IBRAHIM ISA -  BERBAGI CERITA -
Jum'at, 22 Desember 2006

'NATALAN'  DITENGAH  WARGA BIJLMER
<Identitas dalam Multikultur dan Integrasi>
 Cuaca musim dingin malam kemarin itu menggigit sampai ke
tulang-sumsum, namun, kehangatan dan rasa kebersamaan mencirii suasana
malam  N a t a l    2 0 0 6 . Menikmati keasrian kebersamaan,
kedamaian dan keharmonisan masyarakat multikultur yang toleran. Semua
itu:  Suasana  yang mengesankan,  adanya  malam Natalan adalah berkat
 diselenggarakannya 'perayaan'  Hari Natal  Menyambut Tahun Baru, 
diantara sekelumit kecil warga Amsterdam Bijlmer.  Menyambut Tahun
2007 yang akan tiba beberapa saat lagi. 

Rasanya sudah kuceriterakan bahwa,  mayoritas  penduduk Amsterdam
Bijlmer, domisili kami, adalah kaum migran yang sudah lama  jadi
'Londo'. Dari macam-macam negeri asal usulnya. Kebanyakan dari
Suriname. Asal Suriname itu banyak Hindustannya,  Creolnya,
Tionghoanya dan Jawanya.  Lainnya dari penduduk Bijlmer adalah yang
asal Ghana, Nigeria, Iran, Afghanistan, Mesir, Maroko, Bangladesh,
India, Pakistan  dll. Agamanyapun aneka ragam. Ada yang Kristen,
Islam. Hindu dan lainnya. Maka di dekat rumah kami ada beberapa gereja
Nasrani dengan etnisitas dan alirannya masing-masing,  dan juga sebuah
mesjid besar  yang belum lama dipugar dan diperluas,  megah berdiri
disamping stasiun Metro Kraaienest . 

Demikianlah masyarakat Amsterdam Bijlmer yang multikultur dan toleran.
Bila bertemu satu sama lainnya, tidak ketinggalan saling sapa. 'Hallo
buurman, hallo buurvrouw'. Hoe gaat het? Alles Goed?'  Ada yang lain
dari pada yang lain.  Salah seorang diantaranya, seorang pendeta
berkulit Hitam asal Suriname, bila papasan sapaannya selalu: 'Pié
kabaré . . . Apik. Alon-alon asal kelakon'. Ya,  dia itu pendeta asal
Suriname berkulit Hitam tetangga kami itu, bisa omong Jawa  ---
sedikit-sedikit. Menunjukkan bahwa sang pendeta ketika masih di
Suriname sering 'turba' di kalangan masyrakat Jawa Suriname.

*   *   *

Khas Bijlmer, yang mengundang pertemuan silaturahmi syukuran  NATAL 
adalah Ny.  Lea Kallan,  manager Cafe Buurthuis Hofgeest, seorang
perempuan tegap berkulit Hitam. Ia  warga Belanda asal Suriname. 
Sangat ketat dan tegas dalam mengelola cafenya. Ny. Lea,  seperti
'kami-kami'  populer disebut 'alochtoon'.  Dalam kehidupan sehari-hari
di Belanda, boleh dibilang tak ada yang mengatakan: 'Saya alochtoon'.
Juga jarang yang bilang, 'saya Belanda'.  Umumnya mengatakan: 'Saya
orang Surinaam,  'orang Indonesia' , atau orang Chinese, atau orang
Ghana, Nigeria, Maroko atau Mesir.  Bahwa mereka itu warganegara
Belanda,   itu jelas. Tapi, ya tapinya cukup menyolok, yaitu  keras
sekali hendak mempertahankan dan memperkenalkan IDENTITASNYA, asal
negeri dan budayanya. WN Belanda, sih WN Belanda, mau integrasi sih
mau, tetapi JUGA INGIN DIKETAHUI IDENTITASNYA,  negeri asalnya.  Maka
orang bilang, itulah antara lain makna dari integrasi serta
multikultur dalam praktek hidup. Di masyarakat Amsterdam Bijlmer,
jelas sekali, konsep  a s s i m i l a s i  tidak 'nyambung'  dengan
kenyataan hidup, tidak cocok dengan konsep 'multikultur' dan toleransi.

*  *  *

Difikir panjang  sedikit, dan dilihat  ke latar belakang sejarah
demografi Belanda, kemungkinan  besar sekarang ini lebih separuh
penduduk Belanda terdiri dari migran atau turunan migran. Benarlah
yang mengatakan bahwa orang Belanda 'asli'  sudah menjadi minoritas.
Begitupun orang Belanda, termasuk yang 'autochtoon',  yang 'asli', tak
ada soal dengan masyarakat multikultur yang toleran.  Semua manusia di
kolong langit ini tanpa kecuali adalah insan Yang Maha Kuasa.
Betapapun harus berusaha hidup bersama dengan damai dan harmonis.  

Bicara pasal asli tidaknya orang Belanda, jangan jauh-jauh dicari. 
Lihat saja keluarga Istana Oranje Kerajaan Belanda. Istri putra
mahkota Kerajaan Belanda Willem Alexnder, yang bernama Maxima, adalah
asal Argentina. Mau contoh lainnya? Yang lebih menyolok? .  .  .  . 
Bapak sang putra makota, yaitu Pangeran Bernhard, juga  bukan Belanda.
Asal muasal Pangeran Bernhard adalah Jerman. Suami Sri Ratu Beatrix,
adalah Pangeran Claus, juga bukan Belanda. Asalnya Jerman. Begitulah
seterusnya. Mungkin disini lainnya, yaitu bahwa  kami-kami ini,
bedanya ddenan mereka-mereka itu, adalah rasnya, etnisnya.
Mereka-mereka itu berkulit putih, kami bukan. Apakah ini prasangka,
atau naluri rasis (wah)? Kiranya tidak.

Memang,  sementara Londo bulé, katakanlah yang ras Eropide, atau
Kauksis,   seperti pemimpin parpol Vrij Nederland, Meneer Geert
Wilders,  atau seperti Fillip Winters,  ketua parpol rasis dari
Belgia,  yang tergolong ras Putih,   fikirannya masih kejangkitan
'rasisme' abad lalu. Tidak beda dengan konsep 'keunggulan ras Arya'
ide Hitler ,  yang 'bule' , yang tubuhnya besar, hidungnya tinggi dan
rambutnya pérang serta matanya biru.  Bagi mereka-mereka itu, 
orang-orang seperti kami-kami ini,  bukan saja dianggap orang asing,
meskipun sudah puluhan tahun menjadi warga negara negerinya,  tetapi
dianggap 'minder', alias asor dibanding mereka yang menganggap dirinya
ras Eropide, ras Kaukasia yang 'unggul'.  Perbedaan warna kulitnya
Putih atau Hitam itu soal besar bagi mereka.  Suatu kenyataan ialah
bahwa kaum pendatang,  warna kulitnya coklat atau hitam.  Ada yang
sipit dan berkulit kuning, seperti yang datang dari Vietnam, Korea
atau Tiongkok. Yang hidungnya rendah, bibirnya tebal, rambutnya pendek
kriting dsb. Walhasil mereka  yang 'bulé-bulé'  itu merasa terdesak
oleh orang-orang pendatang yang rasnya Negride atau Mongolide, atau
lainnya. Mereka-mereka itu, jiwanya masih terbelenggu oleh 'rasisme'.
Melihat manusia bukan dari penilaian kemanusiawiaan masing-masing
insan, tapi dari perbedaan rasnya, kulitnya serta asal negerinya.
Bagi kaum rasis itu, keyakinan agama itu, tak peudli agama apa yang
dipeluknya, itu hanya alat pemulas saja untuk menutupi watak rasis
aslinya.

*   *   *

Pada malam NATALAN  yang diadakan di Cafe Hofgeest, satu blok dari
rumah kami, seolah-olah perbedaan itu tak ada samasekali. Seolah-oleh
masyarakat Bijlmer adalah suatu masyarakat multikulturil yang toleran
yang hidup damai dan harmonis. Semua ras ada disitu. Macam-macam agama
ada di situ. Polisi yang bulépun hadir sebagai warga Bijlmer. Bukan
sebagai aparat yang menakutkan. Di sini kehadiran polisi itu
menimbulkan rasa aman, bukan rasa was-was atau ancaman akan 'diamankan'.

*   *   *

NATALAN  malam itu diadakan  a.l kiranya  untuk menggalakkan semangat
hidup harmonis dalam suatu masyarakat yang multikulturil dan multi
etnis. Mayortas multak masyrakat ini, adalah orang Belanda. Tapi asal
usulnya macam-macam. Tokh bisa bersama-sama merayakan HARI NATAL YANG
 DAMAI dan HARMONIS. Sempat kami menikmati hidangan menu Suriname yang
sedap. Sambil bersantap mendengarkan nyanyian paduan suara anak-anak
muda asal Suriname. Merdu. Banyak lagu-lagu yang dinyanyikan adalah
lagu-lagu yang memuji dan bersyukur pada Tuhan, pada Yesus. Ketika
pulang kami diberi kenang-kenangan lilin merah dan putih, lambang
harapan dan kedamaian. Demikianlah berlalu satu malam NATALAN yang
indah dan berkesan.  Kami berpisah sambil masing-masing saling
mengucapkan SELAMAT HARI NATAL dan SELAMAT TAHUN BARU 2007. Prettige
kerstdagen verder!   *   *   *  



Kirim email ke