Nah, ini ada artikel di Harian Pikiran Rakyat terbitan Bandung. Dulu pernah 
diposting oleh Ariel. Penulisnya adalah seorang purnawirawan TNI yang kini di 
HTI. Di MMI banyak juga para orang militer. Tak heran mereka berani mati. 
  Selamat menyimak.....
   
  Kalau ingin mendirikan kekhalifahan Islam itu bukan demokratis lagi namanya 
(walau lewat parpol), tetapi sudah bisa dikategorikan ingin mengubah haluan 
negara, ingin menggusur Pancasila. 
   
  Ayo jangan biarkan negeri ini bubar, bubar! Mereka - PKS, HTI, FPI, MMI, 
Jundullah Islamiyah dll - lebih baik dikirim semua ke NAD yang sudah dijadikan 
laboratorium bagi penerapan syariat Islam. Kita lihat dari jauh, sukses tidak? 
Atau malah cakar-cakaran?
   
  Hizbut Tahrir "menyemprot" PKS: "Fa-aina Tadzhabun" PKS?
   
  "Fa-aina Tadzhabun" PKS?
Oleh Y. HERMAN IBRAHIM
   
  Demokrasi dianggap sebagai sistem yang terbaik dibandingkan dengan
berbagai sistem pemerintahan lain. Bahkan ada fatwa ulama besar yang merestui 
kelompok Islam masuk ke dalam sistem tersebut. Meski dengan embel-embel 
"darurat" masuknya Islam dalam sistem demokrasi seakan- akan membenarkan sistem 
itu di atas sistem Islam yang dicontohkan oleh Rasulullah saw.
   
  Konsep musyawarah lantas dijadikan rujukan bahwa ajaran demokrasi
tidak bertentangan dengan Islam. Padahal ada tokoh ulama yang menolak 
demokrasi, seperti Syaikh Abu Muhammad 'Ashim Al Maqdisiy, Muhammad Abu Nashr 
yang mensinyalir paling tidak ada 13 hal kesyirikan demokrasi.
   
  Salah satu ciri kemusyrikan demokrasi adalah seakan-akan rakyat atau
suara mayoritas mereka yang diwakili di parlemen memiliki hak untuk
menentukan hukum dan perundang-undangan di luar aturan hidup dan
hukum Allah yang ditetapkan dalam Al Quran dan As Sunnah.
   
  Sangat penting untuk dikatakan bahwa keterlibatan Islam dalam partai
politik harus tetap memperjuangkan tegaknya syariat. Itulah sebabnya
banyak orang menaruh harapan besar tatkala kelompok tarbiyah
(Ikhwanul Muslimin Indonesia) membentuk partai politik yang bernama
Partai Keadilan. Harapan itu tidak mengada-ada karena obrolan pertama penulis 
dengan Nur Mahmudi, Presiden PK yang pertama, tampak sekali keinginan untuk 
menegakkan syariat Islam. Tema-tema kampanye PK-pun mengangkat isu 
tathbiqussyariah dan keadilan dalam segala aspek kehidupan. Disertai dengan 
komitmen yang kuat dari para pendukungnya kita saksikan PK tampil di Pemilu 
1999 dengan raihan suara yang cukup banyak walaupun tidak mencapai electoral 
threshold.
   
  Pada Pemilu 2004, PK yang berganti nama menjadi Partai Keadilan
Sejahtera (PKS) meraih 45 kursi di parlemen. Ini merupakan lonjakan
yang sangat dahsyat karena pada Pemilu 1999 PK hanya mendapat tujuh
kursi. Kemenangan PKS membangkitkan harapan bahwa gema tentang
tegaknya syariat Islam melalui produk perundang-undangan akan semakin
menggaung. Tatkala terjadi perebutan posisi ketua MPR, DPR, komisi-
komisi dan lain-lain, PKS memperoleh posisi terhormat dengan
terpilihnya Hidayat Nur Wahid sebagai ketua MPR. Beberapa menit
setelah pelantikan, tiba-tiba harapan dan cita-cita yang sudah lama
terobsesi tentang tegaknya syariat Islam menjadi buyar tatkala
Hidayat Nur Wahid secara eksplisit mengatakan tidak ada niat untuk
menjadikan syariat Islam sebagai dasar negara.
   
  Tentu saja, penulis melakukan klarifikasi. Beberapa teman yang
memiliki posisi penting di PKS pusat maupun daerah mengatakan bahwa
apa yang dikatakan Hidayat Nur Wahid tidak bertentangan dengan misi
partai. PKS tetap bercita-cita menegakkan syariat Islam dengan
catatan partai ini harus meraih suara.
   
  Bagi PKS kemenangan pada pemilu dengan raihan suara terbanyak adalah
persyaratan utama karena dalam sistem demokrasi sebuah kemenangan
akan ditentukan oleh jumlah suara. Oleh karena itu pernyataan Hidayat
wajar dan taktis karena bukankah PKS belum memperoleh kursi mayoritas
di parlemen. Suatu hal yang prematur jika Hidayat mengeluarkan
pernyataan tentang penegakan syariat Islam di saat partai ini tidak
menjadi mayoritas. Namun beberapa kelompok Islam ideologis menilai
PKS telah keluar dari janji dan tema-tema kampanyenya.
   
  Logika yang dibangun PKS tampaknya sangat rasional. Demokrasi tanpa
raihan suara terbanyak hanyalah sebuah kerja bakti. Dia tidak
menentukan dan hanya menjadi kelompok pengekor dari sistem kekuasaan
yang dibangun oleh partai mayoritas. Maka PKS harus menang pemilu
terlebih dahulu, baru menjalankan cita-cita yang terkandung dalam
AD/ART-nya. Inilah hal yang berbeda untuk tidak dikatakan
bertentangan dengan kelompok Islam yang memilih berjuang di luar
sistem. Tetapi logika demokrasi tampaknya akan tetap menjadi pilihan
sebuah partai politik tidak terkecuali PKS.
   
  Pertanyaannya adalah apakah benar PKS akan memenangkan pemilu 2009?
Apakah dengan demikian PKS akan menjadi kekuatan Islam dominan
penentu tegaknya syariat Islam? Apakah PKS akan berhasil meraih suara
dari kalangan nasionalis yang saat ini berada dalam tubuh Golkar dan
PDIP? Bukankah jika ingin menjadi pemenang pemilu haruslah menarik
para pemilih yang selama ini berada di kelompok mayoritas? Dan apakah
PKS akan menjadi partai mayoritas tunggal? Bukankah hanya partai
mayoritas tunggal yang bisa menentukan arah negeri ini mau dibawa
seperti halnya Golkar di era Orba?
   
  Dalam pandangan penulis cita-cita PKS seperti itu hanyalah ilusi.
Beberapa gejala menunjukkan bahwa PKS tidak pada posisi yang akan
memenangkan Pemilu 2009 bahkan pemilu-pemilu selanjutnya, karena
dalam beberapa segi PKS tidak menunjukkan karakter yang istimewa
dibanding dengan partai-partai lainnya. Meskipun kader PKS relatif
lebih bersih, itu tidak cukup untuk menjadikan PKS sebagai leading
party. PKS sadar benar bahwa kekuasaan uang menjadi faktor yang
menentukan kemenangan dalam demokrasi sekuler. PKS juga tahu bahwa
uang itu menumpuk di birokrasi pemerintahan, maka sebagaimana partai-
partai lainnya PKS-pun terlibat secara intens dalam perebutan
kekuasaan di pusat maupun di daerah. PKS melakukan tawar-menawar
politik dengan penguasa dan seperti partai lainnya berupaya merebut
jabatan gubernur, bupati dan walikota dalam setiap pilkada di seluruh
Indonesia.
  Pragmatisme PKS sangat tampak pada proses Pilpres. Konon beberapa
kader PKS pada tingkat sekjen dan Dewan Syuro tanpa rasa sungkan dan
risih menemui salah seorang calon presiden, dalam hal ini perlu
tabayyun apakah mereka sengaja mendatangi atau diundang. Meski perlu
pembuktian tetapi beberapa sumber menyebutkan telah terjadi
kesepakatan dukung mendukung dengan calon presiden tersebut, dan
kesepakatan itu berarti sebuah transaksi yang bermuara di angka.
Tentu kelihatannya hal itu seperti sesuatu yang wajar, tetapi untuk
sebuah partai yang berbasiskan Islam transaksi semacam itu -dalam
pandangan penulis- tidaklah pantas untuk dilakukan. Fakta selanjutnya
menunjukkan bahwa walaupun konon pula PKS telah menerima dana namun
dukungannya ternyata dialihkan kepada calon presiden yang lain.
Dengan cara ini PKS telah melakukan tindakan wanprestasi politik
kepada seseorang karena di satu sisi dia memperoleh sejumlah dana,
tapi di sisi lain tidak ingin kehilangan citranya untuk tetap
mendukung calon presiden dari kalangan Islam.
  Pada pilpres putaran kedua PKS tidak melakukan langkah netral,
kendati calon yang didukungnya kalah dalam pemilu. Tidak seperti
halnya PPP dan PAN yang membebaskan pilihan kepada konstituennya, PKS
melakukan kontrak politik dengan pasangan SBY-JK. Atas dukungannya
itulah maka PKS memperoleh posisi di kabinet dengan tiga menteri,
antara lain menteri pertanian, menteri Pemuda dan Olah raga dan
menteri Perumahan Rakyat. Gejala ini menunjukkan bahwa PKS sebenarnya
tidak berbeda dengan partai-partai lainnya.
  Di dalam proses pilkada, PKS melakukan gerakan all out untuk
memperoleh kekuasaan di daerah. Tekanannya kepada SBY untuk
memenangkan Nurmahmudi di tingkat MA sangat tampak. Meski tuntutan
tersebut memperoleh dukungan masyarakat, tetapi erangan elite PKS
sangat berlebihan di media masa. Ambisi seorang bekas menteri untuk
tetap berkuasa kendatipun di tingkat kota, tampak sekali dalam
perjuangan PKS yang sekarang ini tengah memperjuangkan calon-calonnya untuk 
memenangkan pilkada di berbagai daerah. Yang mengherankan adalah sebagaimana 
halnya partai-partai lain, pragmatisme politik dipertontonkan oleh PKS secara 
telanjang. PKS bersedia berkoalisi dengan partai manapun meskipun secara 
ideologis sangat tidak kimiawi.
  
