Pak MQ, Alhamdulillah komputer saya hari ini sudah membaik setelah MB-nya sempat macet karena saluran listrik yang tidak stabil, tetapi power suplynya harus diganti juga. Sekarang kita kembali ke dalam persoalan. Raka'at dalam shalat seingat saya tidak lagi dicarikan keterkaitan istimewanya karena hal itu sudah merupakan bagian dari shalat. Kedudukannya sudah lebih dari istimewa. Sebagaimana pada postingan dahulu sudah saya jelaskan sedikit tentang hukum taklifi maka sekarang kita juga harus mengingat kembali beberapa hukum lain yang berkaitan dengan hukum taklifi ini. Yaitu yang dikenal dengan nama syuruth, asbab, dan mawani'. Contoh dalam shalat adalah berwudhu, masuk waktu, dan suci.
Syarat adalah hal-hal yang kesahihan suatu pekerjaan tergantung padanya dan bukan bagian dari pekerjaan itu sendiri. Berwudhu bukanlah pekerjaan shalat, tapi shalat tidak sah apabila tidak suci dari hadas. Maka berwudhu merupakan salah satu syarat untuk pekerjaan shalat. Shalat subuh tidak sah apabila dikerjakan di tengah malam. Maka masuk waktu untuk subuh merupakan "sebab" (saya beri tanda kutip bahwa yang dimaksud adalah sebab istilahi) terhadap wajibnya shalat dan otomatis menjadi syarat untuk pekerjaan shalat. Haid pada wanita adalah salah satu mawani' terhadap pelaksanaan shalat. Maka suci dari haid adalah syarat pekerjaan shalat. Semua perkara yang kita sebutkan dalam contoh bukanlah pekerjaan shalat, yaitu sesuatu di luar pekerjaan shalat tetapi mempunyai "hubungan sangat istimewa" dengan shalat. Sedangkan hal-hal yang secara langsung merupakan bagian dari pekerjaan shalat, sesuai dengan posisinya masing-masing diistilahkan nama tersendiri. Ada yang disebut dengan rukun shalat yaitu hal-hal yang fardhu dalam pekerjaan shalat, dan ada sunnah-sunnah shalat. Hal-hal yang wajib dalam shalat ini apabila tidak dilaksanakan salah satunya atau bahkan tidak sempurna sesuai ukuran minimalnya maka shalatnya tidak sah. Dan kita tidak mengatakan bahwa shalatnya menjadi haram hukumnya. Jika shalat yang tidak sah tersebut dibiarkan saja dan pelakunya tidak mengerjakan kembali shalat yang sah, maka tidak mengerjakan shalat ini yang kita sebut haram. Jika logika MQ ini yang dimasukkan ke dalam Fiqih dan Ushul Fiqih maka betapa banyaknya orang yang mengerjakan shalat sesungguhnya mereka mengerjakan yang haram dan berdosa. Jika shalat hanya sebagai salah satu contoh dalam masalah ini, maka betapa banyaknya orang mengerjakan kewajiban sekaligus mengerjakan sesuatu yang haram dan berdosa. Apalagi jika kita ukur mazhab permazhab. Niat menurut Syafi'iyah misalnya adalah salah satu rukun shalat. Seorang pengikut Syafi'i telah melakukan sesuatu yang haram dan berdosa karena shalat tanpa niat. Bahkan belum lagi jika ke bagian yang lebih mendalam tentang persyaratan dalam niat seperti pembahasan ta'arrudh ta'yin; apakah niatnya sudah sah sesuai syarat atau tidak. Hal paling maksimal yang pernah saya baca di dalam kitab-kitab fiqh dan ushul fiqih bahwa para ulama menyebutkan shalatnya tidak sah atau shalatnya batal. Dan mereka tidak pernah menyimpulkan sesuatu hukum terhadap shalat tersebut, apalagi dengan menyebutnya sebagai pekerjaan yang haram. Kemudian karena shalat yang tidak sah tersebut apakah pelaku melakukan kembali shalatnya atau tidak, sudah tidak ada hubungan dengan pekerjaan shalatnya yang tidak sah sebelumnya. Dan kita tidak memberikan kesimpulan hukum terhadap shalat yang tidak sah tersebut sebagai haram. Sebutan yang dikenal pada pelaku tersebut adalah kewajiban shalat masih ada dalam tanggungannya, atau kalau MQ baca bahasa Arabnya, al-wujub ma zaala fi dzimmatihi wa laa yasquthu 'anhu. Jadi, saya harap bisa lebih dimengerti apa yang saya maksud dengan "keterkaitan istimewa" tersebut. Saya tidak menggunakan istilah keterkaitan pada hal-hal yang merupakan bagian dari pekerjaan tersebut. "Keterkaitan sangat istimewa" adalah hal-hal yang di luar dari pekerjaan tersebut tetapi terkait erat dengan pekerjaan tersebut baik sebagai syarat, sebab, atau mawani'. Dan bagian ini ditentukan dengan nash atau dalil. Sedangkan "keterkaitan istimewa" adalah hal-hal di luar pekerjaan tersebut, tetapi secara nalar atau logika mempunyai pertautan kuat dengan pekerjaan tersebut. Dan bagian ini sangat banyak di dalam masalah yang berkaitan dengan qiyas secara khusus lagi "qiyas khafi". Karena itu, logika yang digunakan oleh MQ bahwa shalat subuh 3 raka'at mempunyai keterkaitan khusus/istimewa tidak bisa dinalar; keterkaitan antara apa dengan apa? Kalau konteknya adalah memberikan tanggapan terhadap penjelasan saya sebelumnya, maka satu-satunya konklusi dari logika ini adalah shalat subuh 3 raka'at secara otomatis (yaitu dalam bahasa fiqih dan ushul fiqih yang saya gunakan adalah ghalabat al-zhan) meninggalkan shalat subuh. Dan karena itu, menurut MQ, maka shalat subuhnya 3 raka'at tersebut hukumnya haram. Dan karena itu pula dalam tanggapan ini, MQ menggunakan kata "digantikan" untuk memperkuat kasus yang dia maksud dalam shalat subuh tersebut. Bukankah begitu, Pak? Dan inilah yang masuk dalam pembahasan keterkaitan ini karena jika yang dimaksud dengan keterkaitan tersebut adalah antara shalat dan jumlah raka'at, maka sudah tidak disebut keterkaitan lagi karena raka'at merupakan bagian dari pekerjaan shalat itu sendiri sebagaimana dijelaskan di atas. Sekarang, apakah orang yang mengerjakan shalat subuh 3 raka'at itu otomatis meninggalkan shalat subuh? Ini pembahasan keterkaitan istimewa yang saya maksud. Dan sebagai penggambaran sederhana dalam masalah ini saya berikan contoh dengan tidur (secara umum) dan tidur menjelang waktu shalat. Dalam pandangan saya, tidak ada keterkaitan istimewa antara mengerjakan shalat subuh 3 raka'at dengan meninggalkan shalat subuh. Artinya, tidak secara otomatis (yakni tidak ada ghalabat al-zhan) mengerjakan shalat subuh 3 raka'at itu berarti meninggalkan shalat subuh. Tidak secara otomatis orang yang tidak sah shalatnya pasti meninggalkan shalat. Dan karena itu, setiap pekerjaan tersebut tetap pada aslinya (baqiya 'ala ashlihi). Pekerjaan shalat subuh 3 raka'at adalah tidak sah (dan hukum asli di sini pun berlaku jika pelaku mengetahui dengan sadar dan yakin hal tersebut. Apabila tidak demikian, maka yang berlaku adalah shalatnya sah meskipun dia ragu setelah selesai shalat karena al-yaqinu la yazuulu bisy syak [itu kaidah ushul fiqhnya dari kaidah-kaidah utama yang lima]) dan pekerjaan meninggalkan shalat subuh adalah haram. Berbeda dengan tidur menjelang waktu shalat dalam ukuran ghalabat al-zhan bahwa waktu "menjelang" tersebut membuatnya meninggalkan shalat, maka tidurnya tersebut dihukumkan haram. Dan itu tidak berlaku pada "tidur" secara mutlak atau makna umum tidur karena tidak ada keterkaitannya dengan meninggalkan shalat. Sekarang, jika