Artikel lama di Gatra, dikutip sama website keluarga muslim delft:
http://muslimdelft.nl/kliping/seharihari/bukan_sekadar_melepas_hasrat_seks.php

Bukan Sekadar Melepas Hasrat Seks
oleh: DHB Wicaksono

GATRA, 26 April 2003

Juragan Ayam Bakar Wong Solo hidup rukun bersama empat istri. Ada
suami yang serumah dengan istri-istrinya. KH Noer Muhammad Iskandar
cukup happy beristri dua.

BERPOLIGAMI tanpa dorongan hasrat seksual, apa mungkin? Bisa iya, bisa
pula tidak. Itu pengakuan pelaku poligami. Ada yang mengaku berbini
banyak bukan mengejar kepuasan seks, melainkan mewujudkan keluarga
besar yang sakinah. Tak sedikit pula yang terus terang bilang bahwa
mengawini banyak perempuan, ya, lantaran libidonya menggebu.

Puspo Wardoyo, juragan Rumah Makan Ayam Bakar Wong Solo, termasuk yang
blak-blakan soal ini. Pengakuannya —sambil senyum-senyum— hasrat
seksualnya yang menggelora memaksanya mengambil empat istri. Istri dua
atau tiga masih dirasa kurang. "Bahaya kalau (ketika itu) saya tidak
kimpoi lagi (dan lagi). Saya bisa berzina," kata pria 46 tahun itu. Wow!

Memilih istri muda pun tidak bisa serampangan. Sosok "pejantan tulen"
ini berselera tinggi. Syaratnya: si cewek berjilbab, taat beribadah,
dan berakhlak bagus. Kebetulan pula semuanya cantik dan sarjana. Soal
usia dan keperawanan? Aha, itu pun syarat penting. Usia 24-26 tahun
dan belum pernah berhubungan seksual. Pertimbangannya, "Mencumbunya
nikmat, juga mudah diatur," kata Puspo, sembari tersenyum. Ehm!

Syukurlah, kehidupan keluarga besar dengan 10 anak ini rukun dan
bahagia. Sang kepala keluarga menjalankan poligami "Islami". Ini
istilah Puspo, untuk membedakan berpoligami melulu berdasarkan nafsu
dengan yang berlandaskan agama Islam. Secara lahir-batin, kepala
keluarga yang berlebihan materi ini bersikap adil dan menyayangi
keempat istri dan anak-anaknya.

Jodohnya dengan istri pertama, Rini Purwanti, kini 38 tahun, bertaut
di Medan, Sumatera Utara. Waktu itu, sarjana pendidikan lulusan
Universitas Sebelas Maret, Solo, Jawa Tengah, ini mengajar di sekolah
menengah di sana. Puspo jatuh hati pada Rini, juga seorang guru, lalu
menikahinya di sana tahun 1979. Mereka kemudian membuka warung kaki
lima di Bandara Polonia, Medan.

Mereka lalu merintis usaha Rumah Makan Ayam Bakar Wong Solo, pada
1991. Hanya dalam tempo beberapa tahun, cabang baru di kota yang sama
mereka buka. Tahun 1996, Puspo kebelet mengawini Supiyati, ketika itu
berusia 26 tahun, karyawan restorannya. Keduanya menikah tanpa
sepengetahuan istri pertama. Kata Puspo, bukan karena Rini menolak
poligami, melainkan begitulah pesannya.

Ini diakui Rini. "Sebagai muslimah, saya menerima kehalalan poligami.
Cuma, waktu itu saya belum siap. Saya bilang, Mas Puspo kalau mau
nikah (lagi) langsung saja, tak usah memberitahu saya," tutur Rini.
Ibu enam anak ini baru tahu dimadu, enam bulan kemudian. Ia sempat
menangis. Tapi akhirnya berlapang dada. Malah, ia menemani suami dan
madunya itu mencatatkan perkimpoian ke kantor urusan agama.

Dilamarkan Istri

SETAHUN berselang, ketika Supiyati memberinya seorang anak, Puspo
menikah lagi. Ia berjodoh dengan Anisa Nasution, 24 tahun, juga
karyawan restorannya di Medan. "Saya pilih Mas Puspo karena akhlaknya
baik dan keluarganya rukun," kata Anisa.

Kala melamar Anisa, Puspo didamprat calon mertua. Bagaimanapun,
orangtua pasti tak suka anak perempuannya dijadikan istri kesekian.
Puspo pun lapor pada Rini. Eh, malah Rini yang mendampinginya
melamarkan Anisa lagi. Walhasil, lamaran itu diterima. Agaknya,
kegigihan dan kesungguhan itulah yang membuat orangtua Anisa luluh.

Seiring dengan itu, restoran ayam bakarnya berkembang menjadi empat
cabang. Puspo yakin, setiap perkimpoiannya membawa rezeki. Maka, pada
1999, ia mengawini istri keempat, Intan Ratih—pilihan istri keduanya.
Lagi-lagi karyawan restorannya, cabang Semarang, Jawa Tengah. Dari
istri ketiga dan keempat, Puspo memperoleh masing-masing satu dan dua
anak. Jumlah anaknya kini 10. Restorannya pun beranak-pinak menjadi 26
cabang di kota-kota besar.

Telepon-teleponan

KEEMPAT istri Puspo tidak tinggal serumah. Istri pertama dan kedua
menetap di Medan. Istri ketiga di Bumi Serpong Damai, Tangerang,
Banten. Istri "bontot" di Puri Bintaro, masih di Tangerang. Para istri
ini mendapat limpahan materi dari sang suami. Mereka tidak terlibat
dalam bisnis restoran, cuma mengawasi standar bumbu masakan.

Puspo berusaha bersikap adil, termasuk soal pembagian waktu kunjungan.
Sepuluh hari di Medan, 10 hari di Tangerang. Sesekali keempat istrinya
diajak kumpul bersama mempererat silaturahmi. Kadang rame-rame dibawa
dalam seminar poligami.

Istri-istri Puspo sering saling telepon. Selain sekadar berhalo-halo,
juga mendiskusikan bagaimana servis terbaik buat suami di kasur. Bukan
main! "Yang muda belajar pada senior. Hubungan mereka sangat akrab,
seperti adik-kakak," kata Puspo, yang tak keberatan anaknya dipoligami
orang. Lelaki ini bermaksud menyebarkan kisah suksesnya itu dalam buku
Kiat Sukses Beristri Banyak yang tengah digarapnya.

Perawan Tak Penting

TENTU, jauh sebelum "buku penuntun" tadi dibuat, banyak pelaku
poligami yang sukses mengurusi istri-istrinya. Misalnya Mohamad Rizal
Chatib, 44 tahun. Direktur Grup Rufaqa —holding dari PT Hawariyun— ini
juga punya bini empat. Semuanya rukun dan patuh pada sang suami.

Berbeda dengan alasan Puspo Wardoyo yang terang-terangan mengaku
berpoligami antara lain didorong gelora seks, Rizal Chatib lebih
melihatnya sebagai jodoh yang tak bisa dihindari. Bukan sekadar seks.
"Bukan saya yang merancang. Kalau bukan jodoh, ya, tak jadi," kata Rizal.

Lantaran bukan didorong nafsu, Rizal tidak mensyaratkan macam-macam
pada jodohnya. Istri keempatnya, Andi Suaibah, misalnya, adalah janda
dengan seorang anak —kini berusia 16 tahun. Suaibah dinikahi Rizal
pada 2001 atas prakarsa istri sejawatnya.

Suaibah, yang menetap di Jakarta, bahagia menjadi istri keempat. Ia
melihat poligami tidak merendahkan wanita. Malah menguntungkan. Sebab,
adakalanya bisa terbebas dari tugas keseharian melayani suami dan
anak. "Kalau monogami, harus siap 24 jam tiap hari. Bayangkan, sanggup
nggak?" ujar Suaibah kepada GATRA.

Rizal pertama kali menikah pada 1986. Dia meminang Sufiah, asal
Bukittinggi, Sumatera Barat. Perkimpoian ini dikaruniai lima anak.
Sepuluh tahun berselang, Rizal menikahi Athirah, wanita Aceh, yang
memberinya seorang keturunan. Tahun 1999, ia memperistri Kamariah,
perempuan asal Malaysia, yang memberinya seorang anak. Ketiga istrinya
ini menetap di Pekanbaru, Riau. Mereka mengelola boarding school milik
Grup Rufaqa.

Tinggal Seatap

SEJAWAT Rizal di Rufaqa, Dr. Abdurahman Riesdam Efendi, juga sukses
berpoligami. Wakil Presiden Grup Rufaqa itu punya bini empat, dan
memperoleh empat anak. Ia menikahi Dr. Gina Puspita, teman kuliah di
ITB, sebagai istri pertama. Mereka dikarunia tiga anak. Tahun 1995, ia
kimpoi dengan Basyiroh Cut Mutia yang memberinya seorang anak. Enam
tahun berselang, ia kimpoi lagi dengan Siti Salwa asal Malaysia. Tahun
lalu, ia kimpoi dengan Fatimah.

Ketiga istri mudanya ini merupakan pilihan istri pertama. Mereka rukun
dan bahagia. Kebetulan mereka bekerja di kantor yang sama. Malah
mereka menetap serumah, di Taman Rempoa Indah, Ciputat, Tangerang.
"Kalau suami sedang dengan istri yang lain, kami bertiga
ngobrol-ngobrol di satu kamar," tutur Gina. Bila berada di luar kota,
mereka bertukar pesan lewat SMS. Pokoknya, akrab. "Poligami yang
didasarkan pada Allah SWT tidak akan menimbulkan masalah," Gina
menambahkan.

Gina dan Rizal menyayangkan adanya organisasi yang mewadahi pelaku
poligami. "Tak perlu diorganisir, yang penting diamalkan. Dengan
membentuk organisasi malah membuka front, mengundang lawan," kata
Rizal. Contohnya Masyarakat Poligami Indonesia, bentukan Puspo Wardoyo
tahun 2001, yang ditentang gerakan feminisme.

Wapres Hamzah Haz Juga Berpoligami

SEBAGAI Presiden Masyarakat Poligami Indonesia, Puspo memang gencar
mengampanyekan poligami lewat seminar dan talkshow. Ia terang-terangan
mengajak orang untuk berpoligami. Malah, dalam waktu dekat, ia akan
menggelar Polygamy Award 2003. Seorang nominatornya, Wakil Presiden
Hamzah Haz. Pertimbangannya? "Dia berani menambah istri secara terbuka
di saat menjabat di pemerintahan. Banyak orang berpoligami tapi
sembunyi-sembunyi," kata Puspo, serius.

Agaknya Hamzah memang layak menjadi nominator. Hamzah diketahui punya
tiga istri, hidup rukun dan damai. Paling tidak, itu diakui istri
ketiganya, Soraya Smith, yang bersikap cukup terbuka. "Hubungan kami
(sesama istri) baik-baik saja. Demi Allah, mereka sangat baik.
Benar-benar tidak ada problem," kata Soraya kepada Luqman Hakim Arifin
dari GATRA.

Istri pertama Hamzah bernama Asmaniah, kelahiran Pontianak, Kalimantan
Barat, 27 Juli 1942. Dia menetap di Jalan Tegalan, Jakarta Timur,
rumah yang dihuni Hamzah sejak 1982. Istri kedua, Titin Kartini,
kelahiran 4 Mei 1946, tinggal di Bogor, Jawa Barat. Dari kedua istri
ini, Hamzah memperoleh 12 anak, sembilan di antaranya dari istri pertama.

Istri ketiga, Soraya Smith, kelahiran Lampung, 17 Oktober 1963. Nama
janda cantik —dengan tiga anak dari dua suami terdahulu— ini sempat
menyeruak bersamaan heboh penangkapan Ibra Azhari dalam kasus narkoba,
Februari silam. Waktu itu beredar isu bahwa Laura Wendari, teman Ibra,
tak lain anak tiri Wakil Presiden (Wapres) Hamzah. Soraya menggelar
pertemuan pers dan menjelaskan bahwa Laura bukan anak tiri wapres.

Soraya dan Hamzah menikah dua tahun silam, sebelum Hamzah menjabat
wapres. Hamzah tadinya pasien Soraya, yang sudah lama membuka semacam
klinik pengobatan alternatif. Si pasien yang menderita sakit di ulu
hati ternyata punya masalah dengan terapi sentuh sang "tabib" yang
tujuh tahun menjanda itu. Ia tak bersedia disenggol perempuan bukan
muhrim. Sebagai jalan keluar, mereka harus menikah.

"Pak Hamzah baik sekali. Saya yang memintanya menjadi muhrim saya, dan
Bapak (Hamzah) bersedia," tutur Soraya. "Saya bercita-cita punya suami
ketiga sekaligus istri ketiganya. Saya berdoa, mudah-mudahan mendapat
jodoh. Alhamdulillah, tercapai juga," ia menambahkan.

Bukan Seks Semata

SORAYA tak keberatan berbicara soal kehidupan seksnya. Pengusaha di
banyak bidang —antara lain garmen, marmer, dan hasil bumi— ini
menuturkan, Hamzah berusaha membagi waktu untuk istri-istrinya secara
adil. Minggu pertama full untuk istri pertama. Minggu kedua, Sabtu dan
Minggu, bersama istri kedua. Pada minggu ketiga, juga Sabtu dan
Minggu, giliran kumpul dengan istri ketiga.

Cukupkah pertemuan itu? Soraya mengaku cukup, karena ia juga memaklumi
kesibukan sang suami sebagai wapres. Ia pun mengatakan dirinya
tidaklah memikirkan seks saja. Ia bahagia dengan kondisi sekarang ini.
Apalagi, katanya, sang suami sering berucap, "Aku paling bahagia punya
istri patuh-patuh padaku." Kata Soraya, "Kebahagiaan dan kasih sayang
itu nomor satu, bukan nafsu. Kuncinya: anak, ibadah, dan kuat menerima
takdir. Kan, dinikmati saja hidup ini."

Bahagia di Hari Tua

DALAM hal mengambil bini baru, Debby Nasution agaknya juga berprinsip
seperti Hamzah Haz dan Rizal: janda pun tak mengapa, yang penting
jodoh. Debby, pemusik dan mubalig, menjadikan Sitoresmi sebagai istri
keempatnya, pada 1996. Sito, kini 53 tahun, sudah dua kali menjanda.
Mula-mula jadi janda budayawan W.S. Rendra, 1979. Ketika itu, ia
menjadi istri kedua Rendra (dari tiga istri).

Sepuluh tahun berselang, ia menikah dengan Sjukri Fadholi, seorang
ulama — kini Wakil Wali Kota Yogyakarta. Perkimpoian keduanya ini
kandas pada 1996. Tak lama setelah masa idah rampung, ia tak keberatan
dilamar Debby Nasution —dua istrinya telah meninggal. Perempuan
bernama lengkap Hajah Raden Ayu Sitoresmi Prabudiningrat itu mengaku
amat bahagia di hari tuanya. Ia termasuk orang yang lantang mendukung
poligami. "Saya siap kalau Bang Debby menikah lagi," kata perempuan
yang masih cantik ini.

Poligami "Irit"

KIAI Haji Noer Muhammad Iskandar,SQ, termasuk penganut poligami
"irit". Pengasuh Pondok Pesantren Asshidiqiyah itu baru punya dua
istri: Nur Jazilah dan Khusnul Khotimah. Hidup berpoligami dilakoninya
sejak 1993. Atas anjuran istri pertama yang merasa tidak mampu
menjalankan fungsinya sebagai istri secara sempurna, ia menikahi
Khusnul, janda berusia 27 tahun. Tentu atas dukungan empat anaknya,
serta keluarga istri pertama.

"Dengan bismillah, semuanya dilalui dengan lancar," kata anggota
Fraksi Kebangkitan Bangsa DPR-RI berusia 48 tahun itu. Ia merasa
happy. Khusnul Khotimah diberi jabatan sebagai pengasuh 2.000-an
santri di Pesantren Asshidiqiyah Batuceper, Tangerang. Nur Jazilah
menjadi pengasuh 1.500-an santri di Pesantren Asshidiqiyah Pusat di
Kedoya, Jakarta Barat. Mereka mendapat materi cukup dari suami.
Keduanya diberi rumah dan mobil, masing-masing Toyota Kijang dan
Daihatsu Taruna. Sang kiai sendiri naik Honda Odyssey berpelat nomor
N-1-SQ.

Soal membagi waktu? Noer Iskandar berusaha seadil-adilnya. Pada
pribadi kedua istrinya, ia menanamkan pengertian bahwa membagi kasih
adalah ibadah dunia-akhirat, sehingga tidak ada keinginan monopoli di
satu pihak. Kiai kondang itu menyediakan waktu tiga hari berselang
kepada kedua istrinya. Uniknya, bila ia lupa jadwal kumpul, kedua
istrinya bergantian mengingatkannya. Untuk lebih mempererat
silaturahmi, setidaknya dua bulan sekali kedua istrinya dipertemukan
dalam rapat di yayasan. Walhasil, kedua istri itu rukun dan akrab.

Begitulah sekelumit kisah happy para pelaku poligami. Semuanya
terdengar indah, bukan?

TAUFIK ALWIE, ASRORI S. KARNI, MUJIB RAHMAN, RACHMAT HIDAYAT,
DAN JOKO SYAHBAN (YOGYAKARTA)


Kirim email ke