Hal ini ditunjukkan tatkala PKS mendukung calon bupati Cianjur dan
bersedia berkoalisi dengan partai Demokrat. Yang mengherankan,
sebagai partai Islam PKS tidak mendukung konsep Gerbang Marhamah yang dipandang 
sebagai upaya penegakan syariat Islam di kabupaten tersebut.
   
  Fakta sejarah juga menampakkan bahwa apa yang diangan-angankan oleh PKS untuk 
memperjuangkan Islam lewat demokrasi dan parlemen adalah sebuah absurditas 
belaka. Demokrasi yang dibelakangnya bersembunyi ideologi neoliberal sebenarnya 
tidak akan pernah mengizinkan Islam untuk memenangkan pemilu di negeri mana 
pun. Pada Pemilu 1955 di Indonesia sebuah penyusupan ke dalam tubuh Masyumi 
telah membuat NU keluar dan Islam kalah oleh PNI. Di Aljazair, partai Islam FIS 
memenangkan pemilu dengan raihan suara 83%, tetapi dianulir oleh dan dikalahkan 
pada pemilu berikutnya atas pesanan Amerika. Partai Islam Rafah pimpinan 
Necmetin Erbakan di Turki yang memenangi pemilu, bahkan diintervensi langsung 
oleh CIA untuk dibatalkan dan kemudian dibubarkan. Tidak ada sejarahnya Islam 
menang de1ngan mengikuti proses demokrasi.
   
  Koalisi, aliansi, kolaborasi atau apa pun namanya bentuk dari
penggabungan Islam dengan non-Islam hasil akhirnya adalah kemenangan bagi pihak 
non-Islam. Tengok saja sejarah gentleman agreement di tubuh PPKI yang telah 
mensyahkan tujuh kata dalam Mukadimah UUD 45 bisa hapus begitu saja tatkala 
kelompok minoritas dari Indonesia Bagian Timur melakukan penolakan. Semua 
produk perundang-undangan yang dihasilkan oleh sebuah parlemen yang mayoritas 
beragama Islam pun bisa dipastikan tidak akan berwarna Islam karena alasan 
toleransi dan heterogenitas. Maka gejala PKS yang bersedia berkolaborasi dengan 
partai mana pun tanpa didasari ideologi Islam menunjukkan bahwa PKS telah 
menyimpang dari cita-cita awalnya. Maka pertanyaan sesuai dengan judul tulisan 
ini perlu diulang .... Mau ke mana PKS? Wallahu a'lam.
   
  Penulis, pengamat politik, purnawirawan TNI AD


__________________________________________________
Apakah Anda Yahoo!?
Lelah menerima spam?  Surat Yahoo! memiliki perlindungan terbaik terhadap spam  
http://id.mail.yahoo.com 

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Join modern day disciples reach the disfigured and poor with hope and healing
http://us.click.yahoo.com/lMct6A/Vp3LAA/i1hLAA/aYWolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke