http://222.124.164.132/article.php?sid=62358
Jagat Anak Pasca Gempa ===> Oleh : Bakdi Soemanto TATKALA anak-anak Indonesia merayakan hari Anak Nasional yang kebetulan jatuh pada Hari Minggu, 23 Juli 2006, pagi itu, saya meminjam buku tentang jagat anak dari seorang ahli ilmu jiwa anak, Detty Aryanti. Buku itu berjudul The Secret of Childhood karangan Maria Montessori (1974). Buku itu sudah kuna tetapi judulnya menggetarkan, terutama karena menyebut jagat masa kanak adalah the secret, Sang Rahasia. Buku itu mengingatkan saya kepada sebuah sajak karangan penyair Kahlil Gibran tentang Anak. Baris pertama sajak itu tertulis: "Anakmu bukan anakmu". Jika anak yang jelas-jelas dilahirkan oleh seorang ibu dan ternyata ibu itu tidak "berhak" mengatakan bahwa si orok adalah anaknya, apalagi orang lain: guru, tetangga, institusi atau negara sekalipun. Dalam sajak yang pernah dilarang pada era Soeharto, karena mempunyai pesan kebebasan bocah, Gibran menandaskan bahwa anak ibaratnya sebuah anak panah. Orangtua adalah busurnya. Jika anak panah lepas dari busur, ia akan melesat jauh ke muka. Orang tuanya tidak akan bisa mengunjungi anak di masa depannya sendiri, betapa pun lewat mimpi. Di sini tampak, orangtua, apalagi institusi, negara, tidak bisa memiliki anak. Orang Jawa mengatakan bahwa anak adalah titipan Gusti Allah. George Norton menandaskan: "God makes beautiful kids, we just take care of them". Tuhan menciptakan anak-anak yang manis dan lucu-lucu; kita hanya bertugas menjaganya. Pada era pasca gempa, tampak bahwa anak-anak juga menjadi korban. Sebagai korban, mereka bukan hanya menderita secara fisik, tetapi juga penderitaan mental. Mereka mengalami traumatik yang sangat, syok berat, lebih-lebih yang ditinggal orangtua mereka. Bahkan, banyak yang menjadi sebatang kara: kedua orangtua dan saudara-saudaranya menjadi korban. Pada masa recovery dan kebangkitan, banyak orang memberikan perhatian. Pada saat perhatian itu mulai diwujudkan, mulai tampak jati diri dari yang memberi perhatian itu. Dengan kata lain, tujuan tersembunyi di balik empati yang menyejukkan tampak jelas. Ada pamrih yang ngendon dalam hati mereka. Adapun tujuan yang tidak tampak alias the hidden objectives sangat bermacam-macam. Ada yang menanamkan sejak dini kecintaan kepada parpol tertentu. Ada pula yang melihat anak-anak yang sedang sangat menderita sebagai lahan tak bertuan untuk dibajak dan dibujuk masuk ke dalam keyakinan mereka. Mereka diberi iming-iming bermacam-macam. Iming-iming itu ibarat jala yang bisa menjerat anak-anak itu. Tentu saja, ini adalah kisah pasca gempa yang paling menyedihkan. Jika yang menjadi sasaran adalah orang dewasa, ya sudahlah. Tinggal berapa tahun lagi usia mereka. Biarlah kebutuhan mereka dipenuhi tetapi dengan imbalan bahwa mereka masuk ke dalam jaringan parpol atau keyakinan orang-orang yang membagi sepotong roti, selembar sarung atau segelar tikar. Orang-orang dewasa itu, kelak, setelah suasana lebih temata, akan bisa menilai kembali apa yang telah terjadi pada diri mereka. Mereka akan mulai berdialog dengan batin sendiri, pada malam hari yang sunyi, disaksikan sejuta bintang di langit, tentang hal-hal yang mungkin tak sesuai dengan nuraninya. Akan tetapi, bagaimana jika sasarannya anak-anak? Apalagi, anak-anak yang sedang menderita, ya fisik, ya mental. Mereka memerlukan kesegaran suasana bukan pemaksaan-pemaksaan dengan dalih mendisiplinkan atau apa pun. Anak yang sedang syok dan trauma, sama dengan orang dewasa, kehilangan orientasi. Ini persis seperti ditunjukkan oleh lakon-lakon absurd yang ditulis pada saat Hitler ngobrak-abrik Eropa. Dalam situasi seperti itu, ketika anak-anak sedang 'linglung', pasukan rahasia Nazi Jerman, merekrut anak-anak itu, dengan dalih menyelamatkan mereka dari syok, untuk dijadikan mata-mata. Dengan diberi pakaian pathfinder atau pramuka, anak-anak memata-matai tetangga bahkan orang tuanya sendiri. Mereka dibawa masuk bahkan disekap di dalam kamar dan diindoktrinasi, bahkan lengkap dengan ancaman-ancaman. Anak-anak itu mengalami trauma dua kali. Yang mengerikan, trauma yang datang kedua kali ini lebih menekan sebab si anak tidak berani mengatakan kepada orang tuanya sendiri. Demikian, tamatlah jagad anak di Eropa dan Perang Dunia Kedua itu. Seorang anak, demikian Maria Mantessori menulis dalam buku itu adalah: "sepenuhnya orang asing di dalam masyarakat orang dewasa" (192). "Kerajaan anak-anak bukan dari dunia ini" (193). Oleh karena itu, jika anak diminta melukis, akan sangat mungkin anak menggambar langit dengan warna merah, laut ungu, daunan pohonan hitam... Mengapa terjadi demikian? Sebab, itulah jagatnya. Ia memang orang asing bagi logika linier orang dewasa yang terstruktur. Kemurnian pikiran anak yang demikian ini harus dijaga, jika kita mengharapkan masa depan bangsa ini lebih sehat. Kalau orangtua mengindoktrinasikan wawasannya sendiri kepada anak tanpa memahami jagat mereka, sama saja kita menyiapkan jagat yang bobrok seperti jagat yang kita tempati sekarang. Maria Mantessori, selanjutnya menulis bahwa seorang anak datang ke dunia sebagai seorang manusia yang asosial. Maksudnya, tidak memperdulikan sekelilingnya. Kita bisa melihat sendiri, di tengah-tengah kekhusukan ibadat, seorang anak tiba-tiba melepaskan jengkelnya dengan menangis kuat-kuat tatkala merasakan haus dan butuh ASI ibunya. Ia memang belum mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Oleh karena itu, seorang anak dikatakan sebagai "a disturber of the accepted order", yang maksudnya, pengganggu tatanan yang mapan. Mengapa hal itu terjadi? Sebab, dibandingkan dengan orang dewasa, seorang anak jauh lebih aktif. Orang bisa menyaksikan tatkala dalam penerbangan jarak jauh: London-Jakarta, beberapa orang anak lari-lari dalam kabin pesawat. Orang-orang ngeri melihatnya bahkan jengkel dengan orangtua mereka mengapa membiarkannya saja. Akan tetapi, William Wordsworth menulis: "The Child is Father of The Man", yang terjemahan bebasnya: Anak adalah Guru setelah kita dewasa. Apanya yang akan diajarkan kepada kita yang hebat-hebat ini? Kejujuran dan kemurniannya. Pada pasca gempa, ketakjujuran bermunculan sangat jelas. Sementara itu, dengan dalih menyelamatkan anak dari trauma, orang-orang politik dan kaum moralis, mengajari anak mengikuti mau mereka. Dengan cara seperti ini, benarkah mereka menyelamatkan dan mengobati anak dari trauma. Ataukah mereka menciptakan tekanan batin baru bagi anak-anak yang sangat menderita. Mungkin, yang paling tepat apabila proses penyembuhan itu ditempuh dengan lebih sederhana dengan cara membiarkan anak-anak bermain-main dan bergembira. Dari sana, anak akan bangkit kedirian dan kemandiriannya dan kelak akan melesat sendiri ke masa depannya. Anak, kata Gibran, adalah Putra Sang Masa Depan. **** (Penulis, Guru Besar FIB-UGM)-n. [Non-text portions of this message have been removed] Galang Dana Untuk Korban Gempa Yogya melalui Wanita-Muslimah dan Planet Muslim. Silakan kirim ke rekening Bank Central Asia KCP DEPOK No. 421-236-5541 atas nama RETNO WULANDARI. Mari berlomba-lomba dalam kebajikan, seberapapun yang kita bisa. ======================= Milis Wanita Muslimah Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat. Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED] Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/