yang simbolik, yang religius, yang politis, yang ideologis, & yang tragis dalam 
pakaian       
Anne Sofie Roald adalah associate professor di International Migration and 
Ethnic Relations (IMER) di Malmo University, Swedia. Ia seorang ilmuwan sosial 
berdarah Norwegia yang mengalami konversi menjadi seorang muslimah dan 
mengenakan jilbab, dan sepanjang mengenakan jilbab ia menerima berbagai reaksi 
dari orang-orang di sekelilingnya, dari reaksi positif hingga negatif. Ada satu 
bab dalam bukunya Women in Islam: The Western Experience (2002: 254) yang 
khusus membahas jilbab. Ia menamakan bab itu dengan Islamic female dress. 

Dalam konteks Barat (Eropa), menurut Anne, jilbab (hijab, khimar, veil, atau 
banyak lagi namanya) memiliki beragam konotasi. Kain penutup kepala yang 
dikenakan seorang biarawati Katolik (yang tentu saja sangat mirip dengan 
jilbab) kerap dipandang sebagai simbol atau citra religiositas, sesuatu yang 
dekat dengan Tuhan, kesucian, dan kedamaian. Kain penutup kepala yang dikenakan 
oleh seorang muslimah dipandang sebagai simbol penindasan terhadap perempuan, 
dan kalau tidak demikian maka dilihat sebagai pernyataan religius-politik yang 
dekat dengan penegasan identitas, ideologis sifatnya. Menurut Anne, hal ini 
terjadi karena jilbab yang dipakai seorang biarawati Katolik adalah perwujudan 
dari komitmen terhadap tradisi keberagamaan yang telah hidup sejak lama di 
Eropa. Biarawati adalah wong kito atau koncone dewe bagi masyarakat Eropa. Di 
sisi lain, menurut Anne, jilbab perempuan muslim adalah simbol invasi 
kepercayaan asing, invasi dari sesuatu yang tak akrab, aneh, dan lain, yang
 bertentangan dengan tradisi keberagamaan yang telah hidup sejak lama di Eropa. 
Pakaian yang sama tetapi memiliki image yang berbeda, yang religius versus yang 
ideologis. 

yang ideologis dan yang politis

Di Iran, yang ideologis dan yang politis dalam pakaian perempuan terjadi secara 
berkesinambungan. Sami Zubaida menulis tentang hal tersebut dalam bukunya Law 
and Power in the Islamic World. Pada tahun 1928, Permaisuri dari Reza Khan 
(1877-1944. Reza Khan adalah Syah Iran, ayah Reza Pahlevi yang 
dilengserkeprabonkan oleh Mbah Khomeini) mengunjungi tempat ziarah di kota suci 
Qum di Iran. Sewaktu doa-doa dan zikir sedang dilantunkan, permaisuri tampak 
tetap tidak memakai jilbab. Dia berpakaian seperti pakaian perempuan modern 
Eropa pada waktu itu. Hal ini mengusik pikiran seorang ayatullah, namanya 
Ayatullah Bafqi, ia lalu mengutus seseorang untuk menyampaikan pesan kepada 
sang permaisuri: "jika Anda bukan seorang Muslimah, kenapa Anda datang ke 
tempat suci ini? Jika Anda seorang muslimah kenapa Anda tidak memakai jilbab?" 
Tapi sang permaisuri cuek bebek aja. Ayatullah Bafqi tampak kesal. Ketika 
Ayatullah Bafqi menyampaikan khutbahnya, ia mulai mengkritik Syah Iran, dan 
memprovokasi
 para hadirin. Syah Iran akhirnya mengetahui insiden ini. Syah Iran pun marah. 
Ia lalu datang ke kota suci Qum. Bersama pengawalnya ia masuk ke tempat ziarah 
dengan tidak membuka sepatu boot. Ia mencari Ayatullah Bafqi, sewaktu ketemu, 
sang ayatullah pun dihajar habis, dan kemudian dipenjarakan. Selang beberapa 
lama kemudian, Syah Iran menerapkan hukum uniformity of dress yang melarang 
perempuan memakai jilbab, dan laki-laki memakai surban (dispensasi hanya 
diberikan untuk para ayatullah). Polisi pun dikerahkan untuk menerapkan hukum 
ini. Jika ada yang memakai jilbab di jalan-jalan, atau ada yang pakai surban 
tapi yang bersangkutan bukan ayatullah, maka polisi berhak untuk membuka 
pakaian itu secara paksa. 

Tahun berganti tahun, akhirnya revolusi Iran terjadi (menurut para intelektual 
sekular Iran, revolusi Iran awalnya digerakkan oleh para intelektual sekular 
seperti Ali Syari'ati cs. Tapi kemudian revolusi ini dibajak oleh para 
ayatullah dan mullah karena mereka lebih populis dan memiliki massa, sehingga 
akhirnya menjadi revolusi Islam. Sewaktu revolusi terjadi, intelektual sekular 
dan para ayatullah punya musuh bersama yaitu Reza Pahlevi, Syah Iran terakhir. 
Tapi, ketika para ayatullah semakin berkuasa setelah Republik Islam berdiri dan 
berlanjut dengan aplikasi konsep wilayat al-faqih, maka para intelektual 
sekular pun disingkirkan). Pada tahun 80-an, Iran sudah menerapkan hukum 
syari'ah. Jilbab pun menjadi wajib. Ente kagak demen make jilbab? Hukum cambuk 
menanti, 75 kali cambukan. Tapi yang lebih dahsyat adalah Taliban, Rezim 
Taliban di Afghanistan bahkan mewajibkan perempuan menutup wajahnya, menyisakan 
sedikit lubang di mata untuk melihat dan hidung untuk bernafas. 

Yang ideologis dan politis juga terjadi di Aceh. Ketika Syariat Islam mulai 
diberlakukan di Aceh pada tahun 1999, kaum perempuan yang pertama menjadi 
korban. Jilbab adalah yang paling pertama diingat oleh para pengusung Syariat 
Islam. Di kampus, terminal-terminal, jalan-jalan, pasar-pasar diadakan razia 
jilbab. Ibu-ibu yang harus ke sawah menjadi kebingungan, mereka harus pakai 
jilbab ke sawah. Ibu-ibu yang menjual sayur mayur di pasar pun terpaksa harus 
memakai jilbab. Saya pernah melihat, ada ibu-ibu yang terpaksa melilitkan kain 
sarung untuk menutupi kepalanya untuk menghindari razia, walau pun ia masih 
memakai rok sedengkul yang telah lusuh karena ia seharian harus mencari nafkah 
di pasar. Walaupun Aceh sudah berabad-abad menerima Islam, tapi tidak pernah 
terlihat kaum perempuan memakai jilbab yang rapat jika mereka ke sawah, atau 
ketika berjualan di pasar. Yang paling menyedihkan adalah di masa pasca 
tsunami, tidak berapa lama setelah tsunami, polisi syariat kembali melakukan
 razia jilbab. 

yang tragis

Yang ideologis-politis dalam pakaian perempuan terkadang malah menjadi yang 
tragis. Yang tragis ini pernah terjadi di Mekkah. Pada pertengahan bulan Maret 
2002, koran-koran Saudi Arabia (seperti Saudi Gazette dan Al-Iqtishadiyyah) 
melaporkan tentang kebakaran hebat yang melanda sebuah sekolah khusus 
perempuan. Kebakaran ini menyisakan tragedi yang sangat ironis dan tragis. 
Setidaknya 14 orang siswi sekolah itu tewas terbakar. Ketika para pemadam 
kebakaran hendak menerobos masuk ke sekolah itu, mereka dihalangi oleh Polisi 
Agama (dinamakan dengan mutawwa'un, tugas mereka adalah menjaga agar 
atauran-aturan Islam Wahabi dilaksanakan secara ketat oleh setiap warga Saudi) 
karena para siswi itu tidak mengenakan jilbab kalau mereka berada di dalam 
ruangan sekolah (karena sekolah itu adalah sekolah khusus perempuan, jadi 
jilbab tidak dipakai di dalam ruangan yang tidak ada laki-laki). Para siswi 
juga dilarang keluar sebelum mereka mengenakan jilbab secara tepat. Kepanikan 
terjadi, karena api
 semakin membesar. banyak siswi yang nekat untuk keluar walau tidak memakai 
jilbab, tapi mereka segera dihalau oleh polisi agama untuk kembali ke ruangan 
agar memakai jilbab, para siswi ini akhirnya ditemukan tewas (analisis menarik 
untuk kejadian ini bisa dibaca dalam tulisan Khaled Abou El Fadl, "The Ugly 
Modern and The Modern Ugly" dalam buku Progressive Muslims (2003) yang diedit 
oleh Omid Safi).

yang simbolis

“Ya ayyuha al-nabi qul li azwajika wa banatika wa nisa-i al-mu’minina yudnina 
‘alaihinna min jalabibihinna dzalika adna an yu’rafna fala yu’dzaina…...”
(Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan 
istri-istri orang mukmin: ‘hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh 
tubuh mereka’, yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, 
karena itu mereka tidak diganggu..…”)

Saya memahami anjuran Alquran tentang pemakaian jilbab dalam dalam ayat ke-59 
dari Surah Al-Ahzab di atas sebagai sesuatu yang simbolis. Mengapa saya katakan 
sebagai sesuatu yang simbolis? 

Ayat ke 59 dari Surah Al-Ahzab di atas diwahyukan kepada Nabi Muhammad antara 
tahun ketiga dan ketujuh hijrah, tahun-tahun ini adalah tahun kritis dalam 
komunitas masyarakat Muslim di Madinah, ketika situasi berada dalam suasana 
tidak aman karena perang yang berkepanjangan. Ayat ini diwahyukan sebagai 
respons atas gangguan yang dialami perempuan Muslim Madinah dari para pria yang 
menyangka mereka budak, karena pakaian yang dikenakan perempuan muslim dan 
budak perempuan tidak berbeda. 

Ayat di atas diwahyukan setelah pewahyuan ayat ke-24 dari Surah An-Nur yang 
juga membicarakan masalah kerudung. Ayat ke-24 dari surah An-Nur itu 
sebagiannya tertulis: “wal yadhribna bi khumurihinna ‘ala juyubihinna” (dan 
hendaklah mereka menjulurkan khimar [kerudung] mereka ke juyubnya. Juyub adalah 
berarti belahan baju di bawah leher yang menampakkan dada pemakainya, fungsi 
utama kerudung yang dianjurkan dalam ayat ini adalah menutup belahan baju yang 
menampakkan payudara perempuan, bukan menutup rambut kepala. 

Agar tidak rancu, sebaiknya saya menjelaskan perbedaan antara jilbab (jenis 
pakaian yang disebutkan dalam Alquran Surah Al-Ahzab ayat 59) dan khimar (jenis 
pakaian yang disebutkan dalam Alquran Surah An-Nur ayat 24). Jilbab itu 
sebenarnya merujuk ke jenis pakaian yang dipakai oleh perempuan Iran saat ini, 
jubah hitam panjang yang menutupi tubuh pemakainya dari ujung kepala hingga 
ujung kaki. Sedangkan khimar adalah kerudung, di jazirah Arab khimar ini 
dipakai juga oleh laki-laki, dinamakan dengan serban atau ’amamah. 

Dua ayat di atas telah memakai kata jilbab (lebih lebar dari khimar) dan khimar 
(kerudung), ini menandakan bahwa dua jenis pakaian ini telah lama dikenal di 
kawasan jazirah Arab. Alquran mengadopsi khimar untuk meningkatkan etika 
kesopanan berpakaian yaitu menutup payudara dengan kerudung, dan mengadopsi 
jilbab untuk melindungi perempuan muslim dari gangguan yang muncul karena 
mereka disangka sebagai budak perempuan. Kenapa harus khimar dan jilbab? Karena 
jenis pakaian itulah yang sudah dikenal dan kerap dipakai perempuan Arab pada 
masa pewahyuan Alquran. Menutup payudara adalah universal nilai etikanya, 
tetapi menutupnya dengan khimar yang juga sekaligus menutupi kepala bersifat 
lokal dan kontekstual. Menutupi seluruh tubuh dengan jilbab adalah lebih 
temporer lagi kegunaannya, hanya berguna ketika masyarakat masih terbelah ke 
dalam kelas budak dan bukan budak.

Ada baiknya kita mengetahui asbab al-nuzul (sebab-sebab diwahyukannya suatu 
ayat) dari ayat ke-59 dari surah Al-Ahzab di atas. Dalam kitabnya Jami’ 
al-Bayan (Beirut: Dar al-Fikr, 1408H/1988M, jilid XII, halaman 46-47) Ibn Jarir 
al-Thabari (w. 310 H) menyebutkan satu kejadian sebelum ayat itu diwahyukan: 

Istri-istri Nabi Muhammad dan perempuan-perempuan lain apabila malam tiba 
keluar rumah untuk membuang hajat. Ada banyak laki-laki yang bergerombol di 
jalan-jalan untuk mengganggu perempuan. Maka Tuhan pun mewahyukan ayat: “Wahai 
Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri 
orang mukmin: ‘hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh 
mereka’..” lalu perempuan-perempuan itu menutupkan kepala dan tubuh mereka 
dengan jilbab, sehingga dapat dibedakan yang mana budak perempuan yang mana 
perempuan merdeka. 

Jalal al-Din al-Suyuthi (w. 911 H) dalam kitabnya Al-Durr al-Mantsur fi 
al-Tafsir al-Ma’tsur (Beirut: Dar al-Fikr, 1414H/1993M, Jilid VI, halaman 659) 
menyatakan bahwa sebelum ayat ini diwahyukan, banyak laki-laki di Madinah yang 
mengikuti perempuan mukmin dan mengganggu mereka, jika laki-laki itu ditegur, 
maka mereka akan berkata: ‘saya kira dia budak perempuan’ maka Tuhan 
memerintahkan perempuan-perempuan mukmin untuk membedakan pakaian mereka dari 
pakaian budak, dan mengulurkan jilbab ke seluruh tubuh mereka.

Dua keterangan di atas bisa menjawab pertanyaan yang mungkin timbul ketika kita 
membaca kalimat dzalika adna an yu’rafna fala yu’dzaina (yang demikian itu 
supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu) 
dalam ayat di atas. Dikenali sebagai apa? Tidak diganggu karena apa? 

Pada zaman Khalifah 'Umar bin Khattab (w. 644 M) pakaian perempuan masih tetap 
dipahami sebagai sesuatu yang simbolis. Sesuatu yang menjadi 'alamah (tanda 
atau simbol) pembeda antara perempuan merdeka dan budak perempuan (muslimah 
atau bukan). Ini terjadi karena masyarakatnya adalah masyarakat yang masih 
membedakan dengan jelas antara manusia merdeka dan manusia budak. Suatu ketika 
seorang budak perempuan mengenakan pakaian perempuan merdeka yang waktu itu 
disimbolkan dengan jilbab. 'Umar pun marah besar.

“Marrat bi ‘umar ibn al-khattab radhiyallahu ‘anhu jariyatan mutaqanniah 
fa’alaha bi al-durrah wa qala: ya laka’! Atatasyabbahina bi al-hara-ir? Alqi 
al-qina’!”.
(Seorang budak perempuan berkerudung yang memakainya hingga menutupi dadanya 
berjalan mendahului ‘Umar bin Khattab. ‘Umar berkata: “perempuan celaka! Apakah 
engkau ingin menyerupai perempuan merdeka? Buka kerudung itu!).

Peristiwa di atas dituliskan oleh Ibrahim bin ‘Umar al-Biqa’iy (w. 885 H) dalam 
karangannya Nazhm al-Durar fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar (Beirut: Dar al-Kutb 
al-‘Ilmiyah, 1415/1995, jilid VI, halaman 136). Pelarangan Umar itu diungkapkan 
lebih eksplisit dalam kitab Al-Mughni (Mesir: Al-Manar, 1348, tashhih oleh 
Sayed Rasyid Ridha, jilid I, halaman 643) karangan Ibnu Qudamah (w.603H):

“Inna ‘umar ibn al-khattab kana la yad’u amah taqna’u fi khilafatihi wa qala 
innama al-qina’ lil hara-ir.” 
(‘Umar bin Khattab tidak memberikan toleransi bagi budak perempuan untuk 
mengenakan kerudung di masa kekhalifahannya. ‘Umar berkata: ‘kerudung itu 
hanyalah bagi perempuan merdeka’.)

Mengapa Umar bin Khattab menyatakan “kerudung itu hanyalah bagi perempuan 
merdeka”? bukankah kerudung atau jilbab itu adalah busana muslimah sebagaimana 
yang kita dengar sekarang? Bagaimana dengan muslimah yang bukan perempuan 
merdeka alias budak?

Pada zaman Khalifah Umar bin Khattab, jilbab lebih dipandang sebagai pakaian 
penegas identitas, antara budak perempuan dan perempuan merdeka, walaupun budak 
itu sendiri seorang muslimah. Jilbab pada masa itu bukan dipandang sebagai 
busana muslimah sebagaimana dipropagandakan para ideolog Islamawiyah (Khaled 
Abou El Fadl menyebutnya dengan Salafabism. Islamawiyah ini adalah hasil 
persilangan yang tak diharapkan dari Salafiyah yang dipelopori oleh Muhammad 
'Abduh dan Sayed Rasyid Ridha dengan Islam Wahabiyah yang didirikan oleh Ibn 
Abdul Wahab di Nejed yang kini jadi ideologi resmi di Saudi Arabia) pada zaman 
sekarang. Pada masa pemerintahannya Umar bin Khattab sangat keras melarang 
budak perempuan memakai penutup kepala atau jilbab, karena baginya pemakaian 
jilbab oleh budak perempuan akan mengaburkan identitas perempuan merdeka. 
Kenapa jilbab ini menjadi masalah yang krusial bagi Khalifah Umar sehingga ia 
melarang budak mengenakan jilbab walaupun ia seorang muslimah, bukankah jilbab
 adalah busana muslimah? Karena pada masa itu budak perempuan adalah obyek 
seksual bebas. Jika ia melahirkan anak, maka anak budak perempuan itu dapat 
dijual lagi sebagai budak, sehingga menguntungkan pemiliknya. Kalau tidak ada 
pakaian penegas identitas, bagaimana budak perempuan bisa dibedakan dari 
perempuan merdeka? 

