http://www.suarapembaruan.com/News/2006/03/10/index.html

SUARA PEMBARUAN DAILY 
Adakah Seni dalam Pornografi?
Oleh M Hafidz Ghozali 

 

DEBAT tentang perlu tidaknya pemberlakuan UU Antipornografi dan Pornoaksi masih 
menjadi pembicaraan hangat di masyarakat, meskipun sudah nampak niat DPR untuk 
memberlakukannya. 

Ada sisi yang menarik di seputar pro-kontra RUU Antipornografi dan Pornoaksi 
(RUU APP), yaitu digunakannya pendasaran seni dan estetika untuk membenarkan 
pornografi itu sendiri, yang pada dasarnya kontradiktif pada dirinya sendiri, 
karena tidak ada estetik tanpa etik. 

Di antara dua kutub yang berseberangan, pro dan kontra terhadap RUU APP, para 
pengelola industri kebudayaan tidak dapat mencari dasar pembenaran dari dua 
sudut pandangan yang berbeda itu. Baik itu, ditinjau dari segi moral menurut 
argumentasi dari pihak yang pro, maupun pendapat sebaliknya, dari kalangan yang 
menolak, yang mengkhawatirkan semakin tersendatnya kebebasan pers dan 
pengindahan terhadap SARA. 

Maka, satu-satunya pendasaran yang dirasa paling rasional untuk menolak usulan 
DPR itu, adalah dengan menganggap eksploitasi tubuh perempuan sebagai ekspresi 
seni yang membutuhkan kebebasan sepenuhnya. Dengan kata lain, baik dari 
sosiologi hukum, posisi mereka sebagai pelaku, patut mendapat pidana, juga dari 
sudut pandang etika moral masyarakat kegiatan, tersebut dikaitkan sebagai 
penyebab degradasi moral bangsa. Hanya dengan menjadikannya sebagai ekspresi 
estetika-lah, legitimasi untuk yang menjamin akumulasi kapital dari bisnis 
pornogarafi dapat terus dipertahankan. 

Diandaikan, bahwa untuk menghasilkan kreativitas seni yang berkualitas 
dibutuhkan tuntutan akan kebebasan yang juga semakin meluas. Sedangkan, yang 
memproduksi kebebasan dalam masyarakat tidak lain adalah politik. Besarnya 
kebebasan yang diberikan politik sebagaimana diimplementasikan melalui produk 
perundang-undangan akan diganti oleh para praktisi seni, dengan kreativitas 
yang berkualitas pula. 

Dalam praktiknya, apabila RUU APP direalisasikan sebagai kebijakan politik, dan 
pada saat yang sama pornografi-pornoaksi dianggap sebagai ekspresi seni dan 
estetika, berarti politik telah menghambat dan membuat tumpulnya kreativitas 
praktisi untuk menelurkan karya yang berkualitas. 


Seni dan Politik 

Antara seni dan politik, seolah-olah memiliki posisi diametris terkait aspek 
kebebasan itu sendiri. Bagi para politisi, memberikan kebebasan sepenuhnya 
kepada masyarakat sama dengan menggali liang kuburnya sendiri. 

Mengikuti definisi Max Weber, tentang arti politik sebagai ketrampilan untuk 
mempengaruhi dan menaklukkan kekuasaan orang lain demi kepentingan pribadi, 
maka dibukanya keran kebebasan dalam sistem politik, merupakan halangan dalam 
memperluas dan mempertahankan kekuasaannya. 

Bagi mereka, biaya yang dikeluarkan untuk memberikan kebebasan penuh kepada 
seniman tidak sepadan dengan keuntungan yang diperoleh kemudian. 

Dalam realitas politiklah, yang sering memanipulasi maksud dan tujuan seni 
sesuai dengan cita-cita politik yang didengungkan pemimpin di hadapan 
masyarakat. Seperti realisme sosialis yang menjadi ideologi resmi seniman bekas 
Uni Soviet di bawah pemimpin VI Lenin. Politisasi seni dan kebudayaan di 
Indonesia sendiri, dapat dilihat dari pertentangan ideologis antara Lekra yang 
lebih menganggap seni sebagai abdi politik dengan seni untuk seni menurut blok 
Manikebu. 

Namun, sebagaimana kita ketahui, sejarah Orde Lama ternyata melarang Manikebu 
dengan dalih kontra-revolusi. Apa yang ingin diutarakan, yaitu dengan 
mendasarkan diri sebagai ekspresi seni, sudah selayaknya RUU APP ditiadakan. 
Karena dengan semakin ikut campurnya negara pada kawasan seni, risiko hilangnya 
kreativitas seni dan estetis, tidak lama lagi akan terjadi. 

Oleh karena itu, untuk mempertahankan posisinya, bukan hal yang aneh jika para 
pengelola industri kebudayaan kita lebih senang berlindung di balik kedok seni 
daripada harus ikut memihak dari kedua pihak yang pro dan kontra. Tak ayal 
lagi, inilah suatu keadaan yang oleh Jean Beudrilard disebut The End of Screet. 
Segala hal yang menurut norma masyarakat tradisional dianggap tabu, kini telah 
direkonstruksi sebagai komoditi seksualitas. 

Setiap motif dan tujuan suatu tindakan, entah itu baik maupun buruk, menuntut 
dasar legitimasi dari sesuatu yang melampauinya untuk bisa diterima masyarakat 
yang seoalah-olah rasional. Di sini, seni-estetik pun dijadikan sebagai 
legitimasi normatif bagi keberadaan dan tetap eksisnya pornografi. Tak berbeda 
jauh dari perlakuan para teroris yang menjadikan agama sebagai pembenar dari 
tindakannya. 

Perubahan akan persepsi seni keindahan, tidak lepas dari konteks historis dan 
semangat zaman di belakangnya. Di saat semangat Ilmu Pengetahuan Alam berada 
dalam zaman keemasannya, juga mempengaruhi konsepsi masyarakat tentang arti 
indah itu sendiri. 

Sebagaimana diperlihatkan HG Gadamer, dengan mendasarkan pada objektivitas 
sebagai ukuran kebenaran ilmu alam, persepsi tentang keindahan pun oleh Kant, 
hanya dilihat dari sejauh mana ia mendatangkan kesenangan dalam memandang yang 
bagus. Kiranya, hanya dari sudut pandang inilah kebenaran dan objektivitas seni 
bisa dikomunikasikan dan memiliki validitas ilmiah. 

Kini, dengan kuatnya tekanan pasar dalam segala aspek kehidupan, reproduksi 
kesadaran di bawah payung industri kebudayaan, intepretasi terhadap makna indah 
hanya terpaut, bagaimana sesuatu dapat menjadi komoditi. Demikian pula dalam 
kasus pornografi, ia layak disebut indah karena mampu diperjualbelikan. 

Namun, sampai kapan ekspresi seni mampu dijadikan kedok pornografi-pornoaksi, 
akan sangat tergantung dari sejauh mana pemahaman kita tentang makna dan acuan 
keindahan itu sendiri dalam bingkai kehidupan. 


Estetika 

Ada kesulitan tersendiri untuk menilai estetika kehidupan karena erat kaitannya 
dengan subjektivitas, khususnya masalah selera. Namun, adanya kesadaran bahwa 
segala sesuatu tak lepas dari interpretasi dan rekonstruksi kita terhadap 
kenyataan alamiah. 

Sehingga, apa yang disebut sebagai indah, baik, buruk dan sistem nilai lainnya, 
merupakan hasil apresiasi manusia sesuai dengan konstruksi sosial budaya 
masyarakatnya. 

Nilai budaya suatu masyarakat, menentukan hasil maupun penilaian terhadap 
apresiasi para seniman. Estetis tidaknya sesuatu karya, ditentukan sejauh mana 
ia memberikan manfaaat bagi masyarakatnya. Sejauh mana ia merusak atau pun 
merawat keadaan sosial masyarakat menjadi ukuran suatu apresiasi seni. 



Dengan kata lain, tidak menafikan bagaimana para seniman sebagai anak zamannya 
masing-masing, dengan keadaan sosial masyarakat yang tentu mempengaruhi 
pembentukan karyanya. Sampai batas mana, ia bisa mengkoordinasi dan 
mempertahankan opini masyarakat, ukuran estetis tidaknya suatu karya. 

Menjadi jelas untuk menilai hubungan antara estetika dan pornografi. Kita bisa 
melihat, sejauh mana ia memberikan dampak positif bagi masyarakat. Terdapat 
hubungan dialektis antara estetika dan etika dalam masyarakat. Sehingga, apa 
yang disebut karya atau hasil kebudayaan masyarakat, tidak hanya terlihat 
sebagai seremenonial atau karya seni positivistis tanpa memiliki keterkaitan 
dengan realitas namun juga fungsional. 

Dengan demikian, ada sedikit kejelasan dalam menentukan, sejauh mana pornografi 
dengan berbagai penekanannya bisa disebut ekspresi seni, sangat tergantung pada 
penekanan moralitas yang inheren dalam ekspresi dan karya. 

Pada tahap berikutnya, fungsi pemeliharaan suatu karya sangat ditentukan oleh 
kultur masing-masing daerah dan sistem kebudayaannya. Bukanlah suatu ekspresi 
pornografi bagi suku Asmat untuk memakai koteka, dilihat fungsinya dalam 
memelihara tradisi adat masyarakat. 

Dan, belum tentu mendapat pemaknaan demikian, ketika diterapkan pada kebudayaan 
Jawa. Rencana penerapan RUU Antipornografi-Pornoaksi oleh pemerintah pada Maret 
2006, karena sulitnya mencari definisi maupun konsep yang tegas tentang 
batas-batasnya. Bisa-bisa malah menghambat ekspresi kebebasan masyarakat dan 
pelanggaran terhadap SARA. 

Jangan sampai pemerintah melakukan tindakan bodoh; dengan memilih membakar 
lumbung padi untuk membunuh satu tikus yang ada di dalamnya. * 


Penulis adalah pengamat sosial dan budaya, tinggal di Yogyakarta 


Last modified: 10/3/06 

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Join modern day disciples reach the disfigured and poor with hope and healing
http://us.click.yahoo.com/lMct6A/Vp3LAA/i1hLAA/aYWolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke