.a. berkata, "Hai Shuhaib, apakah kamu menangisi diriku. Padahal Rasulullah s.a.w. telah bersabda, 'Sesungguhnya orang mati disiksa karena tangisan keluarganya atas dirinya??!!" Ibnu Abbas r.a. berkata, kemudian setelah Umar r.a. meninggal, aku ceritakan hal itu kepada Aisyah r.a. lalu dia berkata, "Semoga Allah merahmati Umar. Demi Allah, Rasulullah tidak menyatakan bahwa Allah menyiksa seorang mukmin karena tangisan keluarganya atas dirinya, tetapi Rasulullah s.a.w. berkata, 'sesungguhnya Allah menambah siksa orang kafir karena tangisan keluarganya atas dirinya'." Dan dia berkata, "Cukup bagi kalian al-Qur'an 'seorang yang berdosa tidak akan menanggung dosa orang lain' [(QS. Fâthir-[35]:18)]." Ibnu Abbas r.a. berkata ketika itu, "Dan Allah 'Dialah Zat yang membuat tertawa dan membuat menangis.'" Ibnu Abi Mulaikah berkata, "Demi Allah, Ibnu Umar tidak mengatakan sesuatu pun." [Hadits Sahih Dan dikeluarkan oleh Muslim halaman 641 dan Nasa`I (4/18).] Al-Allamâh Ibnu al-Qayyim dalam syarah singkatnya terhadap Sunan Abu Daud (bersama Aunul Ma'bûd, 8/400) berkata: Ini salah satu hadits yang ditolak oleh Aisyah r.a., dan ia perbaiki dan menyatakan padanya bahwa Ibnu Umar keliru. Pendapat yang benar bersama Ibnu Umar karena dia menghapalnya dan tidak melakukan kekeliruan padanya. Dan ayahnya Umar ibn Khattab meriwayatkannya dari Nabi s.a.w. dan hadits itu terdapat dalam dua kitab sahih. Dan dia disepakati oleh mereka yang hadir dari para sahabat sebagaimana Bukhari dan Muslim dalam dua kitab sahihnya meriwayatkan dari Ibnu Umar dia berkata, ketika Umar ditusuk, dia pingsan lalu ada yang berteriak karenanya. Kemudian ketika sudah sadarkan diri, dia berkata, "tidakkah kalian mengetahui bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda, 'sesungguhnya orang mati disiksa karena tangisan orang yang masih hidup." Dan mereka berdua juga meriwayatkan darinya dari Nabi s.a.w. dia bersabda, "orang mati disiksa karena ratapan atas dirinya." Dan mereka berdua juga meriwayatkan dari Abu Musa dia berkata, ketika Umar tertimpa musibah, membuat Shuhaib berkata, "aduh saudaraku." Lalu Umar berkata kepadanya, "wahai Shuhaib, tidakkah kamu mengetahui bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda, 'sesungguhnya orang mati disiksa karena tangisan orang yang masih hidup." Dan dalam kalimat lain dari riwayat mereka berdua: Umar berkata, Demi Allah aku mengetahui bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda, "Siapa yang ditangisi atas dirinya disiksa." Dan dalam dua kitab sahih dari Anas bahwasanya Umar ketika ditikam, Hafshah (histeris) meratapinya sehingga dia berkata, wahai Hafshah, tidakkah kamu mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda, "orang yang diratapi itu disiksa." Dan dalam dua kitab sahih dari Mughîrah ibn Syu'bah, saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda, "siapa yang diratapi maka dia disiksa karena ratapan atas dirinya." Maka mereka semua ini, Umar ibn Khattab, dan anaknya Abdullah, anak perempuannya Hafshah, Shuhaib, Mughirah ibn Syu'bah, semuanya meriwayatkan hadits itu dari Nabi s.a.w. dan mustahil jika mereka semua ini keliru dalam hadits. [Demikian perkataan Ibnu al-Qayyim. Dan kepadanya sedikit komentar dari sisi bahwa sebagian besar dari mereka meriwayatkan hadits dari Umar dari Rasulullah s.a.w. sebagaimana tampak jelas dari sanad-sanad riwayat hadits secara khusus dalam riwayat Muslim dan lainnya]. Dan pertentangan yang dikemukakan oleh Ummul Mukminin r.a. antara riwayat mereka dengan firman Allah, "Seorang yang berdosa tidak akan menanggung dosa orang lain." [(QS. Fâthir-[35]:18)] sama sekali tidak mesti berlaku. Dan seandainya mesti berlaku, tentu juga berlaku pada riwayatnya bahwa orang kafir ditambah siksanya oleh Allah karena tangisan keluarganya atas dirinya. Maka sesungguhnya Allah tidak menyiksa seseorang karena dosa orang lain yang tidak ada kaitan dengan dirinya. Lalu apa yang menjadi jawaban Ummul Mukminin dari cerita orang kafir adalah jawaban 'anak-anaknya' itu sendiri terhadap hadits yang ia perbaiki dan koreksi terhadap mereka. Kemudian dia menyebutkan beberapa cara penggabungan dan dia menyatakan bagus bahwa yang dimaksud dengan hadits adalah bentuk kepedihan dan tersiksa yang dialami orang mati disebabkan tangisan mereka yang masih hidup atas dirinya dan bukan maksudnya bahwa Allah menyiksanya karena tangisan mereka yang masih hidup atas dirinya. Sebab sesungghunya perasaan tersiksa termasuk jenis kepedihan yang ia dapatkan dengan orang yang dekat dengannya karena derita yang menimpanya. Dan seumpamanya sabda Nabi s.a.w. "Perjalanan (musafir) adalah sebagian dari siksa" dan ini bukan sanksi siksa atas suatu dosa tetapi adalah bentuk tersiksa dan kepedihan. Maka apabila hal tercela berupa ratapan terhadap yang mati dilakukan maka dia akan merasakan kepedihan dan bentuk tersiksa karena hal itu. Dan menunjukkan atas hal ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab sahihnya dari Nu'man ibn Basyir dia berkata, Abdullah ibn Rawâhah tidak sadarkan diri sehingga membuat saudarinya menangis (dan berkata), aduhai 'beratnya' dan begini begitu dia meratapi atas dirinya. Ketika sudah sadarkan diri dia berkata, "kamu tidak mengatakan sesuatu kecuali telah disampaikan kepadaku bahwa kamu begitu..?! dan telah lewat sabda Nabi s.a.w. dalam hadits Abdullah ibn Tsâbit, "apabila telah meninggal dunia maka jangan ada seorangpun menangis." Dan ini paling sahih sesuatu yang dikemukakan dalam hadits. Demikian perkataan Ibnu al-Qayyim. Dan ini sebagai tambahan dalam penggabungan antara hadits-hadits (hadits Umar r.a. dan hadits Aisyah r.a.) dan beberapa cara dan metode yang ditempuh oleh para Ulama dalam masalah ini. Mereka mengemukakan beberapa pendapat dalam masalah ini, kami kemukakan yang paling masyhur di antaranya secara singkat: Pertama, pendapat yang dikemukakan oleh jumhur ulama bahwa orang yang disiksa karena tangisan keluarga atasnya adalah dia yang berwasiat agar ditangisi dan diratapi setelah kematiannya lalu dilaksanakan wasiatnya. Maka ini yang disiksa karena tangisan dan ratapan keluarganya atas dirinya karena hal itu disebabkan olehnya dan terkait dengannya. Mereka mengatakan, adapun orang yang ditangisi dan diratapi oleh keluarganya bukan dengan wasiat darinya maka ini tidak disiksa karena firman Allah s.w.t. "seorang yang berdosa tidak akan menanggung dosa orang lain." [(QS. Fâthir-[35]:18)] Mereka mengatakan, kebiasaan orang Arab adalah memberi wasiat untuk melakukan hal itu. Seperti perkataan Tharfah ibn 'Abd: Apabila aku mati maka ratapilah aku karena aku layak diratap dan robeklah kantong pakaian atasku wahai anak perempuan Ma'bad (syair). Imam Nawawi menisbatkan pendapat ini kepada jumhur ulama (Syarah Muslim, 2/589). Kedua, pendapat Bukhari ketika dia memberi judul bab dengan: Bab sabda Nabi s.a.w. "Orang mati disiksa karena sebagian tangisan keluarganya atas dirinya," apabila meratap termasuk dari sunnahnya (tradisi dan sesuatu yang dicontohkan) karena firman Allah s.w.t., "peliharalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka" [(QS. Al-Tahrîm-[66]:6)] Dan Nabi s.a.w. bersabda, "setiap kalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas apa yang ia pimpin." Maka apabila tidak termasuk tradisinya maka sebagaimana pendapat Aisyah r.a. "Seorang yang berdosa tidak akan menanggung dosa orang lain." [(QS. Fâthir-[35]:18)] Dan seperti firman Allah s.w.t. "Dan jika seseorang yang berat dosanya memanggil (orang lain) untuk memikul dosanya itu tiadalah akan dipikulkan untuknya sedikit pun" [(QS. Fâthir-[35]:18)] dan apa yang diperbolehkan berupa tangisan tanpa ratapan. Dan Nabi s.a.w. bersabda, "Tidaklah suatu jiwa dibunuh secara zhalim kecuali atas anak Adam pertama ada bagian dari darahnya." Karena dia orang yang pertama kali memberi contoh pembunuhan. ** Barangkali dari pendapat ini kesimpulan yang diambil oleh Syaikh Albani ketika mengatakan bahwa mayit disiksa karena dia tidak mau menasihati keluarganya dan tidak berwasiat agar mereka tidak menangisi kematiannya. (penafsiran pertama dari Syaikh Albani). Sedangkan pendapat Bukhari ini adalah seorang mayit itu disiksa atas tangisan keluarganya apabila dia yang mentradisikan hal tersebut. Atau dengan kata lain pendapat Bukhari ini mengambil hadis "man sanna sunnatan hasanatan (hadis selengkapnya)" yaitu "... Siapa yang mensunnahkan sesuatu yang buruk, maka dia mendapatkan dosa dan dosa orang yang melakukannya (mengikuti tradisi buruknya itu)." Hal itu sangat jelas pada pengungkapan Bukhari terhadap hadis yang terakhir. Ketiga, Dia disiksa sebanding dengan ukuran tangisan keluarganya atas dirinya. Karena perbuatan-perbuatan yang mereka sebut-sebut atas dirinya pada biasanya adalah perbuatan-perbuatan terlarang lalu mereka memujinya dengan perbutan-perbuatan itu sedang dia disiksa karena perbuatannya tersebut, yaitu sesuatu yang mereka puji-puji itu. Keempat, bahwa yang dimaksud adalah bentuk kepedihan orang yang mati karena apa yang dilakukan oleh keluarganya. Kelima, dia disiksa karena lalai dalam mengajarkan keluarganya sehingga menyebabkan mereka melakukan hal itu. Maka dia bertanggung jawab atas orang yang ia pimpin. *** Dan lebih tepatnya, pendapat Syaikh Albani pada penafsirannya yang pertama sangat dekat dengan pendapat yang kelima ini. Dan masih terdapat banyak lagi pendapat disebutkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bâri (3/154-155), Ibnu al-Qayyim dalam syarah singkatnya terhadak Sunan Abu Daud, dan Nawawi dalam Syarah Muslim (2/589), siapa yang ingin penjelasan tambahan silahkan merujuk kesana. Catatan: Imam Nawawi mengutip (Syarah Muslim, 2/590) kesepakatan ijma bahwa yang dimaksud dengan tangisan dalam hadits ini adalah tangisan dengan suara dan ratapan. Dia berkata, dan mereka semua sepakat secara ijma dengan segala perbedaan mazhab mereka bahwa yang dimaksud dengan tangisan di sini adalah tangisan dengan suara dan ratapan bukan semata-mata air mata. HARAM MENAMPAR PIPI, MEROBEK-ROBEK SAKU DAN MENYERU DENGAN SERUAN JAHILIAH Imam Bukhari berkata (1294): Diriwayatkan oleh Abu Nuaim dari Sufyan dari Zubaid al-Yâmi dari Ibrahim dari Masrûq dari Abdullah r.a. dia berkata, Rasulullah s.a.w. bersabda, "bukan termasuk golongan kami [*] orang yang menampar pipi, merobek saku, dan menyeru dengan seruan Jahiliah." [**] [Hadits Sahih Dan dikeluarkan oleh Bukhari pada beberapa tempat dalam kitab sahihnya, dan Muslim hal. (299/1), Nasa`I (4/21), Turmudzi dalam bab Jenazah hadits (999) dan dia berkata, ini hadits hasan lagi sahih, dan Ibnu Majah hadits (1584).] [*] Al-Hafizh dalam Fathul Bâri berkata: perkataannya (bukan termasuk golongan kami) yaitu bukan termasuk pengikut sunnah dan jalan kami dan bukan maksudnya dia keluar dari agama. Tetapi kegunaan pernyataan dengan kata ini untuk menunjukkan hal yang bersangatan dalam mengancam agar tidak terjatuh dalam perbuatan seperti itu sebagaimana seorang laki-laki berkata kepada anaknya ketika dia mencelanya aku bukan darimu dan kamu bukan dariku, yakni kamu bukan pengikut jalanku. Dan Zain ibn Munir berkata dimana kesimpulannya adalah takwil pertama menuntut bahwa 'khabar' hanya terdapat dari sesuatu yang eksis dan ini dipelihara perkataan Pembuat ketetapan dari tafsiran itu dan lebih bagus dikatakan bahwa yang dimaksud adalah pelaku hal-hal tersebut beresiko untuk dijauhi dan tinggalkan sehingga tidak bisa berbaur pengikut sunnah sebagai sanksi mendidik baginya karena dia melakukan perbuatan jahiliah yang dicela oleh Islam. Maka ini lebih utama daripada ditafsirkan atas sesuatu yang tidak bisa diambil suatu faidah yang lebih dari perbuatan yang ada. Dan disebutkan dari Sufyan bahwa dia membenci terlalu jauh dalam mentakwilkannya dan dia berkata: semestinya untuk berhenti dari penakwilan itu agar lebih mengena sasaran dalam jiwa dan lebih mendalam ancaman yang diberikan. Dan dikatakan, maknanya tidak berada dalam agama kami secara sempurna yakni dia telah keluar dari salah satu cabang dari cabang-cabang agama dan walaupun bersamanya masih ada fondasi dasar (ashal) agama, disebutkan oleh Ibnu al-Arabi. Dan yang zahir menurut saya, bahwa pengeluaran ini ditafsirkan oleh berlepas diri yang terdapat dalam hadits Abu Musa, dia berkata, dan Rasulullah s.a.w. berlepas diri darinya. Dan asli makna berlepas diri adalah berpisah dari sesuatu dan sepertinya dia mengancam tidak akan memasukkan dalam kelompok orang yang menerima syafaatnya misalnya. Sedangkan Muhlab berkata, saya berlepas diri yaitu dari orang yang melakukan apa yang disebutkan waktu perbuatan itu dilakukan dan bukan bermaksud mengeluarkannya dari Islam. Syaikh Mushtafa al-Adawi menegaskan, antara dua pendapat itu terdapat pendapat penengah yang diketahui dari penjelasan yang telah lewat pada awal pembahasan. Dan ini menunjukkan atas pengharaman apa yang disebutkan berupa merobek-robek saku (pakaian) dan selainnya. Dan sepertinya sebab pelarangan adalah karena perbuatan-perbutan itu mengandung ketidakrelaan terhadap ketentuan (Qadha) dan apabila terjadi pernyataan tegas hal itu dibolehkan padahal ia mengetahui itu diharamkan atau dibenci misalnya dengan apa yang terjadi maka tidak ada halangan menafsirkan makna pengeluaran itu sebagai keluar dari agama. [**] Seruan jahiliah yaitu meratapi, histeris menyesali orang mati dan menyeru-nyeru dengan kata-kata celaka. Demikian dikutip oleh Nawawi dari 'Iyâdh. Imam Muslim berkata (hadits 104): Diriwayatkan oleh Hakam ibn Musa al-Qanthari dari Yahya ibn Hamzah dari Abdurrahman ibn Yazid ibn Jabir bahwa Qâsim ibn Mukhaimirah meriwayatkan kepadanya, dia berkata diriwayatkan oleh Abu Burdah ibn Abu Musa dia berkata, Abu Musa menderita sakit sehingga tidak sadarkan diri dan kepalanya dalam pangkuan seorang wanita dari keluarganya. Lalu seorang wanita dari keluarganya berteriak dan dia tidak sanggup untuk mengatakan sesuatu kepadanya. Maka ketika sudah sadarkan diri dia berkata, "Aku berlepas diri dari apa yang Rasulullah s.a.w. berlepas diri darinya maka sesungguhnya Rasulullah s.a.w. berlepas diri dari wanita yang menyaringkan suaranya, wanita yang menggundul kepalanya , dan wanita yang merobek-robek pakainnya. " [*] [Hadits Sahih Dan dikeluarkan oleh Bukhari sebagai penjelasan tambahan (hadits 1296)] [*] Shâliqah yaitu wanita yang menyaringkan suaranya ketika tertimpa musibah, hâliqah yaitu wanita yang menggundul kepalanya ketika tertimpa musibah, dan syâqqah yaitu wanita yang merobek-robek pakaiannya ketika terjadi musibah. Dan dalam suatu riwayat Imam Muslim dari sanad Abdurrahman ibn Yazid dan Abu Burdah mereka berdua berkata, Abu Musa tidak sadarkan diri lalu istrinya Ummu Abdillah datang berteriak histeris. Mereka berdua berkata (perawi), kemudian dia sadarkan diri dan berkata, "tidakkah kamu mengetahui (dia berbicara kepadanya) bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda, Aku berlepas diri dari orang yang menggundul kepala, menyaringkan suara, dan orang yang merobek-robek." Wassalam Aman ----- Original Message ----- From: "fisip_99" <[EMAIL PROTECTED]> To: <wanita-muslimah@yahoogroups.com> Sent: Monday, February 20, 2006 5:13 AM Subject: [wanita-muslimah] Re: Hadits Shahih tidak mungkin bertentangan dengan Al-Qur`an > Wah..wah lucu juga tafsiran hadist diatas. Koq sangat dipaksakan > sekali ya. Coba misalkan kita sudah rajin ibadah... lalu belum sempat > atau kelupaan bilang ke keluarga kalo mati nanti jangan ditangisi eh.. > ndilalah kita meninggal mendadak, karena kita gak tau kapan kita mati. > lalu akhirnya kita disiksa kubur gara2 kelupaan bilang ke keluarga > supaya jangan nangisi jenazah. Benar2 tidak adil... n > > Kalau saya pribadi sangat berhati2 dengan hadist. Bukhari-muslim itu > kan lahir 200 tahun setelah Nabi SAW wafat. Bagaimana bisa dijamin > hadist2 itu semua? Hanya ayat Quran yang dijamin oleh Allah. > > Contohnya bisa kita lihat PESAN BERANTAI. Coba kita ucapkan 10 kalimat > saja, kemudian sebarkan satu persatu hingga orang yang ke 10. Hampir > bisa dipastikan kalimatnya tidak akan 100% tepat dan maknanya pun > belum tentu dimengerti oleh masing2 10 orang tsb, meski ke 10 orang > itu berahlak yang baik. > > Ingatan saja tidak cukup. Yang lebih penting malah justru > penafsirannya. Coba kalau dosen mengajar ilmu tauhid di kelas sebanyak > 20 orang. Berapa persen dari mereka yang mampu menangkap 100% makna > yang diucapkan si dosen? belum lagi jika ucapan dosen tsb harus > diwariskan dari mulut ke mulut selama 2-3 abad kemudian.. apakah > maknanya masih sama? > > Lah memangnya sebelum lahir bukhari-muslim tidak ada orang yang lebih > hebat dari mereka dalam hal hadist? > > Saya tidak mau taklid kepada ulama krn kalo saya mati ulama yang saya > ikutipun gak akan menemani apalagi bertanggung jawab. Kalo ada hadist > yang bertentagan dengan Quran ya jelas harus dibuang atau ditafsirkan > ulang. Wong nabi saja melarang hadist itu dibukukan koq. Dalam shoheh > muslim, nabi mengatakan : "ucapanku jangan kalian catat, jika sudah > dicatat maka hapuslah. Hanya al Quran saja yang boleh dicatat". > > Ucapan nabi diatas, 300 tahun kemudian ditafsirkan banyak ulama bahwa > perkataan nabi diatas hanya berlaku selama nabi hidup untuk mencegah > tercampurnya dgn Quran. Akhirnya dibukukanlah hadist besar2an... > terbukti umat islam setelah itu mengalami kemunduran, mengalami > kebekuan dalam menafsirkan Al Quran. Al Quran yang seharusnya bisa > ditafsirkan sesuai perkembangan jaman malah harus ditafsirkan sesuai > jaman abad ke 7 masehi. Mau menciptakan mobil eh.. di hadist nabi > tidak ada dan malah disuruh belajar berkuda. Akhirnya orang non muslim > dulu yang menciptakan mobil. Mau pergi ke bulan... ah tidak > dicontohkan bnabi, maka orang AS dan Rusia yang ke sana duluan. > Barulah setelah itu umat islam bikin buku yang menyatakan bahwa > manusia bisa pergi kebulan dgn menyebut bbrp dalil. Akhirnya kita > menang dalil.. > > Kita ternyata lebih mengandalkan ayat kitabiyah. Malah ayat kauniyah > (alam semesta) dilupakan. Memangnya ayat2 Allah itu cuma di kitab yang > tertulis saja? > > Menafsirkan Quran menurut saya harus dengan Quran bukan dengan hadist. > Namun menafsirkan dgn hadist boleh saja asal tidak bertentangan dgn > Quran. Kalau sudah bertentangan ya buat apa dipertahankan hanya karena > bukhari-muslim? Saya pribadi menghormati beliau dan saya tetap > menggunakan hadist mereka sepanjang tidak bertentangan dgn Quran. > > > --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "Rudyanto Arief" <[EMAIL PROTECTED]> > wrote: >> >> Syaikh Al-Bany ditanya: >> Ada sebagian orang yang berkata bahwa apabila terdapat sebuah hadits > yang >> bertentangan dengan ayat Al-Qur'an maka hadits tersebut harus kita > tolak >> walaupun derajatnya shahih. Mereka mencontohkan sebuah hadits : > Sesungguhnya >> mayit akan disiksa disebabkan tangisan dari keluarganya. Mereka > berkata >> bahwa hadits tersebut ditolak oleh Aisyah Radliyallahu 'anha dengan > sebuah >> ayat dalam Al-Qur'an surat Fathir ayat 18: Seseorang tidak akan > memikul dosa >> orang lain.Bagaimana kita membantah pendapat mereka ini ? >> >> Jawaban: >> Mengatakan ada hadits shahih yang bertentangan dengan Al-Qur'an > adalah >> kesalahan yang sangat fatal. Sebab tidak mungkin Rasulullah > Shalallahu >> 'alaihi wa sallam yang diutus oleh Allah memberikan keterangan yang >> bertentangan dengan keterangan Allah yang mengutus beliau (bahkan > sangat >> tidak mungkin hal itu terjadi). >> >> Dari segi riwayat/sanad, hadits di atas sudah tidak terbantahkan > lagi >> ke-shahih-annya. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Umar, Umar > bin >> Khattab dan Mughirah bin Syu'bah, yang terdapat dalam kitab hadits > shahih >> (Bukhari dan Muslim). >> >> Adapun dari segi tafsir, hadits tersebut sudah ditafsirkan oleh para > ulama >> dengan dua tafsiran sebagai berikut : >> 1.Hadits tersebut berlaku bagi mayit yang ketika hidupnya dia > mengetahui >> bahwa keluarganya (anak dan istrinya) pasti akan meronta-ronta > (nihayah) >> apabila dia mati. Kemudian dia tidak mau menasihati keluarganya dan > tidak >> berwasiat agar mereka tidak menangisi kematiannya. Orang seperti > inilah yang >> mayitnya akan disiksa apabila ditangisi oleh keluarganya. >> >> Adapun orang yang sudah menasihati keluarganya dan berpesan agar > tidak >> berbuat nihayah, tapi kemudian ketika dia mati keluarganya masih > tetap >> meratapi dan menangisinya (dengan berlebihan), maka orang-orang > seperti ini >> tidak terkena ancaman dari hadits tadi. >> >> Dalam hadits tersebut, kata al-mayyit menggunakan hurul alif lam > (isim >> ma'rifat) yang dalam kaiah bahasa Arab kalau ada isim (kata benda) > yang di >> bagian depannya memakai huruf alif lam, maka benda tersebut tidak > bersifat >> umum (bukan arti dari benda yang dimaksud). Oleh karena itu, kata > mayit >> dalam hadits di atas adalah tidak semua mayit, tapi mayit tertentu > (khusus). >> Yaitu mayit orang yang sewaktu hidupnya tidak mau memberi nasihat > kepada >> keluarganya tentang haramnya nihayah. >> >> Demikianlah, ketika kita memahami tafsir hadits di atas, maka kini > jelaslah >> bagi kita bahwa hadits shahih tersebut tidak bertentangan dengan > bunyi >> ayat:Seseorang tidak akan memikul dosa orang lain. >> Karena pada hakikatnya siksaan yang dia terima adalah akibat > kesalahan/dosa >> dia sendiri yaitu tidak mau menasihati dan berdakwah kepada > keluarga. Inilah >> penafsiran dari para ulama terkenal, di antaranya Imam An-Nawawi. >> >> 2.Adapun tafsiran kedua adalah tafsiran yang dikemukakan oleh > Syaikhul Islam >> Ibnu Taimiyah Rahimahullah di beberapa tulisan beliau bahwa yang > dimaksud >> dengan azab (siksaan) dalam hadits tersebut adalah bukan adzab kubur > atau >> azab akhirat melainkan hanyalah rasa sedih dan duka cita. Yaitu rasa > sedih >> dan duka ketika mayit tersebut mendengar rata tangis dari > keluarganya. >> >> Tapi menurut saya (Syaikh Al-Albani), tafsiran seperti itu > bertentangan >> dengan beberapa dalil. Di antaranya adalah hadits shahih riwayat > Mughirah >> bin Syu'bah:Sesungguhnya mayit itu akan disiksa pada hari kiamat > disebabkan >> tangisan dari keluarganya. >> >> Jadi menurut hadits ini, siksa tersebut bukan di alam kubur tapi di > akhirat, >> dan siksaan di akhirat maksudnya adalah siksa neraka, kecuali > apabila dia >> diampuni oleh Allah, karena semua dosa pasti ada kemungkinan > diampuni oleh >> Allah kecuali dosa syirik.Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala : > Sesungguhnya >> Allah tidak akan mengampuni dosa-dosa syirik dan Dia mengampuni > segala dosa >> yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. (QS. >> An-Nisa' : 48). >> >> Banyak hadits-hadits shahih dan beberapa ayat Al-Qur'an yang > mengatakan >> bahwa seorang mayit itu tidak akan mendengar suara orang yang masih > hidup >> kecuali saat tertentu saja. Di antaranya (saat-saat tertentu itu) > adalah >> hadits riwayat Bukhari dari shahabat Anas bin Malik Radliyallahu >> 'anhu:Sesungguhnya seorang hamba yang meninggal dan baru saja > dikubur, dia >> mendengar bunyi terompah (sandal) yang dipakai oleh orang-orang yang >> mengantarnya ketika mereka sedang beranjak pulang, sampai datang > kepada dia >> dua malaikat. Kapan seorang mayit itu bisa mendengar suara sandal > orang yang >> masih hidup? Hadits tersebut menegaskan bahwa mayit tersebut hanya > bisa >> mendengar suara sandal ketika baru saja dikubur, yaitu ketika ruhnya > baru >> saja dikembalikan ke badannya dan dia didudukkan oleh dua malaikat. > Jadi, >> tidak setiap hari mayit itu mendengar suara sandal orang-orang yang > lalu >> lalang di atas kuburannya sampai hari kiamat. Sama sekali tidak ! >> >> Seandainya penafsiran Ibnu Taimiyyah di atas benar, bahwa seorang > mayit itu >> bisa mendengar tangisan orang yang masih hidup, berarti mayit > tersebut bisa >> merasakan dan mendengar apa yang terjadi di sekelilingnya, baik > ketika dia >> sedang diusung atau dia dimakamkan, sementara tidak ada satupun > dalil yang >> mendukung pendapat seperti ini. >> >> Hadits selanjutnya adalah:Sesungguhnya Allah mempunyai malaikat- > malaikat >> yang bertugas menjelajah di seluruh permukaan bumi untuk > menyampaikan >> kepadaku salam yang diucapkan oleh umatku. >> Seandainya mayit itu bisa mendengar, tentu mayit Rasulullah > Shalallahu >> 'alaihi wa sallam lebih dimungkinkan bisa mendengar. Mayit beliau > jauh lebih >> mulia dibandingkan mayit siapapun, termasuk mayit para nabi dan > rasul. >> Seandainya mayit beliau Shalallahu 'alaihi wa sallam bisa mendengar, > tentu >> beliau mendengar salam dari umatnya yang ditujukan kepada beliau dan > tidak >> perlu ada malaikat-malaikat khusus yang ditugasi oleh Allah untuk >> menyampaikan salam yang ditujukan kepada beliau. >> >> Dari sini kita bisa mengetahui betapa salah dan sesatnya orang yang >> ber-istighatsah (minta pertolongan) kepada orang yang sudah > meninggal, >> siapapun dia. Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam adalah orang > yang >> paling mulia di sisi Allah dan beliau tidak mampu mendengar suara > orang yang >> masih hidup, apalagi selain beliau. Hal ini secara tegas diterangkan > oleh >> Allah dalam Al-Qur'an surat Al-A'raf ayat 194: Sesungguhnya yang > kalian seru >> selain Allah adalah hamba juga seperti kalian.Juga di dalam surat > Fathir >> ayat 14 :Jika kalian berdo'a kepada mereka, maka mereka tidak akan > mendengar >> do'a kalian. >> >> Demikianlah, secara umum mayit yang ada di dalam kubur tidak bisa > mendengar >> apa-apa kecuali saat-saat tertentu saja. Sebagaimana yang sudah > diterangkan >> dalam beberapa ayat dan hadits di atas. >> >> Dikutip dari Kaifa yajibu 'alaina annufasirral qur'anil karim edisi > bahasa >> Indonesia Tanya Jawab dalam Memahami Isi Al-Qur'an >> > > > > > > > > > > Milis Wanita Muslimah > Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat. > Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com > ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages > Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com > Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED] > Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com > Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com > > This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... > Yahoo! Groups Links > > > > > > > > > ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Join modern day disciples reach the disfigured and poor with hope and healing http://us.click.yahoo.com/lMct6A/Vp3LAA/i1hLAA/aYWolB/TM --------------------------------------------------------------------~-> Milis Wanita Muslimah Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat. Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED] Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/