Masihkah NKRI menjadi "rumah bersama"?

Oleh Maria Hartiningsih
   
  Kebangsaan Indonesia berada di ujung tanduk. Setelah serangkaian 
kekerasan terhadap kelompok yang memiliki pandangan keagamaan lain 
maupun penghayatan keimanan yang berbeda, situasinya diperparah 
dengan munculnya RUU maupun berbagai perda yang menafikan keragaman 
sosio-kultural-religius masyarakat.

Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi (RUU APP), 
Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pelacuran di 
Tangerang, maupun sedikitnya 14 peraturan di berbagai daerah 
merupakan contoh paling jelas bahwa toleransi dan kemajemukan 
Indonesia sedang dipertaruhkan. Padahal, kedua hal itulah yang 
menjadi asas paling dasar pembentukan Negara Kesatuan Republik 
Indonesia (NKRI) yang diproklamirkan oleh Soekarno-Hatta pada 17 
Agustus 1945.

Pokok-pokok diskusi yang mengemuka di Wahid Institute, Jakarta, Rabu 
(15/3), itu bertautan dengan diskusi tentang kemiskinan dan utang 
dalam acara Tafakur Bersama oleh Al-Maun Institute di Baturraden, 
Purwokerto, awal Maret.

Dalam diskusi itu ditemukan bahwa berbagai peraturan yang mengatur 
moralitas individu tampaknya berkaitan dengan upaya menutupi 
pelanggaran moralitas sosial, seperti korupsi dalam arti luas dengan 
seluruh dampaknya.

Pengaturan moralitas individu tampaknya juga merupakan upaya 
pengalihan perhatian dari ketidakmampuan bangsa ini menyelesaikan 
persoalan yang lebih besar, yakni utang dan kemiskinan beserta 
seluruh dampaknya, seperti busung lapar, polio, TB, dan lain-lain.

"Moralitas kemanusiaan yang paling mendasar menyangkut apa arti hidup 
bersama, untuk saling peduli, berempati dan memperkuat solidaritas 
sebagai bangsa semakin menghilang. Seluruh persoalan besar itu tidak 
bisa semata-mata dilihat dari soal ekonomi," ujar Dr Moeslim 
Abdurrahman, pendiri Al-Maun Institute.

Penghakiman moral

Jangankan solidaritas dan empati, berbagai perda justru mendorong 
penghakiman moral atas upaya seseorang, khususnya perempuan yang 
mencari jalan untuk mengatasi persoalan hidup. Kemiskinan hanya 
menjadi persoalan bagi mereka yang mengalaminya.

Pendamping buruh dari Tangerang, Lilies, mengatakan, penerapan Perda 
No 8/2005 di Tangerang akan memiskinkan ekonomi perempuan kelas 
menengah bawah. "Situasi perempuan buruh di Tangerang sulit. Kalau 
menolak lembur malam mereka akan kena PHK," ujar Lilies dalam diskusi 
di Wahid Institute.

Seluruh kondisi saat ini, menurut Moeslim, memunculkan pertanyaan-
pertanyaan; apakah kita masih satu bangsa, apakah kita punya 
pemerintahan yang mengayomi warganya, dan apakah kita masih hidup 
bersama sebagai satu bangsa.

Komponen-komponen bangsa ini tampaknya juga telah kehilangan social 
trust karena kekerasan atas dasar prasangka sosial lebih dikedepankan 
dibandingkan duduk bersama membicarakan masalah yang ada.

Moeslim melihat semua yang disebut sebagai "reformasi politik" untuk 
mengembalikan Indonesia dari tangan Orde Baru yang represif 
kepada "Orde Reformasi" yang lebih terbuka tidak berhasil. "Siapa pun 
yang memerintah negara ini tak punya garis tentang strategi 
kebangsaan Indonesia," ujarnya.

Keberagaman agama dan suku yang dulu dapat ditransendensikan menjadi 
kekuatan kebangsaan, saat ini runtuh, sehingga kita berhadapan dengan 
persoalan krusial agama sebagai bagian kunci dari politik identitas. 
Pada saat yang sama, otonomi daerah disabot elite politik lokal untuk 
membangunkan semangat etno-nasionalisme.

"Di pihak lain, orang yang merasa punya kekuasaan ingin menggunakan 
negara untuk mengatur masalah privat, termasuk soal berpakaian. Itu 
tidak dibenarkan," tegas Moeslim, memberikan komentarnya mengenai 
pernyataan Ketua Majelis Ulama Indonesia Cholil Ridwan, yang seperti 
dikutip wartawan menyatakan, pakaian adat Indonesia yang 
mempertontonkan aurat harus dianggap sebagai pornoaksi dan sebaiknya 
disimpan saja di museum.

Pakar hukum dari Universitas Indonesia, Maria Farida, dalam diskusi 
di Wahid Institute juga menegaskan, dalam perundang-undangan 
nasional, ada batasan-batasannya. Moral, adat, dan agama tidak bisa 
dijadikan hukum tertulis. Dalam hukum ketiganya disebut sebagai norma 
otonom. Kalau diformalkan, berarti negara mencampuri urusan privat 
kehidupan warganya.

Melanggar asas

Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meutia Farida Hatta-Swasono 
yang dihubungi pada kesempatan terpisah menengarai pengotak-ngotakan 
baru berdasarkan cara berpakaian (khususnya perempuan) sebagai dampak 
penerapan berbagai perda yang memaksakan penafsiran tunggal nilai-
nilai dan hukum agama tertentu kepada masyarakat luas. Kalau materi 
RUU APP tidak direvisi, juga itu yang akan terjadi, begitu 
dikemukakan Meutia.

Sejarah kelahiran RUU APP sebenarnya didasari keprihatinan maraknya 
peredaran materi pornografi. Kalau itu soalnya, menurut Maria Farida, 
RUU itu sebenarnya tidak perlu ada.

"Kalau selama ini peredaran VCD porno dan tayangan televisi menjurus 
ke arah itu, yang salah siapa? Kan sudah ada UU Penyiaran dan UU 
Pers. Itu saja yang menurut saya diperketat penerapannya. Klausul 
pidana bisa dimasukkan ke revisi KUH Pidana yang sudah lima tahun 
tidak selesai itu," tambah Maria Farida.

Namun ternyata RUU APP terus dibuat bahkan materinya "diselewengkan" 
menjadi RUU yang berpotensi merusak semangat kebangsaan Indonesia.

"Pada awalnya tidak ada kata pornoaksi," sambung Asisten Deputi 
urusan Sosial, Budaya, dan Lingkungan, Sofinas Asaari, dari Kantor 
Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan yang mengikuti diskusi-diskusi 
awal pembuatan RUU itu.

Munculnya teror, ancaman bahkan somasi hukum dari kelompok yang 
mengatasnamakan agama tertentu terhadap masyarakat dan anggota DPR 
yang keberatan atas RUU APP, seperti diungkapkan anggota Komisi VI 
DPR dari F-PDIP, Ni Gusti Ayu Sukmadewi Djakse, memperlihatkan apa 
yang disebut Moeslim Abdurrahman sebagai polarisasi yang mengarah ke 
konservatisme agama.

"Polanya memperjuangkan 'akhlak', dan menganggap pihak lain 
sebagai 'tidak berakhlak', malah 'disetankan'. Isunya adalah 
fundamentalisme, dan fundamentalisme bisa apa saja. Di AS juga 
begitu," jelas Moeslim.

Sukmadewi menambahkan, secara substansial, RUU APP bertentangan 
dengan semangat kebangsaan Indonesia dan melanggar 
konstitusi. "Apakah anggota DPR itu sudah lupa pada sumpahnya ketika 
mereka dilantik?" tegasnya.

Maria Farida sependapat bahwa materi RUU APP melanggar semua asas 
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. "Saya heran 
kok Departemen Hukum dan HAM tidak memberi tanggapan," ujarnya.

Yang harus dikedepankan, menurut Nike Masruchiah yang membacakan 
tanggapan dari sektor tekstil, garmen, dan apparel adalah agenda 
pembangunan yang mendasar di bidang pendidikan, kesehatan, ketahanan 
pangan dan rasa aman bagi masyarakat. Inti pesannya yang penting 
adalah, "Mempertahankan semangat kebhinnekaan kita sebagai bangsa 
berdasarkan Pancasila".

Mendukung pandangan-pandangan sebelumnya, Ratna Batara Munti dari LBH 
APIK menegaskan bahwa RUU APP bukan hal yang mendesak saat ini. "Ada 
RUU lain yang lebih mendesak seperti RUU Anti-Trafficking dan revisi 
UU No 13 Tahun 2004 tentang Ketenagakerjaan yang ditolak buruh. 
Revisi itu memasukkan prinsip-prinsip fleksibilitas pasar tenaga 
kerja sehingga perusahaan outsourcing berperan besar. Buruh semakin 
kehilangan hak-haknya," ujar Ratna.

Dr Ula dari Fraksi Partai Golkar mengatakan, partainya menempuh jalan 
tengah, "untuk menyelamatkan perempuan dan anak", dengan kalau perlu 
membongkar RUU APP.

Namun, penulis dan pekerja seni Ayu Utami menegaskan RUU itu harus 
ditolak. "Pernyataan adanya revisi dari Ketua Pansus menurut saya 
hanya upaya membuat kita diam," tegasnya. Sukmadewi sebelumnya 
memaparkan tidak akan ada perubahan substansial dalam teks RUU APP 
yang "direvisi".

"Test case"

Meskipun penolakan terhadap RUU APP terkesan sangat kuat, menurut 
Sukmadewi, hanya gerakan moral yang kuat untuk menolak penyeragaman 
dan menjunjung tinggi keberagaman dalam kebangsaan Indonesia, yang 
sanggup menahan diundangkannya RUU APP bulan Juni mendatang.

DI DPR, kata Sukmadewi, terjadi polarisasi yang tegas antara pihak 
yang menerima dan yang menolak. Jumlah yang menerima RUU APP jauh 
lebih besar dengan klaim 70 persen organisasi masyarakat yang 
diundang juga menerima.

Hanya PDI-P yang bersuara keras dan tegas menolak RUU tersebut, 
kecuali dimasukkan perspektif keragaman budaya suku dan agama, tidak 
mengatur wilayah privasi, tak mengatur tentang dugaan apalagi dugaan 
tentang moral seseorang dan tidak mengatur moral dan etika umum 
berdasarkan moral dan etika agama tertentu.

"Tiga daerah akan mengajukan pembuatan perda antipornografi. Karena 
itu seperti ada tuntutan, RUU APP harus gol," ujar Sukmadewi.

RUU APP dan begitu banyaknya perda yang mengatur kehidupan warga atas 
dasar moral tertentu, menurut Moeslim Abdurrahman, merupakan test 
case dan barometer apakah Indonesia masih merupakan rumah bersama, 
apakah perasaan kebangsaan masih terasa.

"Ini test case lain setelah UU Sisdiknas. Waktu itu kita juga melihat 
Golkar menjadi sekutu untuk mengegolkan UU Sisdiknas," ujar Moeslim.

Pada tataran paradigmatik, menurut Ahmad Suaedy dari Wahid 
Institute, "politik perukunan" terus digunakan negara ketika agama 
berperan sentral dan menjadi bagian kunci dari politik identitas.

Asumsi bahwa kelompok-kelompok keagamaan tidak rukun, membuat 
munculnya RUU Kerukunan Umat Beragama maupun Rancangan Peraturan 
Bersama Menteri Agama-Menteri Dalam Negeri.

Situasi ini menjadi lebih kompleks jika ditaruh di dalam proses 
otonomi daerah. Di situ semakin dapat ditengarai bagaimana wajah 
birokrasi pemerintahan, arah kebijakan serta politik 
anggarannya "dibajak" untuk kepentingan satu kelompok.

Dengan situasi seperti itu, masihkah NKRI menjadi "rumah bersama"?

  Sumber: KOMPAS

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0603/17/sorotan/2516799.htm







Click:

http://www.mediacare.biz

or

http://mediacare.blogspot.com

or 

http://indonesiana.multiply.com

Mailing List: http://www.yahoogroups.com/group/mediacare/join
                
---------------------------------
Yahoo! Mail
Bring photos to life! New PhotoMail  makes sharing a breeze. 

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Join modern day disciples reach the disfigured and poor with hope and healing
http://us.click.yahoo.com/lMct6A/Vp3LAA/i1hLAA/aYWolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke