http://www.gatra.com/artikel.php?id=100053

Revitalisasi Islam Piano

Sebelum dan sesudah Yayasan Wakaf Paramadina, tidak ada organisasi Islam yang 
mengikuti jejak apa yang dilakukannya: meresmikan pembentukannya di hotel 
bintang lima (28 Oktober 1986) dan membuka pengajian pertamanya --di sebuah mal 
mewah-- dengan resital piano. Nurcholish Madjid sendiri lalu berkantor di 
kompleks pertokoan mahal Pondok Indah Plaza. Pengajian-pengajian Paramadina 
sejak itu, terutama trademark-nya, Klub Kajian Agama (KKA), sering digelar di 
hotel-hotel bertaraf internasional.
 
 Semua itu adalah pesan yang jelas tentang pengajian seperti apa dan jamaah 
kelas mana yang dibidik Paramadina. Tapi, dengan segala aura elitisnya, 
Paramadina tidak eksklusif. Pengajian-pengajiannya terbuka dan massal. Segmen 
yang dibidik pun segera mafhum dan berduyun menghadiri aneka kegiatannya. 
Mereka adalah golongan pengusaha, kaum profesional, pejabat pemerintah, 
cendekiawan, dan nyonya-nyonya yang datang dengan sedan mengilat. Mereka 
dihimpun oleh sistem keanggotaan yang rapi dengan membayar iuran tahunan jutaan 
rupiah --sesuatu yang tak berpreseden dalam "sejarah pengajian" di Indonesia.
 
 Kaum kelas-menengah-atas-kota itu menemukan apa yang sudah lama mereka 
idamkan: sebuah percakapan cerdas tentang agama, yang dialogis dan sesuai 
tingkat intelektualitas mereka, tanpa kehilangan kesejukan khas sebuah 
pengajian. Dengan takzim tapi rileks, mereka menyimak tafsir-tafsir yang sama 
sekali baru, yang kerap segar dan mencerahkan, selain pemaparan asal-usul 
historis dan filosofis suatu doktrin baku yang selama ini tak terusik.
 
 Dengan pengetahuannya yang luas, dalam, dan artikulasinya yang memukau, 
Nurcholish dan para pembicara lainnya tampil tanpa mengenakan busana dan 
simbol-simbol religius yang lazim. Rasa percaya diri pembicara pun membuat 
mereka merasa tak perlu sering-sering berlindung di balik bunyi tekstual ajaran 
atau memamerkan kefasihan dalam mengutip sumber-sumber ajaran dalam bahasa yang 
tak dimengerti jamaah.
 
 Semuanya perlahan-lahan memunculkan keyakinan di kalangan jamaah, yang dikenal 
dan mengenal diri sebagai orang-orang yang kurang religius, bahwa mereka bahkan 
bisa menjadi muslim yang lebih baik dibandingkan dengan rekan-rekan yang selama 
ini dikenal "alim". Efek ini bahkan sudah disasar oleh Nurcholish, yang tak 
henti memperjuangkan agama sebagai etika sosial sejak awal. Dari 19 orang dewan 
pendiri yayasan, tak satu pun dikenal sebagai ulama; bahkan hanya satu-dua 
lulusan IAIN. Selebihnya adalah pengusaha, dokter, ekonom, dan tokoh LSM. Toh, 
keabsahan mereka dalam membahas ihwal agama sama dengan ulama mana pun. Selain 
Nurcholish, yang kemudian menjadi pembicara tetap, KKA pertama menampilkan Emil 
Salim, ekonom yang tak pernah terdengar mengutip ayat Al-Quran.
 
 Dalam pengajian Paramadina, Nurcholish tak jarang melontarkan tafsirnya yang 
tak lazim dan, karenanya, kerap memunculkan kontroversi di tengah khalayak yang 
terbiasa menerima ajaran agama sebagai harga mati. Sudah tentu kontroversi 
bukanlah tujuan Nurcholish, meski ia mengobarkannya sejak mengumandangkan 
sekularisasi Islam pada awal 1970-an; namun jika kontroversi harus timbul, ia 
harus dihadapi sewajarnya. Kemungkinan munculnya kontroversi tak perlu sampai 
menyumbat penyajian ide-ide segar yang vital bagi pencerdasan dan pendewasaan 
publik. Masyarakat yang tidak disuguhi ide-ide baru, betapapun dekonstruktifnya 
mereka terhadap paham-paham lama, hanya akan menuju liang lahat budaya.
 
 Dalam hal ini, Nurcholish kerap mengutip gurunya, Fazlur Rahman: jika orang 
hanya ingin aman, jangan berkata apa-apa, jangan berbuat apa-apa, jangan jadi 
apa-apa (say nothing, do nothing, be nothing).
 
 Tapi segala sesuatu seperti ditakdirkan untuk tergantung musim. "Musim 
Paramadina" pun berlalu, sedemikian perlahan sampai tak disadari oleh 
pengelolanya. Produk unggulannya makin kurang diminati. Potongan harga tiket 
masuk tak bisa membendung keengganan customer. KKA memang masih diadakan di 
hotel mewah, tapi ruang diskusinya yang makin kecil tak dipenuhi oleh sasaran 
Paramadina. Apa yang salah? Apakah tak ada lagi menu baru KKA, selain 
mengulang-ulang sajian lama disertai aneka ilustrasi yang kaya tapi tak selalu 
relevan?
 
 Apakah jamaah tak lagi merasa perlu menghadiri KKA dan cukup membaca belasan 
kumpulan karya Nurcholish yang dicetak berkali-kali? Mungkinkah Paramadina 
makin canggung dalam berperan sebagai religious knowledge-based industry, meski 
sejak awal ia bergerak ke sana dengan menjual brand Cak Nur? Adakah ia tumpul 
membaca denyut pasar, tak peka terhadap tumbuhnya para saingan yang makin 
beragam, yang kian populer berkat proyeksi televisi?
 
 Mungkin ini yang terpenting: mereka menyajikan sebuah manual religius yang 
sederhana dan mudah dicerna, yang memastikan bukan hanya kesejahteraan hidup di 
dunia ini, melainkan juga kebahagiaan kekal di akhirat nanti. Dunia di luar 
sana, sebuah dunia yang dianalisis dengan mahir dan hendak dijawab Paramadina 
dengan cara menghadapinya tatap-muka, semakin ruwet, membingungkan, 
mencemaskan, dan serba tak pasti. Jamaah tak berminat menambah keruwetan dan 
kebingungan. Mereka ingin kepastian dan kegamblangan seperti yang ditawarkan 
Ustad A dan Aa' B.
 
 Ketika Paramadina diidentifikasikan oleh semakin banyak orang, kelas utama 
yang dibidiknya, yang terbiasa memuja sebentuk eksklusivitas dalam banyak hal 
lain (barang-barang konsumsi, kendaraan, dan club membership) merasa 
eksklusivitas itu harus dipulihkan. Cara yang mereka pilih adalah membentuk 
kelompok-kelompok lebih kecil, yang para anggotanya saling mengenal dan setara 
dalam semua segi, lalu meminta seorang guru yang khusus melayani mereka; banyak 
di antara guru tersebut yang merupakan perluasan dari "guru ngaji keluarga" 
salah satu anggota.
 
 Didampingi seorang ustad yang lebih personal, selalu terjangkau, fleksibel, 
konformis, dan senantiasa sabar melayani pertanyaan-pertanyaan seelementer apa 
pun --yang tak mungkin diungkapkan di sebuah forum besar penuh orang pintar-- 
mereka mendapatkan segalanya: kehangatan persaudaraan kelompok, jawaban 
gamblang dan menenteramkan. Juga keleluasaan untuk membahas banyak soal penting 
lain setelah "ustad kita" pulang: restoran baru yang menyajikan makanan khas 
sebuah negeri, kehalusan bahan tas Hermes model mutakhir, persiapan pesta jarig 
anak seorang anggota, rincian rencana umrah bareng berikutnya.
 
 Sementara itu, upaya lama Paramadina berupa diversifikasi produk (di luar 
ekspansi dengan mendirikan universitas) makin ditingkatkan berupa 
pengajian-pengajian lebih kecil dengan tema-tema yang lebih spesifik. Pembacaan 
pasar, dan aspirasi sisa-sisa jamaah yang merindukan "kejayaan Paramadina", 
meminta pembentukan pengajian dengan menitikberatkan bahasan pada aspek-aspek 
esoteris agama. Tasawuf hanya salah satu saja. Bersama unsur-unsur New Age yang 
trendy, sufisme disajikan dalam bingkai perenialisme. Ajaran-ajaran fundamental 
semua agama yang diyakini saling serasi, dengan Islam tetap sebagai periskop, 
ditawarkan dalam paket-paket kecil berupa pertemuan kelas sekian kali.
 
 Paramadina bahkan melayani semacam in house training atau "jemput bola" dengan 
menghadirkan penceramah ke kantor swasta ataupun klub-klub eksklusif. Tapi, 
seiring munculnya kritik tentang terlalu beratnya titik-tekan kegiatan mutakhir 
Paramadina pada aspek esoteris ini, kelangkaan minat peserta mengakhiri 
diversifikasi.
 
 Di belakang semua kegagalan itu, mungkin ada faktor penting yang tak disadari: 
kemodernan pendekatan akademis dan tatanan organisatoris Paramadina tak 
terimbangi oleh kesiapan manajerial dan mentalitas servis sebuah bisnis 
pelayanan dari para pelaksana lapangan, kalau bukan para petinggi yayasannya 
pula. Kesenjangan latar belakang sosial dan idiom budaya antara konsumen dan 
produsen terlalu besar, yang tampaknya bersumber pada ironisme berupa pola 
rekrutmen pegawai yang kian jauh dari semangat profesionalisme dan prinsip 
meritokrasi.
 
 Apakah Paramadina akan mengalami nasib serupa lembaga-lembaga swasta di 
Indonesia --kepergian pendiri dan sang simbol memudarkan institusi warisannya 
untuk akhirnya hanya dicatat oleh segelintir sejarawan spesialis? Apakah 
universitasnya, satu-satunya warisan yang tersisa, memahami ide dasar 
pembentukannya dan bertekad memperkaya landasan yang diletakkan Nurcholish 
Madjid itu dengan mengelaborasinya ke arah yang logis, bukan justru menjauhinya?
 
 Isyarat lupa jelas terlihat. Tanggal 28 Oktober berlalu tanpa peringatan apa 
pun. Para pengikut, pengagum, bekas jamaah, mereka yang diharap menjadi 
penerus, bahkan para pendiri pun rupanya lupa pada malam resital piano yang 
memerangahkan banyak orang itu. Tapi, alhamdulillah, akhirnya ada saja yang 
ingat dan mengajak mereka yang lupa untuk merayakan milad bulan ini atau bulan 
depan.
 
 Kepergian Nurcholish Madjid adalah kehilangan besar yang tak perlu diratapi, 
karena itu bukan berarti tamatnya Paramadina. Barisan Nurcholish muda tersedia 
cukup panjang. Lahan luas Indonesia menanti mereka --para pemain baru yang 
mengusung ciri utama Paramadina sebagai proyek pencerahan Islam. Yayasannya 
masih berdiri dan mengelola sebuah universitas yang kini dikerumuni beribu-ribu 
mahasiswa.
 
 Tergantung merekalah mau memaknai sebagai apa tonggak usia 20 tahun 
Paramadina: sebagai tiang bendera baru atau sebagai nisan.
 
 Hamid Basyaib
 Direktur Program Freedom Institute dan Koordinator Jaringan Islam Liberal
 [Kolom, Gatra Nomor 3 Beredar Kamis, 30 November 2006]            
 
---------------------------------
Have a burning question? Go to Yahoo! Answers and get answers from real people 
who know.

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke