http://www.indomedia.com/bpost/102006/21/opini/opini1.htm
Penentuan Idul Fitri, Bolehkah Berbeda Saat ini perkembangan teknologi dan informasi yang canggih, sebetulnya muslim mendapatkan kemudahan untuk melaksanakan puasa dan Idul Fitri secara serentak di seluruh dunia. Oleh: Mispansyah Akademisi Sebagaimana biasa, kedatangan Ramadhan disambut meriah oleh muslim di seluruh dunia. Sayangnya, kehadiran bulan mulia ini terkadang 'ternodai' oleh ketidaksatuan sikap kaum muslimin. Misalnya saja dalam penentuan awal dan akhir Ramadhan. Sebagian ikut pendapat yang dikeluarkan organisasi sendiri, ada yang menyandarkan sepenuhnya pada keputusan pemerintah, ada pula yang mengikuti Timur Tengah, dan lain sebagainya. Tak jarang keanehan, kejanggalan, kebingungan bahkan perselisihan mengiringi awal-akhir Ramadhan. Di Indonesia juga akan terjadi dua hari raya yaitu 23 dan 24 Oktober 2006. Menurut empat mazhab yaitu Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi'i dan Imam Hambali, sekitar 13 abad lalu menetapkan wajib hukumnya bagi muslim di mana pun berada untuk memulai puasa Ramadhan dengan dasar penetapan rukyatul hilal (penyaksian bulan sabit). Namun ada beda pendapat dalam hal, apakah puasa harus serentak satu rukyat bagi muslim seluruh dunia. Ataukah tidak serentak, yakni boleh mendasari rukyat wilayah masing-masing? Imam Malik menyatakan, apabila penduduk Kota Bashrah (Irak) melihat bulan sabit Ramadhan lalu berita itu disebarkan sampai ke Kuffah, Madinah (Arab Saudi) dan Yaman, maka muslim di semua kota itu wajib berpuasa berdasarkan rukyat tersebut. Jika berita itu datangnya terlambat (sesudah fajar), mereka harus melaksanakan qadla puasa (Tafsir Al Qurthuby). Imam Hanafi menyatakan, perbedaan mathla' (tempat terbit dan terlihatnya bulan baru) tidak dapat dijadikan pegangan. Begitu juga melihat bulan sabit di siang hari, sebelum maupun menjelang zhuhur. Penduduk di negeri timur (sebelum timur Madinah) harus mengikuti (rukyat muslim) yang ada di belahan barat (barat Madinah), asalkan rukyat itu sah dan dapat diterima menurut syara' (Imam Al Hashfaky dalam Ad Daarul Mukhtar wa Raddul Muhtar). Imam Hambali menegaskan, apabila rukyat terbukti di suatu negeri yang jauh atau dekat maka muslim di seluruh dunia wajib berpasa (Mughniyul Muhtaj). Sebagian pengikut Mazhab Maliki di antaranya Ibnu Al Hajizun menambahkan syarat, rukyat itu harus diterima seorang khalifah, pemimpin tunggal kaum muslimin. Ibnu Al Hajizun berkata: "Tidak wajib atas penduduk suatu negeri mengikuti rukyat negeri lain, kecuali hal itu telah terbukti diterima oleh Al Imam Al A'dham (khalifah). Setelah itu muslim wajib berpuasa. Seluruh negeri (Islam) bagaikan satu, sedangkan keputusan khalifah berlaku untuk seluruh muslim." (Nailul Authar). Pendapat imam mazhab tersebut didasarkan pada berbagai hadits, di antaranya yang diriwayatkan Imam Al Hakim: "Sesungguhnya Allah telah menjadikan bulan sabit sebagai tanda awal bulan, jika kalian melihatnya (bulan sabit Ramadhan) berpuasalah. Jika kalian melihat bulan sabit Syawal, berbukalah. Apabila penglihatan kalian terhalang (awan), genapkanlah hitungannya menjadi 30 hari. Ketahuilah, setiap bulan tidak pernah lebih dari 30 hari (HR Al-Hakim dalam Mustadrak). Menurut Al Hakim hadits ini shahih dari segi sanad berdasarkan kriteria Imam Bukhari dan Muslim, meskipun keduanya tidak meriwayatkan hadits tersebut. Pendapat ini dibenarkan Adz Dzahabi, masih banyak hadits yang sejalan dengan makna hadits tersebut. Lafadzh hadits di atas bersifat umum, mencakup seluruh muslim. Jika penduduk negeri Timur Jauh (misalnya China, Jepang, Korea) melihat bulan Ramadhan maka rukyat mereka wajib diikuti muslim di negeri Belahan Barat (Maroko, Tunisia, Libia dan Aljazair) tanpa pengecualian. Karena itu wajib atas muslim di seluruh negeri Islam melakukan puasa pada hari yang sama. Pengikut Mazhab Syafi'i mempunyai pendapat lain. Apabila telah terbukti rukyat di suatu tempat, maka daerah lain yang berdekatan dengan tempat itu wajib berpuasa berdasarkan bukti tersebut. Jarak yang berdekatan ini dapat diukur dengan mathla' yang satu, yaitu jarak yang terletak antara dua mathla' (sekitar 24 farsakh, atau 120 kilometer). Sedangkan penduduk di wilayah yang jauh tidak wajib berpuasa berdasarkan rukyat tersebut, karena berbeda mathla'nya (Al Fiqh 'ala Al Madzhaahibil Al 'Arba'ah). Itulah dua kelompok besar pendapat di kalangan muslim dalam menentukan awal Ramadhan. Pendapat lain dari kalangan ulama mutaakhkhirin adalah puasa atau Idul Fitri dapat ditentukan berdasarkan hisab, tidak harus rukyat. Pendapat ini didasarkan pada hadits Rasulullah SAW: "Sesungguhnya kita adalah umat yang ummi, tidak dapat menulis dan berhitung. Maka puasalah (kalian) jika melihat bulan dan berbukalah (kalian) jika melihat bulan." (Shahih Bukhari dan Shahih Muslim). Dari hadits ini dipahami, jika muslim sudah mahir membaca, menulis dan berhitung maka tidak diperlukan lagi keharusan rukyat. Terlebih lagi penguasaan Ilmu Hisab dan perkembangan alat pendukungnya semakin canggih dan akurat, tentu lebih dibolehkan. Berdasarkan pengkajian terhadap dalil syara', pemahaman yang lebih tepat adalah memulai puasa harus berdasarkan rukyat. Sedangkan kemampuan Ilmu Hisab (astronomi) dapat kita manfaatkan untuk mewakili rukyat. Masa Rasulullah Semasa Rasulullah, negeri Islam meliputi Jazirah Arab yang luasnya 1.200.000 mil persegi sebanding empat kali luas gabungan Jerman dan Perancis. Dengan wilayah seluas itu, untuk menyampaikan berita dari belahan utara ke selatan Jazirah Arab berkendaraan unta perlu waktu berbulan-bulan. Menurut Imam Abu Fida', ketika itu abad VII H, untuk mengelilingi Jazirah Arab diperlukan waktu tujuh bulan 11 hari. Keterbatasan sarana informasi dan transportasi ini yang menjadikan penghambat tersebarnya berita rukyat ke segenap penjuru wilayah muslim. Diriwayatkan, pada suatu kali penduduk Madinah berbeda pendapat tentang penentuan akhir Ramadhan. Esok harinya, datang dua orang Badui (orang Arab pedalaman) yang memberikan kesaksian bahwa mereka telah melihat bulan sabit. Rasulullah memerintahkan seluruh muslim segera berbuka dan esok harinya melakukan Shalat Idul Fitri. Anas bin Malik meriwayatkan peristiwa ini dengan berkata: "Beberapa pamanku dari kalangan Anshar --sahabat Rasulullah SAW-- menceritakan kepadaku bahwa pada suatu hari mereka melakukan rukyat bulan Syawal. Esok paginya kami tetap berpuasa. Kemudian, pada petang hari (menjelang maghrib) datang serombongan orang dan bersaksi di hadapan Rasulullah bahwa mereka telah melihat bulan sabit. Maka Rasulullah langsung memerintahkan kepada muslim untuk segera berbuka, serta esok harinya melakukan Shalat Idul Fitri." (Nailul Authar). Ibnu Umar meriwayatkan: "Masyarakat (Madinah) beramai-ramai mencari rukyat (bulan Ramadhan). Lalu aku memberitahu Rasulullah bahwa aku telah melihatnya. Beliau lalu melakukan puasa dan seluruh masyarakat juga melakukannya." (Nailul Authar). Era Global Sebenarnya kesatuan puasa dan Idul Fitri ini bukan masalah muslim di Indonesia saja, tetapi merupakan masalah bagi seluruh dunia Islam. Bagi muslim, satu hal yang menjadi tantangan yaitu mengupayakan kemungkinan bersatu dalam berpuasa dan beridul fitri, di hari yang sama di seluruh dunia (sebagaimana serentak dalam wukuf arafah Idul Adha, satu kiblat dan Tuhan yang satu). Ini adalah suatu hal yang mungkin, karena didukung nash syara' yang dijalani Nabi Muhammad SAW bersama muslim di Jazirah Arab yang luasnya empat kali luas gabungan Jerman dan Perancis. Masalahnya, adakah kemauan dan kemampuan kita untuk mewujudkannya. Saat ini perkembangan teknologi dan informasi yang canggih, sebetulnya muslim mendapatkan kemudahan untuk melaksanakan puasa dan Idul Fitri secara serentak di seluruh dunia. Kaum muslim dapat memanfaatkan Teleskop Kamera Inframerah (TKI) yang dilengkapi penyempurnaan citra hilal (bulan sabit) dengan komputer dan dikombinasikan dengan rekaman video kamera televisi untuk penayangan langsung, karya Dr Farid R Ruskanda dari Puspitek Serpong. Dengan teknologi ini, rukyat bersama dapat dilakukan secara cermat dan teliti sehingga keraguan dan kejanggalan atas hasilnya dapat dihindarkan. Kerjasama antarnegara Islam yang melibatkan ahli rukyat dengan menggunakan teknologi mutakhir serta didukung jaringan televisi di masing-masing negara, sangat memungkinkan seluruh muslim ikut menyaksikan rukyatul hilal melalui siaran langsung televise di berbagai negeri Islam. Bukan Piala Dunia 2006 bisa, kenapa rukyat tidak? Dengan kemauan, sebenarnya metode ini sangat memungkinkan dilakukan dan biaya TKI relatif murah. Jaringan televisi juga terbiasa dengan tayangan langsung (Siaran Bola, gerhana matahari, dll). Oleh karena itu, secara teknis, financial dan bisnis, sistem rukyat bersama ini sangat memungkinkan. Barangkali hanya satu syarat yang kita perlukan, kemauan muslim dan pemimpin yang memelihara urusan mereka. Dengan demikian tak perlu ada lagi perbedaan di antara muslim dalam menentukan awal-akhir Ramadhan. Mari kita renungkan Firman Allah SWT: "Dan berpeganglah kamu semua kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai." (QS Ali Imran 103). Wallahua'lam bisshawab. e-mail: [EMAIL PROTECTED] [Non-text portions of this message have been removed] ======================= Milis Wanita Muslimah Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat. Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED] Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/ <*> Your email settings: Individual Email | Traditional <*> To change settings online go to: http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/join (Yahoo! ID required) <*> To change settings via email: mailto:[EMAIL PROTECTED] mailto:[EMAIL PROTECTED] <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/