--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "Lina Dahlan" <[EMAIL PROTECTED]> 
Mba Lina,

Saya setuju bahwa keimanan itu sifatnya sangat pribadi, Kang Djalal
pernah cerita kalau dia suatu waktu ikut sholat disalah satu mesjid
untuk sholat subuh. Pada saat itu sholat subuh ditambah dgn qunut
sementara dalam kepercayaan Kang Djalal sholat subuh tidak boleh pake
qunut karena di anggap bid'ah tapi karena menjaga kepentingan sosial
atau keimanan sosial daripada kepentingan pribadi atau keimanan
pribadi maka kang Djalal melakukan qunut juga. Nah dari hal tsb apakah
kita bisa menilai keimanan Kang Djalal??

Bahkan di Qur'an disebutkan jika untuk menjaga nyawa atau melindungi
diri sendiri dari mara bahaya, kita bisa saja mengaku-ngaku
kafir..lalu apakah keimanan kita dipertanyakan sama Allah? apalagi
sama kita ya Mba;)

Kepentingan pribadi VS kepentingan sosial, tentu saja bisa diterapkan
dalam hal sholat berjama'ah atau sholat yang dilakukan diruang publik.
Qur'an memberi contoh seperti bagaimana pengaturan shaf karena shaff
yang tidak teratur akan mengganggu kenyaman orang lain. Begitu juga
jika sholat kita tidak membuat orang lain nyaman.

Tentu saja sholat kita yang "lain daripada yang lain " ketika
dilakukan di ruang publik atau secara berjama'ah akan berinteraksi
dengan sholatnya orang lain. Ya seperti yang dicontohkan oleh Mba Mei,
setidaknya mengganggu konsetrasi orangg lain. 


> Lina:
> 
> Kesolehan Sosial vs Kesolehan Pribadi
> 
> Setuju sekali mbak. Karena itulah kita harus bertindak sesuai 
> keyakinan kita yg dibangun oleh fondasi ilmu & pengetahuan. Ketika 
> Mbak Nisa yakin  tapi tidak menerapkannya karena kesolehan sosial, 
> kok rasanya maksa banget deh alasannya. Kalau ada kesolehan sosial 
> nanti akan ada "Keimanan Sosial vs Keimanan Pribadi". Padahal 
> katanya keimanan itu pribadi banget sifatnya?. 
> 
> Saya faham kalu ada istilah "kepentingan sosial vs kepentingan 
> pribadi" Oleh karenanya kepentingan pribadi harus terkalahkan oleh 
> kepentingan sosial. Namun istilah "kepentingan sos vs kepentingan 
> prbd" ini tidak bisa diterapkan dalam konteks sholat (berjamaah 
> sekalipun) karena orang lain tidak merasa dirugikan kepentingannya 
> kalu mbak Nisa membiarkan rambut terurai ketika sholat. Mereka punya 
> kepentingan apa thdp tindakan mbak yg tdk menutup rambut ketika 
> sholat tsb? Mungkin malah berasa diuntungkan, karena mereka gak usah 
> ngantri nunggu giliran dapet mukena…:-). Jadi, kalau sholat sendiri 
> di kamar pribadi, tentunya mbak Nisa tidak menggunakan mukena 
> (penutup rambut) juga dong ? 
> 
> Jika memang kesolehan pribadi harus terkalahkan oleh kesolehan 
> sosial, akankah mbak Nisa mengalahkan keimanan pribadi dengan 
> keimanan sosial?? Ketika keimanan sosial tersbt "kafir", apakah 
> keimanan pribadi "Islam" mbak akan mbak korbankan ?
> 
> wassalam,
>


Kirim email ke