http://www.kompas.com/kompas-cetak/0603/04/Fokus/2481707.htm

Bergoyang dalam Bayang-bayang RUU
Oleh Nasru Alam Aziz

Bergerak berputar sambil meliuk-liukkan pinggul.
Sesekali perempuan semampai itu membelakangi penonton,
dengan pinggul tetap meliuk-liuk. Di depan panggung
berukuran mini yang diapit warung pada kiri-kanannya,
seorang lelaki tampak ikut bergoyang.

Tabuhan gamelan dan perkusi yang terdengar sember dari
perangkat pengeras suara sama sekali tidak mengganggu
asyiknya goyang jaipongan di kolong Jembatan
Jatinegara, Jakarta Timur, malam itu. Pesinden dan
bajidor—sebutan untuk lelaki yang ikut berjoget di
hadapan pesinden—serta belasan penonton di sisi Jalan
Pisangan Lama Selatan juga tidak terusik deru kereta
api yang melintas di belakang panggung.

Pemandangan itu bisa dinikmati setiap malam—kecuali
malam Jumat—sejak pukul 21.00 hingga pukul 3.00 dini
hari. Makin larut malam, makin asyik dan makin ramai
pengunjung.

Komunitas kolong jalan layang itu sama sekali tidak
tahu kesibukan para wakil rakyat yang sedang sibuk
dengan Rancangan Undang-Undang (RUU) Antipornografi
dan Pornoaksi. Padahal, goyangan meliuk-liuk tadi bisa
saja ditafsirkan sebagai gerakan erotis di depan umum.

Sebutlah, misalnya, Pasal 6 dan Pasal 28 RUU itu yang
mengatur mengenai eksploitasi daya tarik tubuh atau
bagian tubuh orang yang menari erotis atau bergoyang
erotis. Memang masih bisa diperdebatkan apakah
goyangan meliuk-liuk itu termasuk tarian atau goyangan
erotis sebab batasan tentang tari atau goyang erotis
dalam RUU tersebut masih samar, seremang-remang malam
di kolong Jembatan Jatinegara.

Mami Atun, pengelola Sanggar Mekar Munggaran, bahkan
tidak pernah mendengar tentang adanya RUU
Antipornografi dan Pornoaksi. Ketika ditanya soal itu,
ia malah balik bertanya, ”Ada ya?”

Meski demikian, tampaknya Atun paham betul bahwa
perundang-undangan itu tidak akan menutup kegiatan
usahanya, melainkan hanya memerlukan izin. ”Kami punya
izin dari Dinas Kebudayaan, RW, RT, dan polisi. Kami
juga punya izin dari warga sekitar. Kalau warga
keberatan, mana mungkin kami masih bertahan di sini,”
tuturnya.

Di Kabupaten Blora, Rembang, Pati, Kudus, Jepara dan
Grobogan (Jawa Tengah), sebagian besar pekerja seni
tayub juga tidak tahu adanya RUU Antipornografi dan
Pornoaksi.

Ini bisa dimaklumi karena banyak di antara mereka
hanya berpendidikan sekolah dasar (SD). Jika toh tahu,
hanya selintas dari tayangan televisi atau surat
kabar.

”Terus terang saya tidak tahu sama sekali” ujar Tinah.
Hal senada dikemukakan Iin Parlina (25), penari
jaipong di sanggar Mekar Munggaran, Jakarta Timur.

Iin yang hanya tamat SD itu mendapat bayaran sekitar
Rp 400.000 per bulan. Setelah dipotong untuk kebutuhan
sehari- hari, termasuk kosmetik segala, sisanya ia
kirim untuk anaknya yang masih berusia enam tahun di
Cikarang, Bekasi.

Tinah adalah pekerja seni tayub atau teledek papan
atas di wilayah pantai utara (pantura) timur, dengan
bayaran minimal Rp 1 juta dan maksimal Rp 2,5 juta
sekali manggung. Ia sudah manggung sejak usia 16 tahun
dan sudah menikah dengan Kabul, seorang pegawai negeri
sipil lulusan salah satu perguruan tinggi di Jateng
pada Agustus 1999.

Perempuan berkulit kuning ini terperanjat ketika
diberi tahu bahwa pakaian kemben bisa terancam oleh
RUU itu. Padahal, kemben adalah salah salah satu ciri
khas berbusana adat Jawa, khususnya ketika naik
panggung dalam seni tayub.

Kemben adalah penutup payudara yang terbuat dari kain
dan selalu berkaitan dengan jarik/sinjang. Sementara
kesenian tayub diartikan ditata supaya guyub (tertata
agar menyatu).

Menurut Tinah yang didampingi suaminya, jauh sebelum
pornografi dan pornoaksi ”meledak” dalam beberapa
tahun terakhir, Bupati Pati Sunardji pada sekitar awal
tahun 1992 malah pernah memerintahkan agar pekerja
seni tayub yang umumnya terdiri kaum perempuan ini
memakai penutup kemben.

”Bukan semata-mata untuk menutupi buah dada, tapi
lebih dititikberatkan untuk menjaga kesehatan karena
biasanya tayub berlangsung malam hari.

Meski bukan merupakan surat keputusan, perintah itu
akhirnya dituruti dan setiap kali pentas pekerja seni
tayub memakai penutup kemben warna-warni
(kecenderungan mencolok).

Akan tetapi, itu hanya diikuti di Kabupaten Pati dan
sekitarnya. Untuk Kabupaten Blora hingga memasuki
wilayah Jawa Timur, pekerja seni tayub tetap
mengenakan kemben saat pentas.

”Saya dan umumnya teman- teman satu profesi juga
sangat setuju dan lebih senang dengan memakai kemben
karena memang di situlah salah satu ciri tayub. Jika
pemerintah melarang seniman tayub untuk tidak memakai
kemben karena dianggap porno, saya kira berlebihan,”
kata Tinah menambahkan.

Pendapat Tinah tersebut dibenarkan Kabul (yang selama
ini menjadi manajer sang istri sekaligus turut aktif
berkiprah di kesenian tayub itu sendiri) karena tayub
sudah berbeda dengan kesenian serupa pada masa
penjajahan Belanda, Jepang, hingga menjelang
tumbangnya pemerintahan Orde Baru.

Sebab, tidak ada lagi seorang pambekso (hadirin/tamu
yang ikut berjoget/bernyanyi dengan seniwati tayub)
memberikan tip berupa uang yang dimasukkan ke kemben.
Tidak ada lagi pambekso dengan seenaknya mencubit
pantat atau mencium pipi sang seniwati.

Keberadaan pambekso tidak boleh lebih dari satu meter
dari seniwati. Pambekso maupun penonton bisa saja
memberikan tip yang dimasukkan ke amplop dan
disodorkan ke tangan seniwati. ”Jika ada yang berani
kurang ajar terhadap seniwati, justru penonton lain
yang bertindak tegas. Jika perlu dipukul, paling tidak
diingatkan, lalu ditarik ke luar arena,” ujar Kabul.

Stigma porno

Bagaimana dengan nasib tari dongbret di Indramayu,
Jawa Barat? ”Sekarang dongbret sudah tidak ditarikan
di sini. Tradisi tari itu terakhir kali saya lihat
sekitar tahun 1970-an. Sekarang sudah disingkirkan ke
daerah Balanakan, Kabupaten Subang,” kata Wangi
Indria, seniman sekaligus pemerhati seni Indramayu.

Perasaan sedih terlihat dari gaya bicara Wangi ketika
membicarakan tari dongbret, tari yang dikenal
masyarakat masa kini dengan istilah goyang dongbret.
Sebab, atas penolakan beberapa pihak di Indramayu,
sekitar tahun 1970, tari dongbret sudah dilarang di
Indramayu karena dianggap porno.

Dongbret dalam bahasa keseharian berarti ”uang
blendong bisa jembret” (uang segenggam bisa melacur).
Stigma yang diberikan pada tari ini tertanam pula pada
mantan penarinya yang saat ini berusia sekitar 50
tahunan.

Padahal, pada masa jayanya dulu, kesenian dongbret
merupakan kesenian rakyat yang paling murah dan selalu
diselenggarakan tujuh hari tujuh malam menjelang dan
ketika upacara syukuran desa.

Menurut pemerhati kesenian sekaligus seniman
Indramayu, Mamat Taham, stigma porno yang diberikan
kepada dongbret sebenarnya tidak beralasan.

”Mungkin yang dipersoalkan beberapa anggota masyarakat
adalah saat seorang perempuan dan laki-laki saling
berpegangan tangan hingga akhirnya si lelaki mencium
pipi si penari perempuan dengan imbalan uang, lalu
dianggap bertentangan dengan nilai moral sebagian
besar masyarakat. Padahal, tahap yang dikhawatirkan
itu hanya berhenti pada cium pipi dan tak menjurus
pada bagian yang lain,” kata Mamat.

Menurut Wangi, tersingkirnya tarian dongbret dari
Indramayu merupakan salah satu pelajaran, betapa
banyak tanggapan dan persepsi orang mengenai suatu
bentuk kesenian. Banyak orang yang beranggapan kalau
semua yang dilakukan di tari dongbret adalah perbuatan
erotis dan porno. Padahal, secara filosofis, si penari
maupun tariannya jauh dari nuansa porno.
(D01/Suprapto)


__________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around 
http://mail.yahoo.com 


------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Join modern day disciples reach the disfigured and poor with hope and healing
http://us.click.yahoo.com/lMct6A/Vp3LAA/i1hLAA/aYWolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke