Ini salah satu pembelaan soal poligami dari milis sebelah..
Ada yang berkenan menanggapi (lagi)? :D

Wassalam,

Irwan.K

---------- Forwarded message ----------
From: Her Budiarto <[EMAIL PROTECTED]>
Date: Dec 4, 2006 2:04 PM
Subject: [Kajian_LepasKerja] Fw:  heboh kawin lagi
To: [EMAIL PROTECTED], [EMAIL PROTECTED]


----- Original Message -----
From: verri DJ
Sent: Monday, December 04, 2006 11:01 AM
Subject: heboh kawin lagi
Tadi pagi (Senin, 4/12) Jam 5.00 pagi, aku mendengarkan ceramah Agama Islam
di RRI, yang biasanya dibawakan oleh AA Gym. Biasanya yang memberikan
ceramah adalah AA Gym langsung, tapi hari ini lain dari pada biasanya,
karena AA Gym bukannya berceramah, tetapi malah di'ceramahin' oleh salah
seorang Ustad (Maaf, saya kurang menyimak siapa nama Da'inya karena
mendengarkan radionya sambil nyetir mobil), juga AA Gym di'ceramahin' oleh
pendengarnya yang dikirimkan melalui SMS maupun surat dan telepon siaran
langsung.
Sudah bisa ditebak, isunya adalah isu terhangat sekitar kasus polygaminya
dengan seorang janda beranak tiga orang, namanya Rini(Alfarini
Eridani). AA Gym cukup tegar menerima hujatan, dan sekaligus sanjungan.
Dengar-dengar sih teh Ninih istreri tuanya menerima dengan legawa, tapi
sempat juga dia buka suara "aku harus ikhlas menerimanya, dan harus tetap
baik, karena kalau tidak maka suaminya akan ke madunya terus...", itu
pesan teh Ninih yang ditirukan oleh seorang kawanku.

Bicara isu sekitar polygami, tidak pernah lekang, muter-muter tapi enak
untuk jadi bahan diskusi. Aku pernah diskusi dengan salah seorang kawan,
Syamsuddin Ramadhan, yang ternyata nggak pernah berakhir, nyambung
terus....padahal sudah setahun topiknya terlewatkan. Menurutnya, pada
dasarnya, syari'at telah membolehkan seorang laki-laki memiliki isteri lebih
dari satu. Akan tetapi, jumlah maksimal wanita yang boleh dinikahi
adalah empat orang. Ketentuan semacam ini didasarkan pada firman Allah SWT:
"Maka kawinilah wanita-wanita (lain yang kamu senangi, dua tiga,
atau empat. Kemudian, jika kamu takut tidak akan dapat berbuat adil, maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang
demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya." (Qs. an-NisÃ'
[4]: 3)" Ayat ini diturunkan kepada Nabi Saw pada tahun ke
delapan hijriah, dan ditujukan untuk membatasi jumlah isteri maksimal empat
orang saja. Sebelum ayat ini turun, jumlah wanita yang boleh
dijadikan isteri tidak dibatasi dengan jumlah tertentu. Seorang laki-laki
berhak menikahi wanita tanpa ada batasan jumlah. Dengan membaca dan
memahami ayat ini dapat disimpulkan bahwa ayat ini turun untuk membatasi
jumlah maksimal wanita yang boleh dinikahi, yakni empat orang (Syaikh
Taqiyuddin an-Nabhani, Nizham al-IjtimÃ'i fi al-IslÃm, hal.127). Fairuz
Abadi, dalam kitab tafsirnya yang berjudul, TanwÃr al-MaqbÃs min TafsÃr
Ibn 'Abbas, menyatakan bahwa Ibnu 'Abbas menafsirkan surah an-NisÃ' [4] ayat
3 sebagai berikut, "(wa in khiftum alla tuqsithà fi al-yatÃma) Jika
kamu tidak bisa berlaku adil terhadap anak-anak perempuan yatim dalam hal
penjagaan terhadap hartanya, demikian juga jika kamu khawatir tidak bisa
berlaku adil diantara isteri-isterimu dalam hal nafkah dan bagiannya,
sedangkan mereka (orang terdahulu) telah beristeri sekehendak mereka,
sembilan atau sepuluh dan Qais bin al-Harats memiliki 8 orang isteri,
selanjutnya Allah SWT melarang mereka dan mengharamkan menikah di atas
empat orang wanita." Maka nikahilah wanita yang dihalalkan oleh Allah kepada
kamu (fa ankihÃmà thÃba lakum), Ibnu 'Abbas mengatakan, "(min
an-nisÃ' matsnay wa tsulatsay, wa rubÃ') Nikahilah seorang, dua orang, tiga
orang atau empat orang wanita, dan jangan melebihi jumlah ini (empat
orang). " Kata matsnay, wa tsulatsay, wa rubÃ' adalah jumlah bilangan yang
disebutkan secara berulang, agar orang yang membaca ayat ini bisa
memahami bahwa mereka diperintahkan untuk menikahi sejumlah wanita yang
baik-baik, dua dua, tiga-tiga, dan empat-empat.

Menurut Imam Abu Bakar ar-Razi, MukhtÃr ash-ShihÃh, menyatakan bahwa matsnay
artinya adalah itsnain itsnain (dua dua). Imam asy-Syaukani
menuturkan sebuah riwayat berikut ini: "Dari Qais bin al-Harats, ia berkata,
'Saat masuk Islam, saya memiliki 8 orang isteri. Kemudian saya
menemui Rasulullah Saw, dan saya ceritakan kepada beliau masalah ini.'
Selanjutnya beliau Saw bersabda, 'Pilihlah empat orang diantara mereka'."
[HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah]. Di dalam riwayat lain juga disebutkan, dari
Naufal bin Mu'awiyyah dengan lafadz menurut Imam Syafi'i, "Sesungguhnya
Ghailan al-Tsaqafiy ketika masuk Islam mempunyai 10 orang isteri, kemudia ia
menyampaikan hal ini kepada Rasulullah Saw, kemudian beliau Saw menjawab,
'Pilihlah empat orang, dan ceraikan yang lainnya'." Imam Syafi'i menyatakan,
telah diriwayatkan dari 'Ali ra, 'Umar, dan 'Abdurrahman bin 'Auf, bahkan
tidak ada seorang shahabatpun yang menyelesihi hal ini, yakni bolehnya nikah
lebih dari satu orang. Pendapat serupa juga dituturkan oleh Abi Syaibah dari
mayoritas tabi'in, 'Atha', Syafi'i, Hasan dan sebagainya. Hadits di atas
dijadikan dalil oleh jumhur 'ulama larangan menikahi wanita lebih dari empat
orang.

Batas maksimal yang diperbolehkan oleh syara' adalah empat orang. Hukum di
atas berlaku untuk seluruh kaum muslim, kecuali Rasulullah Saw.
Rasulullah Saw diberi kekhususan untuk menikah lebih dari empat orang
wanita. Ketika turun surah an-NisÃ' [4] ayat 3 Rasulullah Saw mempunyai
isteri lebih dari empat orang dan beliau tidak menceraikan satupun dari
isterinya. Ini menunjukkan bahwa Rasulullah Saw diberi kekhususan untuk
menikah lebih dari empat orang. Sebab, perbuatan dan perkataan Rasulullah
Saw tidak mungkin bertentangan. Jika perkataan beliau bertentangan dengan
perbuatan beliau, maka perkataan itu berlaku umum bagi kaum muslim,
sedangkan apa yang diperbuat Rasulullah Saw merupakan kekhususan bagi
beliau Saw. Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam FÃth al-BÃrà menyatakan, "Para 'ulama
telah bersepakat bahwa menikah lebih dari empat orang merupakan
bagian dari kekhususan Rasulullah Saw." (Imam asy-Syaukani, Nail al-Authar,
hal. 268, Kitab al-NikÃh] Persepsi Salah Yang Harus
Diluruskan: Penolakan Terhadap Poligami; Ada sebagian orang yang berpendapat
bahwa poligami tidak disyari'atkan di dalam Islam. Mereka
berargumentasi bahwa adil merupakan syarat bagi poligami, padahal di ayat
yang lain dinyatakan bahwa manusia tidak pernah bisa berbuat adil.

