Harus dapat membedakan antara erotisme dan pornografi.  Tidak semua
yang berurusan dengan syahwat itu kotor, kriminal dan dosa.

Erotisme adalah bentuk seni yang merangsang syahwat dengan indah. 
Sedangkan pornografi tidak mengandung unsur seni.

Erotisme jika dinikmati oleh pasangan suami istri, tidak ada salahnya,
malah menambah kenikmatan hidup.

Ekivalen dengan alkohol, kalau dipakai mabuk2an enggak keruan itu
bahaya tapi kalau dalam bentuk wine appreciation itu bentuk seni yang
intelek.

Budaya primitif yang jahiliyah biasanya tidak dapat membedakan antara
seni dengan ekses.

--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "H. M. Nur Abdurrahman"
<[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> 
> ----- Original Message ----- 
> From: "arnoldison nawar" <[EMAIL PROTECTED]>
> To: <[EMAIL PROTECTED]>
> Sent: Friday, December 22, 2006 14:37
> Subject: [surau] Gerakan Syahwat Merdeka Mengepung Indonesia
> 
> Jumat, 22 Desember 2006
> 
> Gerakan Syahwat Merdeka Mengepung Indonesia 
> 
> Seorang bule bertubuh tinggi besar bergegas ke luar
> ruangan Teater Kecil
> Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini Raya, Jakarta
> Pusat. Langkahnya acuh
> saja. Sembari berjalan lurus, dia kemudian mendekati
> penyair Taufiq Ismail
> yang tengah dirubung banyak orang. Setelah sampai di
> dekat Taufiq, ia
> menyalaminya.
> 
> ''Selamat ya. Pidato kebudayaan Anda bagus sekali.
> Tapi ingat, media massa
> Indonesia juga banyak sampahnya. Lihat siaran televisi
> Anda. Bayangkan kalau
> di Amerika tayangan itu diputar pada pukul 03.00 pagi,
> di sini malah diputar
> pada prime time,'' kata si bule sembari memegang
> tangan Taufiq. Yang
> disalaminya pun membalas dengan senyum simpul.
> ''Terima kasih Tuchrello.
> Memang demikian adanya. Maaf, kalau banyak mengambil
> contoh negara Anda,''
> jawab Taufiq.
> 
> Sesaat dia lantas menerangkan sahabatnya itu adalah
> Will Tuchrello, direktur
> Perpustakaan Kongres AS Perwakilan Indonesia.
> ''Bayangkan, mereka saja resah
> atas menggejalanya budaya bebas tanpa batas itu. Tapi,
> kok kita tidak ya?''
> ujar penulis lirik lagu-lagu hits Bimbo ini.
> 
> Taufiq, Rabu (20/12) malam, melalui pidato
> kebudayaannya di depan kalangan
> Akademi Jakarta mengguncangkan kesadaran publik untuk
> kembali menengok
> nurani pada hilangnya rasa malu orang Indonesia.
> Bahkan, Taufiq lugas
> menyebutkan hilangnya rasa malu itu telah mulai
> meruntuhkan bangunan bangsa.
> 
> Tagihan rekening reformasi, menurut Taufiq, ternyata
> mahal sekali. Indonesia
> dikepung gerakan 'Syahwat Merdeka'! ''Gerakan syahwat
> merdeka ini tak
> bersosok organisasi resmi, dan jelas tidak berdiri
> sendiri. Tapi, bekerja
> sama bahu-membahu melalui jaringan mendunia, dengan
> kapital raksasa
> mendanainya. Ideologi gabungan yang melandasinya, dan
> banyak media massa
> cetak dan eletronik menjadi pengeras suaranya,'' kata
> Taufiq dalam
> pidatonya.
> 
> Ketika mendengar 'kesaksian' Taufiq, sesaat ruangan
> Teater Kecil yang penuh
> dipadati puluhan pengunjung mendadak berubah. Ketua
> Umum PP Muhammadiyah,
> Din Syamsuddin, misalnya, segera membuka buku kecil
> yang memuat pidato
> Taufiq Ismail.
> 
> Dari arah bangku belakang, kemudian terdengar lenguhan
> panjang. Seorang ibu
> berguman. Penulis skenario film senior, Misbach Yusa
> Biran,
> menggeleng-gelangka n kepala. Pemusik kontemporer
> Slamet Abdul Syukur tepekur
> di kursinya.
> 
> Ruangan teater pun terus senyap. Suhu udara
> berpendingin kini mulai terasa
> merambahi kulit. Taufiq kemudian meneruskan pidatonya
> dengan menjelaskan
> mengenai siapa saja yang menjadi komponen 'syahwat
> merdeka' itu.
> 
> Paling tidak ada 13 pihak yang menjadi pendukung
> fanatik gerakan ini.
> Pertama adalah praktisi sehari-hari kehidupan pribadi
> dan kelompok seks
> bebas hetero dan homo, terang-terangan dan
> sembunyi-sembunyi. Kedua, para
> penerbit majalah dan tabloid mesum yang telah
> menikmati tiada perlunya
> SIUPP. Ketiga, produser, penulis skrip, dan pengiklan
> televisi.
> 
> ''Semua orang tahu betapa ekstentifnya pengaruh layar
> kaca. Setiap tayangan
> televisi rata-rata 170 juta pemirsa. Untuk situs porno
> kini tersedia 4,2
> juta di dunia dan 100 ribu di internet Indonesia.
> Untuk mengaksesnya malah
> tanpa biaya, sama mudahnya dilakukan baik dari San
> Fransisco, maupun
> Klaten,'' tegasnya.
> 
> Pendukung keempat adalah penulis, penerbit, dan
> propagandanis buku-buku
> sastra dan bukan sastra. Di Malaysia, penulis yang
> mencabul-cabulkan
> karyanya adalah penulis pria. Di Indonesia sebaliknya.
> Penulis yang asyik
> menulis wilayah 'selangkangan dan sekitarnya'
> mayoritas perempuan. ''Dalam
> hal ini ada kritikus Malaysia berkata, 'Wah Pak
> Taufiq, pengarang Indonesia
> berani-berani. Kok mereka tidak malu?'' ungkap Taufiq
> Ismail.
> 
> Kelima, penerbit dan pengedar komik cabul. Keenam,
> produsen VCD/DVD porno.
> Ketujuh, pabrikan alkohol. Kedelapan, produsen,
> pengedar, dan pengguna
> narkoba. Kesembilan, pabrikan, pengiklan, dan pengisap
> rokok. Hal ini
> dilatarbelakangi kenyataan dalam masyarakat permisif,
> interaksi antara seks,
> narkoba, dan nikotin akrab sekali. Sukar dipisahkan.
> 
> Selanjutnya, komponen ke-10 adalah para pengiklan
> perempuan dan laki-laki
> panggilan. Ke-11, germo dan pelanggan prostitusi.
> Ke-12 adalah dukun dan
> dokter praktisi aborsi.
> 
> ''Bayangkan data menunjukan angka aborsi di Indonesia
> mencapai 2,2 juta
> setahun. Maknanya, setiap 15 detik seorang calon bayi
> di suatu tempat di
> negeri kita meninggal di suatu tempat akibat dari
> salah satu atau gabungan
> faktor-faktor di atas,'' tandas Taufiq Ismail.
> 
> Menurut Taufiq, kehancuran hilangnya rasa malu itu
> kemudian tecermin dalam
> gemuruh gelombang penolakan RUU Pronografi dan
> Pornoaksi. Ini adalah pihak
> ke-13. Pada satu sisi memang ada kekurangan. Dan salah
> satu kekurangan RUU
> ini, yang perlu ditambah dan disempurnakan adalah
> perlindungan terhadap
> anak-anak yang jumlahnya 60 juta.
> 
> Perbandingannya, kalau di Indonesia masih nihil
> perundangan perlindungan
> anak, di AS anak-anak di sana paling tidak kini
> dilindungi enam
> undang-undang.
> 
> Sastra ganjil
> Mengomentari keresahan Taufiq, pengarang perempuan NH
> Dini menyatakan, saat
> ini memang ada yang ganjil dalam dunia sastra. Entah
> mengapa tiba-tiba ada
> sekelompok penulis perempuan yang giat menulis cerita
> bergaya pornografi.
> Mereka memang tidak merasa risi atau malu. Entah
> sengaja atau tidak, mereka
> sudah menyalahartikan erotisme menjadi sama saja
> dengan pronografi.
> 
> ''Beberapa waktu lalu, ketika tinggal di Prancis, saya
> dikirimi mendiang
> Ramadhan KH sebuah novel Indonesia yang mendapat
> penghargaan karya sastra.
> Ramadhan, karena tidak 'kuat' membaca, meminta saya
> membaca novel tersebut.
> Dan benar, saya hanya kuat baca beberapa lembar
> saja.'' ''Saya kemudian
> berpikir, apa bagusnya novel ini, kok sampai mendapat
> penghargaan? Malah
> lebih terkejut lagi, ketika bertemu dengan seorang
> rohaniwan, dia malah
> memuji novel itu. Akhirnya, saya semakin tidak
> mengerti,'' tutur NH Dini.
> 
> Budayawan Riau, Al Azhar, menyatakan, apa yang
> dikatakan Taufiq itu memang
> kenyataan yang kini terjadi. Beberapa penulis memang
> menghasilkan karya yang
> 'tidak masuk akal' karena hanya membahas soal
> selangkangan. Dominasi ide
> hanya memaparkan idealisme hedonis. Realitas kehidupan
> rakyat yang berbudi
> diabaikan.
> 
> ''Entah apa yang dipikirkan generasi hedonis itu.
> Mutunya sangat jauh bila
> dibanding karya Pramudya Ananta Toer atau Ahmad
> Tohari. Terjadi penurunan
> mutu karya yang serius. Generasi syahwat merdeka
> memang kini mengepung
> kita,'' tandas Al Azhar.
> 
> <http://www.republika.co.id/koran_ detail.asp?
> id=276485& kat_id=3>
> a.co.id/koran_ detail.asp? id=276485& kat_id=3
> __________________________________________________
> Apakah Anda Yahoo!?
> Lelah menerima spam?  Surat Yahoo! memiliki perlindungan terbaik
terhadap spam  
> http://id.mail.yahoo.com
>


Kirim email ke