Masya Allaaahhhh,,, Mas Ary ini memang ahli mencuri napas :) 
Konon Mernissi lebih kontroversial ya? hehehe,,,, ntar saya disuruh
bongkar arsip WM lagi :) 

Btw, ini ada artikel lawas ttg dekon. itu, awalnya saya ragu
copy-paste krn penulisnya non-muslim. Tapi kalau sekedar lontaran
pemikiran saya kira open open saja kan mind-nya? lagipula ngga ada
semangat anti dan semacamnya. 

Saya juga harus permisi nih seperti Mbak Herni :) apalagi kalau yang
munculnya Mas Ary lagi,,,, tobat deh, nggak kuat napas hehehe.... 

Salam,
Ida

-----------------
Abu Zayd dan Politik Penafsiran
Tanggal dimuat: 27/9/2004
MENURUT saya, tepat pada soal politik penafsiran itulah Nasr Hamid Abu
Zayd memberi kontribusi yang sangat penting. Ia memberi alat analisa
untuk membongkar protokol pembacaan teks-teks agama yang selama ini
ditutup-tutupi, atau didaku sebagai bagian wacana keagamaan itu
sendiri, dan karenanya punya derajat ontologis lebih tinggi.

Oleh: Trisno S. Sutanto
APA yang terjadi ketika suatu wacana dituliskan menjadi teks? Dan apa
yang berlangsung ketika seseorang atau suatu komunitas membaca sebuah
teks? Teks apa saja: potongan surat cinta, naskah artikel koran,
outline karangan ilmiah, transkripsi wawancara, catatan kuliah... Teks
apa saja, tentang apa saja, oleh siapa saja. Termasuk bisikan Jibril
yang dituliskan Lia Aminudin. Jangan tanya apakah benar atau tidak
malaikat Jibril (atau Gabriel dalam tradisi Kristen) benar-benar
berbisik. Itu bukan persoalannya, setidaknya untuk esai ini. 

Mengikuti Riceour, filsuf kontemporer Prancis, ketika suatu wacana
dituliskan, yang terjadi sesungguhnya adalah pelestarian "makna
wacana", bukan "peristiwa-wacana" itu sendiri; the said, bukan the
saying. Dengan fiksasi itu, teks-teks tadi memperoleh otonominya yang
rangkap empat: otonom dari maksud (intention) pengarang; otonom dari
konteks sosio-historis awal yang melatarinya; otonom dari situasi
tatap muka yang menandai situasi dialog; dan akhirnya, otonom dari
kelompok sasaran (addresse) awalnya. Serentak dengan itu, teks menjadi
sesuatu yang pasti, sudah fixed.

Sifat otonomi teks di atas tentu punya konsekuensi-konsekuensi radikal
bagi siapa pun yang bergulat dengan penafsiran teks, termasuk
teks-teks yang kemudian disebut Kitab Suci. Otonomi teks, yang menurut
Ricoeur merupakan ciri konstitutif tekstualitas suatu teks, membuat
prinsip penafsiran setiap teks terbuka dan menihilkan upaya
menunggalkan tafsir. Setelah dituliskan, setiap teks punya karir
sendiri yang selalu mrucut dari maksud pengarang: ia dapat
dide-kontekstualisasi (dan sekaligus dire-kontekstualisasi!) dalam
situasi yang baru, menjumpai para pembaca baru yang berada di luar
kelompok sasaran awal, dan dengan itu memproduksi makna-makna yang tak
pernah dapat diduga—apalagi dikontrol—sebelumnya. Surat menyurat putri
bangsawan Jawa pada teman-temannya pada pergantian abad lalu, ketika
diterbitkan dapat menjadi pralambang menyingsingnya ufuk kesadaran
yang menerangi kegelapan (Habis Gelap Terbitlah Terang), menjadi teks
dasar "Feminisme dan Nasionalisme" (sic!), atau sekadar raison d'être
kewajiban berkebaya dan bersanggul setiap tanggal 22 April.

***



SAYA tidak bermaksud sinis pada surat-surat Kartini yang terus memukau
itu. Teks-teks itu—saya yakin tanpa disadari atau dikehendaki Kartini
sendiri sebagai pengarang—sudah punya karir sendiri yang mengatasi
horison maksud sang pengarang, didekontekstualisasi dan
direkontekstualisasi, dan (akan tetap) menemukan pembaca-pembaca barunya. 

Kompleksitas tafsir teks-teks yang kemudian disebut Kitab Suci tentu
jauh lebih problematis ketimbang surat-surat Kartini. Bukan karena
teks-teks Kitab Suci memiliki derajat ontologis lebih tinggi
("wahyu"), tapi juga karena jurang sejarah yang membentang antara
pembaca dengan teks itu yang sangat lebar. Pembaca tidak dapat begitu
saja menyeberangi jurang sejarah itu untuk menarik keluar (exe-gese)
makna, lalu menyeberangkannya lagi ke dunia sang pembaca. Pra-andaian
naif seperti itu, yang dulu pernah mendominasi metode tafsir
positivistik, sudah lama ditolak. Sebab, ketika saya sebagai pembaca,
menyeberangi jurang sejarah itu, saya membawa seluruh keberadaan saya
untuk masuk ke dalam teks (eise-gese). Jadi setiap exegese ternyata
sekaligus eisegese. 

Seorang ahli Biblika pernah mengibaratkan posisi kita, sang pembaca,
sebagai orang ketiga yang sedang menguping percakapan pengarang (atau
editor) Kitab Suci dengan audience atau addresse awalnya. Dunia
percakapan awal itu merupakan dunia tertutup yang tak pernah
mengandaikan adanya kita, pembaca yang menemukan teks itu ribuan tahun
kemudian. 

Karena itu, ketika saya—seorang Indonesia yang kebetulan beragama
Kristen dan tinggal di Jakarta pada abad ke-21—membaca perintah Isa,
"Bertobatlah! Sebab Kerajaan Allah sudah dekat", saya bagaikan
penguping yang mencuri dengar obrolan Isa (atau penulis Injil) dengan
umat Yahudi pada zamannya, sekitar 20 abad lalu. Di situ seluruh
kompleksitas ruang hermeneutis terbentang lebar: ada proses-proses
negosiasi makna antara saya dengan teks yang kebetulan saya baca. Saya
tidak sekadar mencuri dengar, tapi dengan membaca juga mencuri makna
yang dilestarikan dalam teks itu. Maka saya dapat, misalnya,
memosisikan teks itu sebagai wanti-wanti kiamat sudah dekat, lalu
membentuk sekte hari kiamat; sebagai perintah untuk meninggalkan
"kehidupan duniawi" dan mulai bertarak; menjadikannya pengobar
semangat untuk memulai reformasi gereja; atau menjadikannya pekikan
revolusioner sudah dekatnya harapan eskatologis shalom Kerajaan Allah
yang akan meluluhlantakkan tatanan sosial yang korup dan menindas. 

Semua kemungkinan pembacaan itu terbuka bagi saya, sang pembaca. Tidak
ada protokol-protokol pembacaan yang digariskan di dalam teks itu
sendiri. Seluruh protokol pembacaan berada di luar teks: kaidah
tafsir, filologi, rumusan dogmatis, asumsi metafisis, dstnya, yang
berusaha menertibkan anarki penafsiran sang pembaca. Teks-sebagai-teks
tidak berbunyi apa-apa, seperti diingatkan Sayyidina Ali. Kitalah,
sang pembaca, yang "membunyikannya". Atau, kalau mau dirumuskan lebih
padat, setiap penafsiran adalah politik penafsiran. 

***

MENURUT saya, tepat pada soal politik penafsiran itulah Nasr Hamid Abu
Zayd memberi kontribusi yang sangat penting. Ia memberi alat analisa
untuk membongkar protokol pembacaan teks-teks agama yang selama ini
ditutup-tutupi, atau didaku sebagai bagian wacana keagamaan itu
sendiri, dan karenanya punya derajat ontologis lebih tinggi. 

Protokol-protokol pembacaan itu, didedah Abu Zayd dengan sangat bagus
dalam Kritik Wacana Agama (LkiS, 2003). Buku itu memperlihatkan bahwa
titik sandar pertarungan politik penafsiran bukan pada wilayah seputar
teks—teks apapun, termasuk teks Kitab Suci,—melainkan pertarungan
menyeluruh pada semua aspek kesejarahan: sosial, politik, ekonomi,
kekuasaan, dsbnya. Semua itulah yang memberi protokol pembacaan
tertentu sebuah status otoritatif: sebagai satu-satunya protokol
pembacaan yang sahih. 

Ketika berkunjung ke Indonesia beberapa waktu lalu, Abu Zayd berulang
kali menegaskan posisinya sebagai seorang peneliti. Ranah yang menjadi
tugasnya adalah menyediakan alat analisa. Bagaimana alat analisa itu
dipakai bukan lagi urusannya. Ia tidak sudi menjadi "ideolog", baik
Kanan ataupun Kiri, yang berambisi menyediakan program intelektual
menyeluruh. Boleh jadi, virus postmodernisme yang mencurigai segala
bentuk narasi-agung sudah menyusupi dirinya. 

Abu Zayd lalu melontarkan gagasan untuk memperlakukan Qur'an (baca:
teks-teks Kitab Suci) lebih sebagai wacana (discourse) yang terbuka,
bukan sebagai teks yang tertutup. Ia seperti mau menembus seluruh
protokol pembacaan yang selama ini didirikan oleh relasi-relasi kuasa
guna menertibkan anarki pembacaan. Seperti Luther, yang mendobrak
protokol pembacaan hierarkis gereja, Abu Zayd mau—meminjam istilahnya
sendiri—"mendemokratisasikan penafsiran". Setiap pembaca seharusnya
menemukan Qur'an sendiri-sendiri, berdialog dengan rajutan teks-teks
yang terbuka, mendekontekstualisasi dan merekontekstualisasikan
teks-teks itu, sehingga dapat menyapa situasi kesejarahan yang terus
berkembang. Di situ, otentisitas pembacaan menjadi lebih penting
ketimbang "pembacaan yang baik dan benar" ala para birokrat. 

Menurut saya, gagasannya mengenai Qur'an sebagai wacana, walau belum
dirumuskan lebih utuh, layak dijelajahi dan digumuli lebih jauh.
Gagasan itu tidak saja membuka kemungkinan multi-pembacaan yang
kreatif ("pembacaan produktif", istilah Abu Zayd), tapi juga
menjadikan Qur'an sebagai teks terbuka, yang memungkinkan aneka suara
di dalamnya kembali berbicara pada kita yang membacanya. Bahwa usulan
ini membuka ruang hermeneutis yang sangat problematis, merupakan
konsekuensi setiap pembacaan produktif. Namun harga itu pantas
dibayar. Sebab dengan menjadikan Qur'an (atau teks-teks keagamaan
lain) sebagai wacana terbuka, terbentang pula kemungkinan Qur'an
menjadi wacana yang hidup dan menghidupkan, a living discourse.
Bukankah dengan begitu agama pun kembali memberi kehidupan? Wallahu
a'lam bisshawab. []


Trisno S. Sutanto, Direktur Eksekutif MADIA (Masyarakat Dialog Antar
Agama), Jakarta.






------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Join modern day disciples reach the disfigured and poor with hope and healing
http://us.click.yahoo.com/lMct6A/Vp3LAA/i1hLAA/aYWolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke