http://www.indopos.co.id/index.php?act=detail_c&id=228779

Kamis, 01 Juni 2006,



Membangun Mutual Trust


Oleh M. Rokib Kasmuri



PERBEDAAN dan keberagaman dalam konteks keindonesiaan sangatlah niscaya. Bila ditelisik secara geografis, ribuan pulau yang terbentang dari Sabang sampai Merauke telah meniscayakan adanya keragaman. Tentu saja pulau-pulau tersebut memiliki kearifan lokal (local wisdom) masing-masing.

Dari perbedaan dan keragaman itulah bangsa dan negara Indonesia terbentuk hingga kini. Perbedaan yang meliputi pelbagai aspek kehidupan tersebut harus bisa menumbuhkan kesadaran untuk hidup bersama. Artinya, harus ada kesadaran dan kesalingpercayaan (mutual trust) di setiap perbedaan.

Barangkali semua pihak yang berbeda, baik beda agama, suku, ras, dan budaya perlu bersikap jujur. Kesadaran sebagai bangsa Indonesia sebenarnya tumbuh sekitar 1920-an atas politik kultural para mahasiswa yang terhimpun dalam sebuah perhimpunan di negeri Belanda.

Ancaman disintegrasi bangsa sangatlah niscaya karena perbedaan kultur dan identitas yang teramat luas. Beberapa kasus seperti kerusuhan di Poso, Ambon, dan Tuban pascareformasi beberapa waktu lalu telah mengindikasikan perpecahan dan disintegrasi bangsa. Ancaman tersebut terus membayang dan membahayakan keutuhan bangsa yang plural ini.

Kemunculan pencarian identitas kesukuan dan keagamaan yang "liar" dan berlebihan di beberapa daerah memunculkan syakwasangka antarsuku, antaragama, dan antargolongan.

Tak heran setiap daerah berlomba-lomba memunculkan putra daerah dan menebarkan isu kedaerahan. Pegawai daerah lain, dengan berbagai konsekuensi, bisa dihambat karirnya hanya karena dianggap orang "luar".

Identitas kesukuan yang memicu fanatisme daerah pun tampak dalam ajang perlombaan penyanyi dan pemilihan bintang idola tertentu. Sikap ini melahirkan fanatisme kesukuan atau apa yang disebut Ibn Khaldun sebagai ashabiyah. Dalam Islam fenomena ini terjadi pada periode jahiliyah. Hal inilah yang mengindikasikan kian jauhnya masyarakat dari semangat keindonesiaan.

Belum lagi konflik internal yang terjadi dalam agama seperti serbuan terhadap (agama sempalan) jamaah Ahmadiyah, kasus Yusman Roy, Lia Eden, Jaringan Islam Liberal (JIL), dan lainnya yang memicu ketegangan dalam hidup berbhinneka tunggal ika.

Konflik seperti ini perlu dikaji lebih jauh sebagai upaya menghindari kepentingan-kepentingan kelompok dan kaum elite tertentu yang mengancam integrasi bangsa.

Fenomena lain yang belakangan masih mengalami tarik-ulur adalah munculnya rangan undang-undang (RUU) yang berkecenderungan mengusung kepentingan sepihak seperti RUU Antipornografi dan Pornoaksi (APP). RUU ini perlu ditinjau lebih dalam sebagai upaya penyadaran antara kepentingan kelompok tertentu dan realitas kultur lainnya.

Bila yang terjadi adalah pemaksaan sepihak, tidak tertutup kemungkinan akan melahirkan disintegrasi bangsa dengan hukum yang pincang!

Bahkan, saya mengendus beberapa konflik agama dan yang terkait dengan agama dipicu oleh tafsir yang terlalu rigid sehingga sulit untuk berdialog dengan realitas. Penafsiran seperti inilah yang berpotensi besar melahirkan konflik dan disintegrasi bangsa.

Dapat dikatakan menguatnya tafsir literalis dan meredupnya tafsir liberatif yang emansipatoris menumbuhkan konflik komunal dan membangkitkan budaya massa sebagai kekuatan represif yang melahirkan kerusuhan dan kekerasan berjubah agama.

Sikap jujur dan melek sejarah perlu ditingkatkan demi keutuhan bangsa. Sikap ini setidaknya dapat mengingatkan sejarah terbentuknya bangsa dan negara Indonesia yang terdiri atas pelbagai agama dan budaya. Sejarah Indonesia yang cukup suram seyogianya tidak diperparah dengan konflik yang sarat kepentingan pribadi atau golongan.

Adanya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang tumbuh dari rasa penindasan berlarut-larut dahulu kala perlu ditumbuhkembangkan hingga kesadaran untuk hidup layak terajut bersama.

Kebersamaan dalam pelbagai perbedaan ini melahirkan mutual trust antaragama dan budaya. Pemupukan sikap ini sejak awal telah termaktub dalam kanon bersama yaitu UUD '45.

Yang jelas, perbedaan dan pluralisme Indonesia bukanlah sesuatu yang harus diyakini jatuh dari langit begitu saja. Pluralisme tersebut perlu ditata ulang untuk menanggapi dan berdialog dengan realitas yang ada. Penataan ulang ini bisa jadi berstatus hukum yang adil dan transparan.

Dibangunnya hukum dalam negara dimaksudkan untuk memaksa setiap orang menghormati kebebasan orang lain. Kebebasan dalam negara plural seyogianya dapat merepresentasikan dan mengayomi seluruh entitas dan perbedaan yang ada.

Perbedaan yang memang niscaya ini bukan berarti ditepis oleh hukum. Tapi, hukum dapat melindungi setiap hak warga negara beserta kultur yang sudah barang tentu berbeda dengan kultur lain.

Doktrin moralitas agama yang dielu-elukan menjadi pengayom perbedaan ternyata tidak mampu menyelesaikan konflik. Bahkan, doktrin tersebut justru memicu konflik. Padahal, Islam -bila dikaji dengan hikmah- meniscayakan perbedaan dan mengharuskan toleransi antarperbedaan. Begitu pula agama lainnya.

Wallahu alam


Mohammad Rokib, mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya


[Non-text portions of this message have been removed]



Galang Dana Untuk Korban Gempa Yogja melalui Wanita-Muslimah dan Planet Muslim. Silakan kirim ke rekening Bank Central Asia 421-236-5541 atas nama RETNO WULANDARI.

Mari berlomba-lomba dalam kebajikan, seberapapun yang kita bisa.

=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment ....




SPONSORED LINKS
Women Islam Muslimah
Women in islam


YAHOO! GROUPS LINKS




Kirim email ke