KOMPAS
 Kamis, 26 Oktober 2006 

  
Dokter dan Tanggung Jawab Sosial 


Kartono Mohamad 

Apakah kehadiran dokter membuat kesehatan masyarakat menjadi lebih baik? Ini 
pertanyaan lama yang melatarbelakangi Ivan Illich menulis The Medical Nemesis, 
1970-an. Ia mengkritik pelayanan kesehatan modern yang membuat rakyat kian 
sakit. 

Pertanyaan itu relevan dan sulit dijawab hingga HUT ke-23 Ikatan Dokter 
Indonesia (23 Oktober). Selama ini pemerintah menanam anggapan bahwa kehadiran 
dokter akan meningkatkan kesehatan masyarakat. Anggapan itu seolah janji. 
Bagaimana para dokter membuktikan janji itu? 

Hal itu bergantung pada motivasi dokter saat mengikuti proses pegawai tidak 
tetap (PTT). Adakah ia ikut PTT agar lepas dari kewajiban dan bisa masuk 
spesialisasi, atau masuk PTT agar segera diangkat menjadi PNS dengan segala 
fasilitasnya, atau benar-benar ingin mengabdi dan menjadi agent of change di 
masyarakat. Pemerintah agaknya tak hirau soal itu, yang penting secara politis 
telah menunjukkan perhatian terhadap kesehatan rakyat. Apakah kehadiran dokter 
membuat masyarakat lebih sehat atau tidak itu soal lain. 

Data Departemen Kesehatan ihwal derajat kesehatan rakyat dibandingkan dengan 
jumlah dokter di provinsi menunjukkan asumsi itu tidak benar. Jumlah dokter per 
100.000 penduduk di Maluku, misalnya, mencapai 28 orang. Lebih tinggi dari 
jumlah dokter per 100.000 penduduk DKI Jakarta yang 22 orang. Namun, dari 
tingkat kesehatan rakyat (misal angka kematian bayi), Jakarta lebih baik 
dibandingkan dengan Maluku. Pemerintah (dan DPR) tentu akan menggunakan dalih 
geografis dan komunikasi sebagai alasan, padahal kedua faktor itu adalah given 
factor sehingga mestinya diperhitungkan saat membuat janji kepada rakyat. Di 
perkotaan, asumsi ketersediaan dokter akan membuat kesehatan rakyat kota lebih 
baik tidak terbukti. Kasus ketidakmampuan mengendalikan demam berdarah, TBC, 
HIV, bahkan malaria muncul kembali di beberapa tempat, menunjukkan derajat 
kesehatan rakyat kota tidak menjadi lebih baik meski banyak dokter ada di kota. 

Harapan kepada dokter 

Ihwal motivasi dan kesiapan dokter terjun ke masyarakat, jika hanya ingin 
menjadi PNS, sikap kreatif dan berani berinisiatif tidak akan muncul. Selama 30 
tahun lebih, PNS digembleng untuk hanya mengabdi dan patuh kepada atasan tanpa 
perlu berinisiatif bagi masyarakat. Kenaikan pangkat dan jabatan tidak 
didasarkan keberanian berinisiatif untuk rakyat, tetapi kepandaian menjilat 
atasan. Buat apa repot-repot melayani masyarakat? 

Faktor pendidikan di fakultas juga berperan membentuk motivasi. Pendidikan 
kedokteran kita, seperti dikatakan Seldin terhadap pendidikan kedokteran 
Amerika tahun 1950-an, membentuk dua macam dokter. Pertama, kelompok dokter 
ilmuwan-teknisi yang mengandalkan diagnosis kepada bantuan laboratorium (dan 
teknologi). Kedua, kelompok dokter yang dididik sebagai empirical users of 
science. 

Keduanya mempelajari manusia sebagai parts and particles dalam menangani 
pasien. Yang satu mengandalkan analisis ilmiah yang harus didukung teknologi, 
yang lain mendasarkan pengalaman ilmiah empiris. Keduanya bagus, tetapi tidak 
pernah, atau sedikit, diperkenalkan kepada pasien dalam konteks sosialnya 
sehingga dokter tidak mampu melihat perannya di masyarakat. Maka, mungkinkah 
mengharap dokter menjadi agent of change masyarakat. Dengan menempatkan dokter 
seperti itu, disertai harapan mereka akan dapat meningkatkan derajat kesehatan 
rakyat, bisa jadi hal sebaliknya yang terjadi. Adanya dokter mungkin memudahkan 
dan memperbaiki layanan kesehatan, tetapi tidak pernah mampu menekan angka 
sakit (morbiditas) atau malah meningkat. 

Peranan organisasi profesi 

Di negara berkembang, organisasi profesi kedokteran selalu menjadi kelompok 
elite. Suatu privilese yang dapat dijadikan kekuatan ke arah yang baik bagi 
rakyat atau sebaliknya. Kini organisasi profesi ini dinilai skeptis bahkan 
sinis oleh masyarakat Indonesia karena dinilai tidak sesuai harapan masyarakat. 
Ada e-mail kepada saya mengatakan, dokterlah yang membuat layanan kesehatan di 
Indonesia tidak bermutu dan mahal sehingga sebenarnya mereka ikut memiskinkan 
rakyat. 

Yang mungkin tidak disadari para dokter adalah mereka telah terbawa arus 
neoliberalisme yang menyerah kepada pasar. Layanan kesehatan yang diberikan 
lebih mengikuti selera hedonis masyarakat tanpa menggunakan ilmu dan 
kekuatannya untuk mengurangi hedonisme ini dan mengarahkannya kepada layanan 
bermutu berdasar the real needs masyarakat yang dilayani. 

Para dokter pun mengutamakan hedonis sendiri. Kesempatan ini ditangkap industri 
farmasi dan alat kedokteran sehingga terjadi kolusi, yang disebut medico- 
industrial complex. Pasien digunakan dokter untuk menekan industri agar 
memenuhi keinginannya dan industri memanfaatkan kesempatan untuk kepentingan 
omzet jualan. Pasien hanyalah komoditas. 

Pemerintah tidak peduli dengan hal itu karena tujuan politisnya tercapai dengan 
menempatkan dokter di mana-mana. DPR pun tidak peduli masalah itu. Dalam 
kesenjangan itu, masyarakat berharap organisasi profesi menjadi jembatan. 

Yang jadi pertanyaan bukan mampukah, tetapi maukah mereka menjembatani 
kesenjangan antara harapan rakyat dan selera politis pemerintah. Sayang, saat 
masyarakat mengeluhkan layanan kesehatan, mereka merasa dijadikan sasaran, lalu 
seperti pemerintah, bersikap defensif tanpa mencoba mengurai masalahnya. 
Kepercayaan masyarakat bahwa mereka berani tegas terhadap anggota yang 
menyimpang ikut menurun karena dibayangi perasaan, mereka juga tertuduh lalu 
membela diri. 

Ketika rakyat tidak dapat meminta perlindungan pemerintah, DPR, dan organisasi 
profesi, pembangkangan sosial pun dilakukan. Yang miskin tidak percaya kepada 
dokter, memilih tawaran alternatif yang sebetulnya tidak murah atau bermutu, 
sedangkan yang kaya ke luar negeri. Lucunya, para dokter yang tidak percaya 
diri menanggapi hal ini dengan menjadi pengobat alternatif, jadi agen pabrik 
obat, atau agen produk MLM melalui praktiknya. 

Kartono Mohamad 
Mantan Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) 


[Non-text portions of this message have been removed]



=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 

Kirim email ke