Ayat yang dimaksud adalah (QS an-NisÃ' [4] ayat 129) "Dan kamu sekali-kali
tidak akan dapat berlaku adil diantara isteri-isterimu,
walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kami
terlalu cenderung kepada yang kamu cintai, sehingga kamubiarkan yang lain
terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri
(dari kecurangan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang." (Qs. an-NisÃ' [4]: 129).

Pendapat semacam ini tidak pernah keluar dari 'ulama-'ulama terkenal dari
kalangan kaum muslim. Bahkan, perkara bolehnya poligami merupakan perkara
yang sudah masyhur di kalangan para shahabat, tabi'in, tabi'ut tabi'in dan
para imam madzhab. Pendapat di atas adalah pendapat menyimpang dan bathil
yang menyalahi syari'at Islam yang telah pasti.

Penakwilan yang mereka lakukan adalah penakwilan menyimpang yang tidak
sejalan dengan maksud ayat-ayat tersebut di atas. Bantahan atas pendapat
di atas sebagai berikut: Keadilan bukanlah syarat poligami. Sebab, surah
an-NisÃ' [4] ayat 3 telah menjelaskan dengan sangat gamblang hal ini,
"Maka kawinilah wanita-wanita (lain yang kamu senangi, dua tiga, atau empat"
Ayat ini menunjukkan dengan jelas bolehnya melakukan poligami
secara mutlak, dan kalimat itu telah selesai (sempurna) dan berdiri sendiri.
Selanjutnya dimulai kalimat baru (kalam musta'nif) dengan makna
baru, "Kemudian, jika kamu takut tidak akan dapat berbuat adil, maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki." Kalimat ini
bukanlah kalimat persyaratan. Sebab kalimat ini tidak bergabung dengan
kalimat sebelumnya, akan tetapi sekedar kalam musta'nif (kalimat
permulaan). Seandainya hal ini adalah kalimat persyaratan, tentu ayat itu
akan berbunyi, "Maka kawinilah wanita-wanita (lain yang kamu senangi), dua
tiga, atau empat jika kamu dapat berlaku adil." Akan tetapi, kalimat pertama
telah selesai dan sempurna maknanya, kemudian disambung dengan
kalimat baru berikutnya. Susunan kalimat semacam ini menunjukkan dengan
jelas bahwa, keadilan bukanlah syarat untuk menikahi wanita lebih dari
satu orang. Kalimat pertama menunjukkan hukum syara' yang berbeda dengan
kalimat yang kedua. Kalimat pertama menunjukkan hukum bolehnya poligami
sebatas empat orang saja, sedangkankan kalimat kedua menunjukkan hukum lain,
yaitu lebih disukai untuk menikahi satu orang saja jika dengan
berpoligami itu akan menyebabkan suami tidak bisa berlaku adil diantara
mereka. Akan tetapi, kalimat kedua ini sama sekali tidak menafikan
(meniadakan) pengertian ayat yang pertama. Atas dasar itu, keadilan bukanlah
syarat dan tidak boleh dijadikan syarat bagi ayat pertama (Qs.
an-NisÃ' [4]: 3). Sebab, ayat di atas telah menunjukkan dengan sangat jelas,
bahwa adil bukanlah syarat bagi poligami. Siapapun yang menafsirkan
bahwa keadilan merupakan syarat untuk berpoligami, berarti ia telah
menafsirkan al-Qur'an dengan gegabah dan telah menyimpangkan penafsiran
yang benar.Perhatikan pendapat Prof. Mahmud Syaltut, "Sungguh mengherankan,
ada orang
yang berdalil dengan ayat-ayat ini bahwa poligami tidak disyari'atkan di
dalam Islam. Mereka beralasan bahwa keadilan adalah syarat yang harus
dipenuhi oleh ayat pertama (Qs. an-NisÃ' [4]: 3), sedangkan ayat kedua
(Qs. an-NisÃ' [4]: 129) menjelaskan bahwa manusia tidak mungkin bisa
berlaku adil. Dengan demikian makna dua ayat itu telah berubah: poligami
diperbolehkan dengan syarat adil, sedangkan adil tidak mungkin dipenuhi
oleh manusia. Walhasil, poligami tidak diperbolehkan. Jelaslah kesimpulan
semacam ini telah menyia-nyiakan ayat-ayat Allah dan mengubah pengertian
ayat-ayat tersebut..." (Mahmud Syaltut, Al-Islam Aqidah wa Syari'ah,
hal.189). Akan tetapi, keadilan yang dituntut di sini bukanlah keadilan
yang bersifat mutlak, akan tetapi keadilan terhadap kaum wanita yang masih
dalam batas kemampuan manusia. Sebab, Allah SWT tidak membebani manusia
kecuali sebatas kemampuannya. Allah SWT berfirman: "Allah tidak membebani
seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya." (Qs. al-Baqarah [2]:
286). Memang benar, kata ta'dilà pada surah an-NisÃ' [4]: ayat 3 berbentuk
umum mencakup setiap bentuk keadilan. Akan tetapi keumuman ayat ini telah
ditakhshish sesuai dengan kemampuan manusia. Artinya, keadilan yang
dituntut oleh Allah SWT dalam masalah poligami bukanlah keadilan yang
bersifat umum baik dalam masalah fisik dan non fisik, akan tetapi yang
dituntut oleh Allah SWT adalah keadilan dalam masalah fisik (materi) yang
masih dalam jangkauan manusia. Ayat yang mentakhsish keumuman ayat di atas
(Qs. an-NisÃ' [4]: 3) adalah surah an-NisÃ' [4] ayat 129. Allah SWT
berfirman: "Kalian sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara
isteri-isterimu, walaupun kalian sangat ingin berbuat demikian. Oleh
karena itu, janganlah kalian terlalu condong (kepada yang kalian cintai)
hingga kalian membiarkan yang lainnya terkatung-katung." (Qs. an-NisÃ'
[4]: 129). Ayat ini menjelaskan bahwa seorang suami mustahil berlaku adil
dan bersikap seimbang diantara isteri-isterinya, hingga ia tidak condong
sama sekali terhadap salah satu isterinya. Keadilan yang dimaksud dalam
ayat ini adalah keadilan dalam masalah kasih sayang dan jima' (syahwat).
Muhammad bin Sirin berkata, "Saya bertanya mengenai ayat ini kepada
'Ubaidah, kemudian ia menjawab, 'Kasih sayang dan jima' (syahwat)." (Ibnu
al-'Arabi, AhkÃm al-Qur'Ãn, hal. 634). Dalam mengomentari ayat ini (Qs.
an-NisÃ' [4]: 129), salah seorang pakar tafsir Ibnu al-'Arabi, mengutip
pendapat Abu Bakar ar-Razi, menyatakan, "Ayat ini menunjukkan bolehnya
memberikan taklif (beban) dengan sesuatu yang tidak mampu dipikul oleh
manusia. Sesungguhnya, Allah SWT telah memerintahkan seorang laki-laki
untuk berlaku adil diantara isteri-isterinya, kemudian Allah SWT
memberitahu kepada mereka (suami-suami) bahwa mereka tidak akan mampu
berbuat adil. Tentunya ini merupakan perkara yang sangat ganjil. Oleh
karena itu, keadilan yang dituntut oleh Syaari' adalah keadilan dalam
masalah-masalah fisik (dhahir).

Pengertian ini ditunjukkan ayat selanjutnya, 'Oleh karena itu, janganlah
kalian terlalu condong (kepada yang kalian cintai) hingga kalian
membiarkan yang lainnya terkatung-katung.' (Qs. an-NisÃ' [4]: 129)." Ibnu
al-'Arabi melanjutkan lagi, "Ini merupakan perkara yang bisa disanggupi
oleh manusia (yakni adil dalam masalah fisik). Sedangkan keadilan yang
diberitakan Allah kepada mereka bahwa, mereka tidak mungkin bisa
menunaikannya, dan tidak akan dibebankan kepada mereka; adalah keadilan
dalam masalah non fisik (kejiwaan).

Oleh karena itu, Rasulullah Saw bisa berlaku adil kepada isteri-isterinya
dalam masalah pembagian (dalam masalah-masalah fisik), sedangkan dalam hal
kasih sayang beliau condong kepada 'Aisyah. Beliau Saw bersabda, 'Ya
Allah, inilah kemampuan yang aku miliki, dan janganlah kamu meminta
tanggung jawab kepadaku dalam masalah-masalah yang Engkau sanggupi namun
tidak aku sanggupi'." (Ibnu al-'Arabi, Ahkâm al-Qur'Ãn, hal.634).

Ibnu al-'Arabi melanjutkan lagi, "Benar, masalah ini (kasih sayang dan
jima') tidak mungkin bisa dikuasai oleh seorangpun (maksudnya ia bisa
berlaku adil dalam masalah ini terhadap isteri-isterinya pentj), sebab, hati
manusia berada diantara dua ujung jari Allah SWT, dimana Allah SWT bisa
membolak-balikkannya sekehendakNya. Demikian juga masalah jima'.
Seorang laki-laki akan lebih cenderung kepada salah satu isterinya. Jika
dirinya tidak mampu berbuat adil dalam masalah ini, maka tidak ada paksaan
bagi mereka. Sebab, hal-hal yang tidak mampu ia lakukan tidak berhubungan
dengan masalah taklif (pembebanan)." (idem, hal.634-635). Seluruh penjelasan
di atas menunjukkan bahwa seorang laki-laki diperbolehkan melakukan poligami
tanpa harus terikat dengan syarat keadilan. Adapun perintah agar seorang
suami bisa berlaku adil kepada isteri-isterinya hanya berhubungan dengan
hal-hal yang masih dalam penguasaan dan kemampuan dirinya, yakni adil dalam
masalah-masalah fisik. Misalnya, pembagian nafkah yang adil, menggilir
mereka, atau menyantuni mereka, serta yang lain-lain.
Sedangkan dalam masalah kasih sayang dan jima', seorang suami mustahil mampu
berlaku adil secara sempurna kepada isteri-isterinya. Akan tetapi, keadilan
dalam masalah seperti ini, jima' dan kasih sayang tidak meniadakan taklif
bolehnya berpoligami. Bahkan, Allah SWT mengijinkan seorang suami melakukan
poligami meskipun ia tidak bisa berlaku adil dalam dua hal ini. Sebab,
keadilan dalam hal kasih sayang dan jima' diluar kemampuan manusia. Meskipun
demikian, Allah SWT melarang seorang suami terlalu cenderung atau condong
kepada salah satu isterinya, sehingga yang lain teraniaya dan terdzalimi.
Perhatikan kelanjutan surah an-NisÃ' [4]: 129: "Kalian sekali-kali tidak
akan dapat berlaku adil di antara isteri-isterimu, walaupun kalian sangat
ingin berbuat demikian. Oleh karena itu, janganlah kalian terlalu condong
(kepada yang kalian cintai) hingga kalian membiarkan yang lainnya
terkatung-katung." (Qs. an-NisÃ' [4]: 129).

Pecahan kalimat, "Oleh karena itu, janganlah kalian terlalu condong (kepada
yang kalian cintai) hingga kalian membiarkan yang lainnya terkatung-katung",
menunjukkan bahwa poligami diperbolehkan meskipun ia tidak mampu berbuat
adil dalam masalah kasih sayang dan jima'. Pecahan ayat, "hingga yang lain
terkatung-katung", menunjukkan bahwa laki-laki itu sedang dalam kondisi
berpoligami, atau isterinya banyak. Akan tetapi, ia dilarang condong kepada
salah satu isterinya yang bisa berakibat
>teraniayanya isteri-isterinya yang lain. Akan tetapi, ayat ini tidak boleh
dipahami bahwa seorang suami dilarang condong kepada salah satu isterinya.
>Yang dilarang adalah kecondongan berlebihan sehingga isteri yang lain
>terlantar dan teraniaya. Walhasil, ayat ini dengan sangat jelas
>menjelaskan bolehnya seorang laki-laki melakukan poligami.
>
>Pengertian ayat semacam ini sama dengan ayat berikut ini: "Janganlah kami
>terlalu mengulurkannya (terlalu royal dalam memberi)." (Qs.al-IsrÃ' [17]:
>29). Ayat ini mengandung pengertian bolehnya kita memberi kepada orang
>lain, akan tetapi dilarang terlalu royal atau berlebihan. Dengan kata
>lain, memberi kepada orang lain bukanlah suatu yang dilarang. Yang
>dilarang adalah terlalu royal atau berlebihan dalam memberi. Atas dasar
>itu, Allah SWT tidak melarang suami untuk bersikap condong kepada salah
>satu isterinya, tetapi melarang bersikap condong berlebihan kepada salah
>satu isterinya sehingga yang lain terkatung-katung dan terdzalimi.
>
>Oleh karena itu, pengertian surah an-NisÃ' [4] ayat 129 tersebut adalah,
>"Jauhilah sikap condong yang berlebihan (atau kecondongan mutlak) kepada
>salah satu isterimu." Dalam sebuah riwayat dituturkan bahwa, Nabi Saw
>bersabda: "Barangsiapa yang mempunyai dua orang isteri, lalu ia bersikap
>condong kepada salah satu diantara mereka, niscaya ia akan datang pada
>Hari Kiamat nanti sambil menyeret separuh badannya dalam keadaan terputus
>dan condong." [HR. Ahlu al-Sunan, Ibnu Hibban dan al-Hakim].
>
>Hadits ini menunjukkan dengan sangat jelas bolehnya seorang laki-laki
>melakukan poligami. Manthuq hadits ini menyatakan dengan sangat jelas,
>"Barangsiapa yang mempunyai dua orang isteri, lalu ia bersikap condong
>kepada salah satu diantara mereka", bahwa seorang suami boleh melakukan
>poligami, meskipun ia tidak bisa bersikap adil dalam masalah kasih sayang
>dan jima'.
>
> Hadits ini semakin memperkuat pengertian surah an-NisÃ' [4]: 129, bahwa
> seorang laki-laki boleh saja condong kepada salah seorang isterinya, akan
> tetapi jangan sampai melebihi batas sehingga berakibat isteri yang lain
> terlantar dan terkatung-katung. Atas dasar itu, keadilan yang diwajibkan
> atas seorang suami adalah bersikap seimbang di antara isteri-isterinya
> sesuai dengan kemampuannya, baik dalam hal bermalam, memberi makan,
> pakaian, tempat tinggal dan lain-lain sebagainya (masalah fisik).
> Sebaliknya, dalam masalah kasih sayang dan jima', seorang suami boleh
> bersikap condong kepada salah satu isterinya. Sebab, hal ini diluar
> kemampuan dirinya dan termasuk perkara yang dikecualikan berdasarkan
> nash-nash al-Qur'an. Akan tetapi ia tidak boleh condong secara
> berkelebihan yang mengakibatkan isterinya yang lain terlantar.
>
> Demikianlah, anda telah kami jelaskan secara mendetail dan mendalam.
> Kesimpulannya, keadilan bukanlah syarat bagi poligami. Keadilan yang
> dituntut oleh Allah SWT kepada seorang suami adalah keadilan dalam
> hal-hal yang masih berada di dalam kemampuannya, yaitu dalam masalah
> fisik. Akan tetapi, Allah SWT tidak memerintahkan seorang suami untuk
> bisa berlaku adil dalam perkara kasih sayang dan jima'. Sebab, selain di
> luar kemampuannya, keadilan dalam dua hal ini telah ditakhshish
> berdasarkan nash-nash al-Qur'an. Seorang suami tidak mungkin bisa berbuat
> adil secara sempurna kepada isterinya dalam dua hal ini, sebab Allah SWT
> telah memberitahukan masalah ini. Ketidakmampuan manusia untuk melakukan
> perkara ini menunjukkan bahwa perkara tersebut sama sekali tidak
> berhubungan dengan taklif. Sebab, taklif hanya berhubungan dengan
> perkara-perkara yang mampu dilakukan oleh manusia. Atas dasar
> ituketidakmampuan manusia untuk bersikap adil dalam dua perkara ini sama
> sekali tidak menafikan bolehnya berpoligami.
>
>Ini didasarkan pada kenyataan bahwa, Allah tidak membebani hambanya dengan
>sesuatu yang ia tidak mampu. Allah SWT membolehkan seorang suami condong
>kepada salah satu isterinya dalam hal kasih sayang dan jima', akan tetapi
>kecondongan ini tidak boleh mengakibatkan isteri-isterinya yang lain
terkatung-katung dan teraniaya.
Rasulullah Saw sendiri memiliki kecondongan kepada 'Aisyah, akan tetapi
beliau Saw bisa berlaku adil dalam masalah-masalah fisik. Tidak Ada 'Illat
dalam Poligami; Bolehnya melakukan praktek poligami juga tidak didasarkan
pada 'illat tertentu. Sebab, nash-nash yang membolehkan poligami sama sekali
tidak mengandung 'illat secara mutlak. Ini ditunjukkan dengan sangat jelas
dalam firman Allah SWT: "Kawinilah wanita-wanita yang kalian senangi dua,
tiga atau empat" (Qs.an-NisÃ' [4]: 3). Atas dasar itu, kita tidak boleh
menyatakan bahwa bolehnya poligami dikarenakan 'illat-'illat tertentu,
misalnya untuk menolong para janda, maupun korban-korban perang.
Bahkan ada yang menyatakan bahwa, 'illat bolehnya poligami karena adanya
janda-janda yang jumlahnya sangat banyak akibat korban perang. Jika
janda-janda ini tidak ada lagi, maka hukum bolehnya poligami tidak berlaku
lagi. Ada juga yang beranggapan bahwa 'illat bolehnya melakukan poligami
adalah untuk menjaga diri dari tindak kemaksiyatan, berzina misalnya.
Akibatnya, jika dengan satu isteri orang bisa menahan dirinya dari tindak
maksiyat maka ia tidak boleh melakukan poligami. Sebab, 'illat itu beredar
sesuai dengan apa yang di'illati (al-'illat tadÃru ma'a ma'lÃl wujÃdan wa
'adaman). Pada dasarnya, 'illat-illat tersebut di atas sama sekali tidak
didasarkan pada nash-nash syara'. Padahal, 'illat yang absah dijadikan
sebagai dalil hukum adalah 'illat yang syar'iyah. 'Illat Syar'iyah adalah
'illat yang terkandung di dalam nash-nash al-Qur'an dan bisa digali dari
nash-nash al-Qur'an dan sunnah. Sedangkan 'illat 'aqliyyah sama sekali tidak
bernilai untuk menetapkan hukum syari'at.
Kebolehan berpoligami bersifat mutlak, tanpa memandang apakah ia mampu
menjaga dirinya dari maksiyat atau tidak, ada janda perang ataupun tidak,
maupun karena sebab-sebab yang lainnya. Namun demikian, jika dilihat sebagai
bagian dari solusi atas problematika manusia, maka poligami adalah salah
satu solusi atas berbagai macam problem yang menimpa manusia. Menurut Syaikh
Taqiyuddin an-Nabhani, problem-problem yang bisa dipecahkan melalui poligami
adalah problem-problem berikut ini:
1. Adanya tabiat pada sebagian laki-laki yang tidak puas hanya dengan
seorang isteri. Bila ia menyalurkan hasrat biologisnya hanya kepada satu
isterinya saja, tentu hal ini akan berakibat buruk bagi dirinya dan juga
isterinya. Namun, bila ada jalan keluar bagi dirinya, yakni diperbolehkannya
poligami, maka laki-laki itu bisa melangsungkan pernikahan dengan
wanita-wanita lain yang ia sukai. Sebaliknya, jika di hadapannya tidak ada
jalan keluar, yakni ada larangan berpoligami, tentunya larangan ini akan
berdampak buruk bagi laki-laki tersebut dan juga masyarakat. Praktek
perzinaan akan tersebar luas, dan anggota keluarga akan saling curiga satu
dengan yang lainnya. Atas dasar itu, bagi orang-orang yang memiliki tabiat
semacam ini "tidak puas hanya dengan satu isteri " harus mendapatkan
pemecahan yang menjadikan dirinya bisa memenuhi kebutuhan biologisnya yang
menggebu, atau bisa menyalurkannya pada perbuatan-perbuatan yang dihalalkan
oleh Allah SWT (menikah lagi).
2. Wanita-wanita mandul yang tidak bisa melahirkan anak, namun ia sangat
mencintai dan menyayangi suaminya, demikian pula sebaliknya. Cinta dan kasih
sayang diantara keduanya mampu mendorong mereka untuk tetap mempertahankan
kehidupan rumah tangga dengan penuh ketenangan dan kesejukan. Akan tetapi,
sang suami sangat menginginkan seorang anak yang benar-benar lahir dari
darah dan dagingnya. Tentunya, jika dalam kondisi semacam ini sang suami
dilarang melakukan poligami, keinginannya akan terpupus, sehingga ia akan
menderita dan merana. Hal semacam ini akan berakibat fatal bagi kehidupan
keluarganya. Pada titik tertentu ia akan menceraikan isterinya, sekedar
untuk mewujudkan keinginan-keinginannya. Pilar keluarga yang telah mereka
bangun menjadi hancur berantakan. Bahkan, larangan poligami pada suami-suami
yang menginginkan anak dari darah dagingnya sendiri akan mengebiri naluri
kebapakannya. Oleh karena itu, suami yang menghadapi masalah seperti ini
harus mendapatkan jalan keluar, yaitu dengan memperbolehkan dirinya
melakukan poligami, agar ia mendapatkan keturunan yang didambakannya.
3. Terjadinya banyak pergolakan dan peperangan yang mengakibatkan banyaknya
jatuh korban di pihak laki-laki. Suatu wilayah atau negara yang sering
terjadi pertikaian dan peperangan tentu akan berdampak pada menurunnya
jumlah laki-laki dan meningkatnya jumlah janda. Selain itu adanya peperangan
dan pertikaian juga akan berdampak pada tidak seimbangnya rasio jumlah
laki-laki dan wanita. Dalam kondisi semacam ini, poligami merupakan salah
satu solusi untuk memecahkan problem banyaknya janda akibat peperangan dan
pertikaian, sekaligus rasio jumlah wanita dan laki-laki yang tidak seimbang.
Seandainya, poligami dilarang, tentu akan banyak janda dan wanita dewasa
yang tidak bisa lagi mengenyam kebahagiaan dan ketenangan hidup
berumahtangga. Akibatnya, banyak wanita kehilangan kesempatan untuk
merefleksikan fithrahnya sebagai seorang wanita. Atas dasar itu, dalam
kondisi semacam ini pelarangan poligami justru akan berdampak buruk bagi
kehidupan wanita itu sendiri.

4. Rasio pertambahan jumlah wanita biasanya lebih tinggi dibandingkan dengan
pertambahan jumlah laki-laki. Di daerah-daerah yang jumlah pertambahan
wanita (akibat kelahiran) tinggi, tentu membutuhkan solusi tersendiri agar
wanita-wanita yang tidak memiliki kesempatan menikah dengan seorang
laki-laki bisa merasakan juga manisnya kehidupan rumah tangga. Jika
demikian, poligami merupakan solusi agar wanita-wanita yang tidak "kebagian"
laki-laki bisa tetap merasakan nikmatnya hidup berumah tangga. Atas dasar
itu, poligami bisa dianggap sebagai solusi atas realitas-realitas tersebut
di atas.
Kembali ke masalah AA Gym, AA Gym sudah mengambil satu keputusan bahwa dia
sudah melaksanakan polygami, yang saya rasa wajar-wajar saja karena saya
yakin dia mampu untuk melaksanakannya. Saya setuju dengan keputusan AA
Gym, bagaimana dengan anda?

Salam,
http://ferrydjajaprana.multiply.com


[Non-text portions of this message have been removed]



=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 

Kirim email ke