MQ masih ingin memberikan bantahan, maka bisa dijelaskan bagian mana yang konkrit yang bisa digunakan sebagai ukuran standar bahwa mengerjakan shalat subuh 3 raka'at itu berarti meninggalkan shalat subuh. Dalam pandangan saya, satu-satunya unsur yang bisa dijadikan ukuran standar adalah keyakinan pelaku saja. Artinya orang yang melakukan shalat subuh 3 raka'at berkeyakinan bahwa jumlah raka'at subuh itu 3 raka'at. Dan karena adanya keyakinan dan pandangan tersebut, maka sudah dipastikan dia tidak mengerjakan shalat subuh lagi karena 3 raka'at yang ia kerjakan itu menurutnya sudah sah. Karena hal ini berupa keyakinan dan pandangan, maka hal ini adalah subyektif dan bersifat parsial pada orang per orang saja. Dan oleh karena itu, hal ini tidak bisa dijadikan hukum standar bahwa orang yang melakukan shalat subuh 3 raka'at itu berarti mengerjakan shalat subuh yang haram. Demikian, Wassalam Aman ----- Original Message ----- From: "H. M. Nur Abdurrahman" <[EMAIL PROTECTED]> To: <wanita-muslimah@yahoogroups.com> Sent: Thursday, February 23, 2006 6:33 PM Subject: Re: [wanita-muslimah] Re: Kekerasan pada anak: kisah Nabi mengorbankan anak. > Aman FatHa: > Tidur tidak punya keterikatan istimewa dengan "meninggalkan shalat subuh", > bisa saja dia terbangun dalam waktu. Dan kita tidak bisa mengatakan hukum > tidur itu haram dengan spekulasi "sedangkan ia tidak mengerjakan shalat > subuh." > ============================================ > MQ: > Ahsantum, tidur tidak punya keterkaitan istimewa dengan meninggalkan > shalat shubuh, jadi bisa spekulasi.. Akan tetapi lain halnya dengan shalat > shubuh 3 raka'at, itu punya keterkaitan khusus/istimewa, yaitu shalat > shubuh 2 raka'at digantikan oleh shalat shubuh 3 raka'at, sehingga itu > bukan spekulasi. > Ana bisa beri contoh juga tentang keterkaitan yang spekulatif. Ana bisa > jawab sekarang karena malam Jum'at. Tetapi bisa saja ana punya urusan > penting, sehingga pada hari Rabu ana ke rumah Abah sebelum malam Jum'at. > Di sini kaitan antara hari Rabu dengan menjawab antum itu spekulatif, jadi > tidak punya kaitan khusus/istimewa. > Wassalam > > ----- Original Message ----- > From: Aman FatHa > To: wanita-muslimah@yahoogroups.com > Sent: Saturday, February 18, 2006 03:17 > Subject: Re: [wanita-muslimah] Re: Kekerasan pada anak: kisah Nabi > mengorbankan anak. > > > > Aman FatHa: > > Orang yang shalat subuh tidak dua raka'at bukanlah pekerjaan haram. Dia > > tidak berdosa melakukannya, tapi yang benar adalah tidak sah. Jadi itu > > bukan perbuatan haram. > > ================================ > > MQ: > > Baru sempat membuka PC-nya Abah, hanya boleh keluar pesantren hari > Jum'at. > > Begini, kalau si A shalat shubuh 3 raka'at, shalatnya tidak shah. > Karena > > shalat shubuhnya A tidak shah, sedangkan ia tidak lagi mengerjakan > shalat > > shubuh 2 raka'at yang shah, berarti A meninggalkan yang wajib, dan itu > > hukumnya haram. Dengan demikian perbuatan A shalat subuh 3 raka'at itu > > hukumnya haram, karena menjadi penyebab A berbuat haram dengan > > meninggalkan shalat shubuh 2 raka'at yang hukumnya wajib. > > Wassalam > > > Aman FatHa: > Ini sih namanya berkilah, bukan membicarakan hukum suatu masalah. Orang > meninggalkan shalat itu ya tetap aja haram, apakah disebabkan dia shalat > salah raka'at secara sengaja atau sebab-sebab lainnya. Apakah penyebab > itu > otomatis menjadi haram? Tidak juga. Dalam bahasa fiqh untuk menemukan > keterkaitan itu harus dilihat mazhan hukumnya dan itu tidak bersifat > spekulatif, atau menggunakan istilah ushul fiqh secara global disebut > dengan > tahqiq al-manath. Makanya, pembicaraan fikih dan ushul fikih tidak > seperti > yang MQ gambarkan ini; dicarikan seluk beluknya biar kena. > > Sebagai contoh: kita sudah sepakat karena memang sudah hukum yang > bersifat > qath'i bahwa shalat subuh itu wajib. Karena qath'i, maka tidak ada > perbedaan > pendapat tentang kewajiban ini. Dalam Ushul Fiqih dikenal rumusan > "al-Amru > bisy-Syai`i nahyun 'an dhiddihi" yaitu perintah terhadap sesuatu berarti > larangan terhadap kebalikannya, (pembahasan cabang yang berkaitan dengan > rumusan ini masih banyak). Dalam contoh kasus ini, perintah mengerjakan > shalat subuh berarti adalah larangan meninggalkannya. > > Sekarang ketika kita ingin mencari hukum tentang sesuatu yang dipandang > sebagai penyebab meninggalkan, maka diperlukan mazhan hukum. Contohnya > tidur. Orang meninggalkan shalat subuh karena tidur. Apakah tidur menjadi > haram? Untuk menentukan hukum tidur di dalam kasus ini diperlukan mazhan > hukumnya yang terkandung dalam "tidur" dan "meninggalkan shalat subuh". > Kita > lihat segala hal yang berkaitan dengan "tidur". Tidur tidak punya > keterikatan istimewa dengan "meninggalkan shalat subuh", bisa saja dia > terbangun dalam waktu. Dan kita tidak bisa mengatakan hukum tidur itu > haram > dengan spekulasi "sedangkan ia tidak mengerjakan shalat subuh." > > Akan tetapi dalam suatu kasus seseorang tidur MENJELANG waktu shalat > subuh > maka tidurnya itu hukumnya haram. Dan inipun standar mazhan hukumnya > tidak > bisa disebutkan secara pasti dan konkrit. Karena itu, dalam bahasa ulama > di > kitab-kitab fikih, jarak yang dimaksud dengan "menjelang shalat" itu pun > dipergunakan dengan bahasa kondisonal; misalnya, "sekiranya dominan dalam > ukuran kira-kira (al-ghalabah atau ghalabat al-zhan; ungkapan fikih) dia > biasanya tidak terbangun dalam waktu shalat." Dalam bahasa ustaz saya > ketika > kami belajar fikih kelas tiga tsanawiyah, "Ya kira-kira aja, misalnya 5 > menit atau 15 menit menjelang azan." > > Ini satu gambaran saja bagaimana pembahasan-pembahasan fikh dan ushul > fikih > dalam melihat hukum. Sengaja saya memberikan contoh dengan "tidur" agar > lebih mudah dipahami pada satu sisi, dan padahal ada hadis "Rufi'a 'an > ummati tsalatsatu asyyaa...(Aw kamaa qaala Rasulullah Saw)" salah satunya > "tidur sampai dia terbangun" pada sisi lain. Artinya, kalau mengikuti > secara > literal kandungan hadis ini, orang yang tidur sebelum masuk waktu shalat > kemudian dia terbangun setelah habis waktu shalat, berarti tidak mengapa > baginya. Walaupun begitu, para ulama tetap menetapkan hukum haram tidur > menjelang waktu shalat karena mazhan hukum sebagai penyebab meninggalkan > shalat sudah bisa diperoleh. > > Wassalam > Aman ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Join modern day disciples reach the disfigured and poor with hope and healing http://us.click.yahoo.com/lMct6A/Vp3LAA/i1hLAA/aYWolB/TM --------------------------------------------------------------------~-> Milis Wanita Muslimah Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat. Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED] Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/