Keterangan yang lebih jelas mengenai kebijakan Umar itu dapat ditemui dalam 
kitab Al-Dzakhirah (Beirut: Dar al-Gharb al-Islami, 1994, tahqiq oleh Muhammad 
Hajji, jilid 2, halaman. 103) karangan Syihab al-Din Ahmad ibn Idris al-Qarafi 
(w. 1285M/684H) yang menyebutkan:

“Wa qad kana ‘Umar radhiyallahu anhu yamna’u al-ima’ min al-izar, wa qala li 
ibnihi alam ukhbir anna jariyataka kharajat fi al-izari wa tasyabbahat bi 
al-harair, wa law laqaituha la awja’tuha dharban. Ma’na nahi ‘Umara 
radhiyallahu ‘anhu al ima’ ‘an tasyabbihinna bil harair: anna al-sufaha’ jarrat 
‘adatuhum bi al-ta’arrudh lil-ima’ duna al-harair, fa khasiya radhiyallahu 
‘anhu an yaltabis al-amra fayata’arradha al-sufaha’ lil harair dzawat 
al-jalalah, fa takunu al-mufsidatu a’zham; wa hadza ma’na qawlihi ta’ala: 
dzalika adna an yu’rafna fala yu’dzaina, ay an yatamayyazna bi ‘alamatihinna 
‘an ghairihinna!”

(“Sesungguhnya ‘Umar r.a melarang budak perempuan dari [mengenakan] izar 
(secara harfiah dapat berarti sarung yang menutupi badan, atau pun jilbab), dan 
ia berkata kepada anaknya: “tidakkah benar berita bahwa budak perempuanmu 
keluar rumah dengan memakai izar dan menyerupai perempuan merdeka, jika aku 
menjumpainya akan kupukul dia. Makna ‘Umar r.a melarang budak perempuan dari 
menyerupai perempuan merdeka adalah karena kaum berandalan tetap melakukan 
kebiasaan mereka dalam hal mengganggu budak perempuan dan tidak kepada 
perempuan merdeka, oleh karena itu ‘Umar r.a khawatir akan terjadi 
ketidakjelasan [dalam hal pembedaan simbol pakaian- pen.] sehingga kaum 
berandalan itu pun lalu mengganggu perempuan merdeka yang memiliki kemuliaan, 
maka akan terjadi mafsadah yang besar; dan inilah pengertian perkataan Tuhan: 
‘yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka 
tidak diganggu’, yaitu agar [perempuan merdeka] membedakan ‘alamat 
[karakteristik-karakteristik]
 mereka dari selain mereka!”). 

Gangguan yang terkadang berujung kepada perkosaan terhadap budak perempuan 
kerap dilakukan di padang pasir pada malam hari oleh sekelompok laki-laki. Para 
pemerkosa ini menandai budak dan perempuan merdeka dari pakaian yang mereka 
kenakan, karena lazimnya budak perempuan hanya melilitkan kain yang menutupi 
pusat dan lutut, dan membiarkan payudaranya terbuka. Kalau perempuan itu 
mengenakan pakaian tertutup (jilbab) maka ia akan dikenali sebagai perempuan 
merdeka, dan tidak akan diganggu. Kondisi ini dicatat oleh seorang ulama tafsir 
bernama Jalaluddin al-Suyuthi (w. 911H/1505M) dalam kitabnya Al-Durr al-Mantsur 
fi al-Tafsir al-Ma’tsur (Beirut: Dar al-Fikr, 1414H/1993M, jilid VI, halaman 
661):

“Kana anas min fassaq ahl al-madinah bi al-layl hina yakhtalith al-zhulm, 
ya’tuna ila thuruq al-madinah fa yata’arradhuna li al-nisa’, wa kanat masakin 
ahl al-madinah dhayyiqah, fa idza kana al-layl kharaja al-nisa’ ila al-thuruq, 
fa yaqdhina hajatahunna, fa kana ulaika al-fassaq yattabi’una dzalika min 
hunna, fa idza ra-aw imraat ‘alaiha jilbab qalu: hadzihi hurrah fakaffu ‘anha, 
wa idza ra-aw al-mar-ah laysa ‘alaiha jilbab qalu: hadzihi amah fawatstsibu 
‘alaiha.” 

(Orang-orang fasik dari penduduk Madinah ketika petang menjelang gelap, datang 
ke jalan-jalan Madinah untuk mengganggu perempuan, [karena] rumah-rumah 
penduduk Madinah sempit, apabila malam perempuan-perempuan keluar ke 
jalan-jalan untuk membuang hajat, [dan] orang-orang fasik itu mengikuti mereka, 
jika mereka melihat perempuan berjilbab mereka berkata: ‘ini perempuan merdeka’ 
lalu mereka menghindar dari perempuan itu, apabila mereka melihat perempuan 
tanpa mengenakan jilbab, mereka berkata: ‘ini budak perempuan’ lalu mereka pun 
mengerubunginya.)

Dari paparan Al-Suyuthi di atas tampak bahwa para pemerkosa itu tidak berani 
mendekati perempuan berjilbab dan hanya berani mengganggu budak perempuan. 
Mengapa terjadi realitas seperti ini? Jelas ada aturan-aturan dan norma-norma 
tak tertulis yang mengisi benak mereka untuk mengatur bagaimana mereka menilai 
dan bertingkah laku terhadap perempuan berjilbab atau yang tidak. Bagaimana 
jika mereka tidak memperdulikan, walaupun perempuan itu memakai jilbab? Hal ini 
akan menimbulkan chaos karena bisa saja perempuan berjilbab yang mereka perkosa 
itu berasal dari qabilah terkemuka yang bisa membalaskan dendam dengan perang, 
atau pun di lain hari bisa saja anak perempuan atau istri mereka sendiri yang 
statusnya adalah perempuan merdeka diperkosa oleh orang lain. Tidak demikian 
halnya dengan budak perempuan, karena pada masa itu seorang budak tidak 
dipandang sebagai manusia, karena ia tidak berhak memiliki apa-apa, baik harta 
benda maupun hak asasi manusia.

Menghormati perempuan yang mengenakan jilbab telah menjadi norma dalam nalar 
kolektif kabilah-kabilah di jazirah Arab pada era pewahyuan Alquran atau bahkan 
jauh sebelumnya, karena jilbab sendiri telah lama dipakai di kawasan itu dan 
juga sebagian besar wilayah Mediterania terutama Persia oleh perempuan dari 
kelas terhormat ataupun dari kabilah-kabilah besar dan terpandang. Kalaulah 
norma penghormatan terhadap perempuan berjilbab itu tidak ada, maka anjuran 
Alquran agar perempuan muslimah (yang berstatus non-budak) untuk mengenakan 
jilbab agar mereka tidak lagi diganggu menjadi tidak ada gunanya, karena para 
pengganggu akan tetap mengganggu karena norma-norma penghormatan terhadap 
perempuan berjilbab belum pernah menjadi norma kolektif mereka. 

Mengapa jilbab pada waktu itu dapat menjadi simbol bagi perempuan terhormat, 
dari mana asal usulnya sehingga Alquran mengadopsi jilbab untuk menjadi penanda 
terhormatnya perempuan-perempuan muslimah yang mengikuti hijrahnya Nabi 
Muhammad ke Madinah? Bisakah kita menemukan penjelasan tentang asal usul jilbab 
di masa pra-Islam? Tampaknya bisa. Ada satu penjelasan menarik yang dituliskan 
oleh Nasaruddin Umar (penulis buku Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif 
Alquran, sebuah buku yang berasal dari disertasi doktornya di IAIN Jakarta) 
dalam tulisannya yang memiliki judul unik: Antropologi Jilbab. Tulisannya itu 
dimuat dalam jurnal Ulumul Qur’an. Jurnal pemikiran Islam yang kini sudah tidak 
terbit lagi karena kehabisan biaya.

Kalangan ahli antropologi berpendapat bahwa jilbab dan semacamnya bersumber 
dari apa yang menjadi tabu untuk dilakukan seorang perempuan ketika sedang 
menstruasi (menstrual taboo). Perempuan yang mengalami menstruasi diyakini 
berada dalam suasana tabu. Darah menstruasi (menstrual blood) dianggap darah 
tabu yang menuntut berbagai upacara dan perlakuan khusus. Menurut beberapa 
kepercayaan, seperti kepercayaan di dalam agama Yahudi, wanita menstruasi harus 
hidup dalam gubuk khusus (menstrual hut), gubuk yang dirancang sebagai tempat 
hunian perempuan yang sedang menstruasi. Di daerah yang mempunyai pegunungan, 
perempuan haid biasanya juga diasingkan di dalam goa-goa, seperti di sepanjang 
pegunungan Kaukasus. ...... agar terhindar dari pelanggaran menstrual taboo, 
wanita haid dituntut mengenakan identitas diri berupa kosmetik. Kosmetik 
disamping berfungsi sebagai sebagai isyarat tanda bahaya (signals of warning) 
terhadap orang lain, juga sebagai upaya untuk mencegah si mata iblis (evil
 eye/ chesm-e bad) masuk ke dalam tubuh yang bersangkutan. Itulah sebabnya 
alat-alat kosmetik diletakkan di daerah berlobang seperti: anting-anting dan 
giwang di telinga, hidung dan pusar; celak atau shadow di kening atau kelopak 
mata; lipstick di bibir; gigi emas atau perak; dan selempang di bagian 
kemaluan. Kepala adalah daerah paling rawan karena itu di bagian leher 
dilingkari dengan kalung. Tangan dan kaki paling sering bergerak dan menyentuh 
benda-benda lain, karena itu digunakan gelang dan cincin. Untuk lebih aman, 
disamping menggunakan alat-alat tersebut, wanita haid juga dituntut untuk 
mengenakan jilbab atau cadar, pakaian yang dapat menutup sekujur badan. 
Penggunaan berbagai jenis perhiasan dan kostum tersebut semula tidak 
dimaksudkan sebagai alat perhiasan kecantikan, tetapi semata-mata sebagai 
sarana penolak bala dan signal of warning bagi orang lain, itu pun hanya ketika 
sedang menstruasi...... Proses penggantian menstrual huts menjadi kerudung 
(menstrual hood) adalah
 hasil perjuangan perempuan bangsawan. Bagi mereka yang esensi bukan sembunyi 
di balik gubuk haid atau di goa-goa tetapi bagaimana mengamankan dan 
menjinakkan tatapan mata (menstrual gaza) dan mejaga berbagai pantangan, dan 
itu semua tidak mesti dilakukan di tempat khusus. Perempuan bangsawan kemudian 
mengenakan jilbab sebagai pengganti menstrual hut sambil mengenakan berbagai 
jenis kosmetik sebagai penolak bala. Belakangan perempuan non-bangsawan pun 
melakukan hal yang serupa dilakukan oleh perempuan bangsawan, sehingga gubuk 
haid berangsur-angsur hilang, jilbab dan kosmetik semakin populer. Belum 
ditemukan data pasti kapan proses peralihan itu terjadi, atau kapan jilbab 
mulai dikenal luas. Di setiap daerah mengalami proses perubahan masing-masing, 
yang jelas jauh sebelum agama Islam datang sudah ada institusi jilbab.
(”Antropologi Jilbab”, Ulumul Quran: Jurnal Ilmu dan Peradaban, no. 5, vol. VI, 
1996, hal. 36-37)

Jilbab pra-Islam berasal dari keyakinan mitologis. Dalam keyakinan ini 
perempuan yang sedang menstruasi diyakini membawa bala bencana sehingga harus 
diasingkan di tempat khusus, atau harus menutup tubuhnya dengan jilbab dan 
cadar. Ketika Islam muncul, Alquran mengadopsi jilbab ini untuk tujuan yang 
sangat pragmatis, yaitu melindungi perempuan-perempuan (yang ikut dengan Nabi 
Muhammad untuk hijrah ke Madinah) dengan pakaian yang telah menjadi simbol 
perempuan bangsawan atau kalaupun bukan bangsawan tetapi merdeka (bukan budak) 
pada masa itu. Sesuatu yang simbolis. 

Menurut Mostafa Hashem Sharif (”What is Hijab?”, The Muslim World, no. 3-4, 
July-October 1987), di kawasan Imperium Persia pra Islam, perempuan berstrata 
sosial tinggi disamping mengenakan jilbab juga ditutupi dari pandangan umum, 
jika bepergian mereka berada dalam kereta kuda yang bertirai. Perempuan 
aristokrat ini mulai mengenakan jilbab di ruang publik sejak Dinasti 
Hakhhamanesh, yang merupakan dinasti pertama yang memerintah setelah unifikasi 
berbagai kerajaan di kawasan Imperium Persia di tahun 500 SM. 

Yang pertama kali mengatur jilbab di dalam hukum positif adalah Kerajaan 
Assyiria. (Assyria adalah kerajaan kuno di Timur Tengah, kira-kira terletak di 
kawasan Irak sekarang. Orang-orang Yunani kuno menyebut wilayah Assyria ini 
dengan Mesopotamia. Pada sekitar tahun 1813 – 1780 S.M. Kerajaan Assyria ini 
sudah menjadi imperium yang terorganisir secara sentral. Imperium Assyria ini 
diperkirakan kolaps sekitar tahun 600 S.M.) Dalam Hukum Assyria, menurut Leila 
Ahmed dalam bukunya Women and Gender in Islam (1992: 14), jilbab harus 
dikenakan oleh perempuan bangsawan. Budak perempuan dan para pelacur dilarang 
keras mengenakan jilbab. Jika kedapatan mengenakan jilbab mereka bisa dikenakan 
hukuman cambuk, disiram ter panas di kepala, atau kedua kupingnya dipotong. Di 
masa Assyria ini jilbab tampaknya juga dipakai sebagai simbol yang membedakan 
perempuan menurut aktivitas seksualnya. Analisis terhadap Hukum Assyria di atas 
dapat dibaca dalam buku karya Gerda Lerner, The Creation of Patriarchy.

Setelah Kerajaan Assyria kolaps, besar kemungkinan hukum jilbab itu berevolusi 
menjadi norma-norma yang berlaku meluas di jazirah Arab, atau bisa juga hukum 
itu diadopsi oleh kerajaan-kerajaan di sekitarnya, seperti Persia dan 
Bizantium. Norma-norma ini terus hidup hingga ke masa pewahyuan Alquran. 

Pada era pasca pewahyuan Alquran pun, jilbab tetap menjadi simbol kelas. Para 
fuqaha pun memasukkan pembahasan mengenainya ke dalam kitab-kitab fiqih mereka. 
Para fuqaha klasik lebih memahami jilbab sebagai cara untuk membedakan budak 
perempuan dengan perempuan merdeka. Seperti yang dinyatakan oleh Ibnu Taimiyah 
(dikutip dari buku Majmu' Fatawa Syaikh al-Islam Ahmad ibn Taimiyah) berikut 
ini:

Wa'l hijabu mukhtasshun bi'l harairi duna'l ima-i, kama kanat sunnatul 
mu'minina fi zamaninnabiyyi wa khulafaihi anna'l hurratu tahtajibu wa'l amatu 
tabrizu. 
(Hijab [jilbab] itu dikhususkan untuk perempuan merdeka, bukan untuk budak 
perempuan, sebagaimana sunnah orang-orang mukmin di zaman nabi dan 
khalifah-khalifahnya bahwa perempuan merdeka memakai hijab, sedangkan budak 
terbuka). 

Kalaulah jilbab itu pakaian muslimah sebagaimana dipropagandakan oleh kalangan 
islamawiyyah (Islam fundamentalis), mengapa budak perempuan muslimah yang 
hendak mendirikan ibadah shalat cukup menutupi bagian tubuh antara pusat dan 
lutut, tidak perlu mengenakan jilbab (bahkan sekadar penutup payudaranya?), 
bukankah dia perempuan muslimah?

Seorang sahabat Nabi Muhammad bernama Abdullah Ibnu Abbas pernah mengatakan 
(dikutip dari kitab Al-Mudawwanah al-Kubra, Beirut: Dar Shadr, t.t., jilid I, 
halaman 94): “laysa ‘ala al-amah khimar fi al-shalat” (budak perempuan tidak 
memerlukan kerudung ketika menjalankan shalat). Seorang ahli fiqih bernama Ibnu 
Qudamah dalam kitab Al-Mughni (jilid I, halaman 643) juga menyatakan bahwa: “wa 
shalat al-amah maksyufah al-ra’s ja-izah la na’lam ahadan khalif fi hadza illa 
al-hasan.” (dibolehkan bagi budak perempuan untuk melaksanakan shalat dengan 
kepala terbuka. Saya tidak mengetahui adanya pendapat yang berbeda kecuali 
pendapatnya [Muhammad bin] al-Hasan [salah seorang murid Imam Hanafi, pen]).

Di dalam kitab Al-Mudawwanah al-Kubra (Beirut: Dar Shadr, t.t., jilid. I, 
halaman 94) disebutkan bahwa Imam Malik bin Anas, pendiri Mazhab Maliki 
menyatakan bahwa budak perempuan tidak perlu mengenakan kerudung atau jilbab 
ketika hendak menjalankan shalat: “wa qala Malik fi al-amah tushalli bi ghayri 
qina’ qala dzalika sunnatuha” (mengenai budak perempuan yang melaksanakan 
shalat tanpa mengenakan kerudung, Malik berkata itu aturan baginya).

Imam Abu Hanifah, pendiri mazhab Hanafi pernah mengatakan (saya mengutip 
perkataannya ini dari Ibnu Hazm dalam karangannya Al-Muhalla [Dar al-Fikr, t.t. 
jilid III, halaman 223], Ibnu Hazm mengutip pendapat Abu Hanifah ini untuk ia 
bantah, karena merupakan salah satu subyek ikhtilaf atau perbedaan pandangan 
dalam ilmu fiqih):

“Al-‘awrat takhtalif, fa hiya min al-rijal ma bayna al-surrah ila al-rukbah wa 
al-rukbah ‘awrat, wa surratu laysat ‘awrat. Wa hiya min al-hurrah jami’u 
jasadiha. Hasya al-wajhi wa al-kaffayni wa al-qadamayn. Wa hiya min al-amah ka 
al-rajul sawa-un sawa-un. Fa tushalli al-amah wa umm walad wa mudabbarah 
‘indahum ‘iryanatu al-ra’si wa al-jasadi kullahu. Hasya muazziran yasturu ma 
bayna surtiha wa rakabatiha faqath, la karahata ‘inda hum fi dzalik.” 

(aurat itu berbeda-beda, ‘aurat laki-laki adalah di antara pusat sampai ke 
lutut, lutut adalah aurat, tetapi pusat bukanlah aurat. Aurat perempuan merdeka 
adalah keseluruhan badannya, kecuali wajah, kedua tangan dan kaki. Aurat budak 
perempuan sama seperti laki-laki, sama satu sama lain. Maka budak perempuan, 
umm walad [budak perempuan yang melahirkan anak dari hasil hubungan seksual 
dengan tuannya), dan mudabbarah (salah satu jenis budak perempuan), mereka itu 
melakukan shalat dengan kepala dan badan terbuka keseluruhannya, kecuali rok 
yang menutupi antara pusat dan lutut mereka saja, tidak ada yang patut dicela 
dari keadaan mereka yang seperti itu.)

mukena: yang religius atau yang simbolis?

Ketika seorang perempuan muslimah hendak menjalankan shalat ia akan mengenakan 
mukena (di beberapa daerah di Indonesia atau Malaysia dinamakan dengan telkung 
atau telekung). Mukena dipakai untuk menutupi aurat. Apakah mukena ini adalah 
suatu hal yang religius atau masih dalam ruang lingkup yang simbolis?

Di dalam ilmu fiqih, aurat (atau 'awrah dalam bahasa Arab) didefinisikan 
sebagai bagian-bagian tubuh yang harus ditutup selama shalat dan tidak boleh 
terlihat. Dari pernyataan-pernyataan para fuqaha di masa lalu tentang definisi 
aurat bagi perempuan muslimah, terlihat mereka membedakan antara aurat 
perempuan merdeka dan budak perempuan. 

Pernyataan-pernyataan para fuqaha itu memiliki potensi besar untuk membuka 
kembali ruang perdebatan tentang determinasi-determinasi juristik terhadap 
aurat dan pakaian yang harus dikenakan oleh perempuan di dalam shalat ketika 
salah satu komponen di dalam pernyataan para fuqaha tersebut tidak lagi eksis, 
yaitu budak perempuan, karena perbudakan telah lama lenyap. Pembahasan yang 
lebih lanjut tentang aurat dan perbedaan jenis pakaian yang harus dipakai di 
dalam shalat, dengan menganalisis keseluruhan pendapat di dalam kitab-kitab 
Fikih klasik (sebelum abad ke-18 M), akan membongkar mitos busana muslimah atau 
islamic female dress secara keseluruhan. Busana Muslimah adalah mitos modern 
yang diciptakan, sebuah konstruk baru yang tidak pernah tertulis di dalam 
keseluruhan kitab fikih klasik, karena seorang budak perempuan yang muslim di 
masa itu tidak harus mengenakan penutup kepala apa pun ketika shalat, bukankah 
dia seorang muslimah? 

ketika yang simbolis menjadi yang ideologis 

Ketika Umar bin Khattab memutuskan melarang budak perempuan memakai jilbab, ia 
melihat ke dalam substansi anjuran Alquran di dalam surah Al-Ahzab ayat 59, 
bahwa jilbab berfungsi sebagai pembeda identitas perempuan di dalam masyarakat 
yang belum membebaskan diri dari institusi perbudakan. Oleh karena itu saya 
berkesimpulan bahwa jilbab terkait erat dengan institusi perbudakan, ketika 
perbudakan itu masih eksis. Model pakaian ini adalah salah satu komponen 
penting di dalam masyarakat Arab era pewahyuan di mana perbudakan dipandang 
absah. Jilbab adalah simbol pembeda identitas perempuan, untuk kepentingan 
itulah Alquran mengadopsinya. Perlu diingat bahwa Alquran tidak pernah 
mengharamkan perbudakan. Alquran hanya menganjurkan agar budak-budak 
dibebaskan, dan kitab-kitab fiqih kerapkali menjadikan pembebasan budak sebagai 
mekanisme penebusan dosa. Dengan anjuran ini, tahukah Anda pada tahun berapa 
institusi perbudakan dihapuskan di dunia Islam? Kekhalifahan Turki Usmani baru 
menghapuskan
 perdagangan budak di seluruh teritorialnya pada tahun 1857, kecuali di Hijaz 
(termasuk Mekkah dan Madinah) dimana kegiatan impor dan penjualan budak terus 
berlangsung secara normal sepanjang paruh kedua Abad ke-19. Satu-satunya 
perubahan adalah lokasi penjualan budak yang dilakukan di tempat pribadi dan 
tidak lagi dilakukan di tempat-tempat umum. Perbudakan baru dihapuskan secara 
resmi di Saudi Arabia pada tahun 1962. (Lebih lengkap lihat artikel Laurence 
Husson, “Indonesians in Saudi Arabia: Worship and Work”, dalam Studia Islamika: 
Indonesian Journal for Islamic Studies, No. 4, 1997, halaman 117).

Sekarang kita kerap membaca di buku atau majalah-majalah Islam bahwa jilbab 
adalah perintah Tuhan bagi setiap perempuan Muslim, sabagai suatu kewajiban 
yang harus ia taati. Lalu bagaimana menjawab pertanyaan mengapa budak perempuan 
Muslimah tidak perlu memakai jilbab? Bahkan ketika ia hendak menjalankan shalat 
sekalipun? 

Saya pikir jilbab sebagai pembeda pakaian perempuan merdeka dengan budak 
perempuan yang menjadi tujuan awal Alquran telah kadaluwarsa karena institusi 
perbudakan telah lama hilang di dunia Islam (walaupun institusi perbudakan di 
Saudi Arabia sendiri sebenarnya baru dihapuskan secara resmi pada tahun 1962). 
Yang tinggal kini hanyalah metamorfosis jilbab sebagai ikon busana muslimah 
yang dijadikan pembeda identitas antara perempuan muslimah dengan perempuan 
non-muslimah. Ide penegas identitas ini direproduksi dalam wacana kaum 
fundamentalis Islam di seluruh dunia. Pemikiran bahwa jilbab adalah busana 
muslimah dan bukan busana non-muslimah tidak pernah tertulis di dalam empat 
mazhab kitab-kitab fikih klasik. Wacana reproduksi baru ini mencoba mendirikan 
konstruk baru yang menghubungkan dirinya secara langsung dengan anjuran Alquran 
agar perempuan muslimah non-budak di masa pewahyuan mengenakan jilbab. Suatu 
penghubungan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Wacana ini tampaknya lahir
 dari semangat "kembali kepada Alquran dan Hadis". Membaca langsung Alquran dan 
hadis Nabi Muhammad tetapi membuang kekayaan tradisi pemikiran Islam klasik. 
Sebuah pembacaan yang tekstual dengan memproyeksikan problem di zaman sekarang 
kepada teks Alquran seringkali menghasilkan penafsiran yang ideologis, karena 
Alquran akhirnya hanya menjadi justifikasi dari proyeksi ideologis yang telah 
terbentuk sebelumnya. 

Dalam ilmu fiqih ada satu kaidah yang berbunyi: al-hukmu yaduru ma'a 'illatihi 
wujudan wa 'adaman (hukum itu akan terus berlaku bila 'illat-nya masih terus 
ditemukan dan berlangsung, dan hukum itu menjadi tidak berlaku lagi jika 
'illat¬-nya tidak ada lagi). 'illat adalah sesuatu yang mendasari dari 
penerapan suatu hukum, filsafat hukum Barat mungkin menamakannya dengan 
effective cause atau reason. 

Dalam hemat saya, reason dari hukum yang mewajibkan pemakaian jilbab itu adalah 
salah satu kalimat dalam ayat ke-59 dari Surah Al-Ahzab itu sendiri: 'dzalika 
adna an yu'rafna fa la yu'dzaina' (yang demikian itu supaya mereka lebih mudah 
untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu). Dikenali sebagai perempuan 
merdeka dan terhormat di dalam masyarakat yang masih mengakui perbudakan. Tidak 
diganggu karena mereka telah mengenakan jilbab sebagai simbol status perempuan 
merdeka, sebuah simbol yang telah diterima secara luas di jazirah Arab hingga 
ke Persia. Sesuatu yang simbolis sifatnya, dan oleh karena itu juga sesuatu 
yang temporer dan lokal, tidak universal.

Pada zaman sekarang, 'illat dari ayat itu sudah tidak ditemukan lagi. Kini yang 
simbolis di dalam jilbab telah mengalami metamorfosis menjadi yang ideologis. 
Yang ideologis ini lahir dari pemahaman Islam ala Kaum Wahabi atau Salafawiyah 
yang hanya merujuk secara harfiyah kepada Alquran dan Hadis. 

Yang ideologis ini akhirnya dimanfaatkan oleh para pebisnis, karena para 
pebisnis tidak pernah memperdulikan ideologi apa pun kecuali maksimalisasi 
keuntungan yang sebesar-besarnya. Maka lahirlah produk busana muslimah, pakaian 
renang untuk muslimah, shampo untuk yang berjilbab, majalah yang hanya terisi 
dengan perempuan berjilbab karena positioning majalah tersebut sebagai majalah 
islam agar meraih segmentasi pembaca muslim, buku-buku pelajaran yang harus 
dipenuhi oleh ilustrasi perempuan berjilbab agar buku itu memiliki citra 
sebagai buku yang absah ketika ia menjelaskan tentang Islam kepada para 
pelajar, dan sebagainya. Akhirnya yang ideologis pun lambat laun terkooptasi 
oleh yang kapitalis. 

Untuk menghindari banyak implikasi negatif dari pemakaian jilbab, para pemakai 
jilbab (dan juga para penganjur dan pemaksanya) sebaiknya mentransformasi 
jilbab menjadi yang estetis, bukan yang simbolis, yang religius, apalagi yang 
ideologis. Jilbab tidak lagi harus selalu dipakai seperti keyakinan yang 
mewabah sekarang bahwa sekali seorang perempuan muslimah telah memakai jilbab 
maka ia tidak boleh lagi melepasnya, karena ia diyakini telah hijrah, 
meninggalkan pakaian jahiliyah dan memilih pakaian Islam. Hmm… keyakinan yang 
sangat ideologis, dan tidak memiliki justifikasi yang dapat 
dipertanggung¬jawabkan. 

Jilbab memiliki potensi untuk menjadi pakaian resmi, seperti halnya kebaya, 
atau kemeja batik dan jas bagi laki-laki. Jilbab yang telah dibebaskan dari 
yang ideologis, yang religius dan yang simbolis akhirnya bisa dipakai oleh 
perempuan mana pun, tanpa memperdulikan asal-usul agama atau status sosial. 
Dipakai ketika menghadiri acara atau kegiatan yang lebih pantas jilbab dipakai 
kala itu, dan kemudian dilepas diganti dengan pakaian lain. Sesuatu yang biasa 
saja, seperti jas dan blazer, seperti bikini di pantai, atau peci yang kadang 
dipakai, kadang dilepas. Wallahu a’lamu bish shawab . 


© Sayed Mahdi, 2005   
  

  posted by Sayed Mahdi Jamalullail 

                
---------------------------------
Yahoo! Mail
Bring photos to life! New PhotoMail  makes sharing a breeze. 

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Join modern day disciples reach the disfigured and poor with hope and healing
http://us.click.yahoo.com/lMct6A/Vp3LAA/i1hLAA/aYWolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke