Imam Masjid Pun Terpaksa Angkat Kaki
Agenda untuk memojokkan Islam lewat peristiwa 11 September 2001 masih berjalan efektif. Hingga kini, praktik-praktik diskriminasi terhadap Islam masih terus terjadi. Di Belanda, para imam masjid dan guru agama Islam terpaksa meninggalkan Belanda karena tak tahan terus-menerus didiskriminasikan. Situs BBC melaporkan, informasi soal eksodus besar-besaran imam masjid dan guru agama Islam itu diakui Nasr Joemann dari kelompok Muslim Contactorgaan Moslims en Overheid (CMO). Kata Joemann, mereka yang terpaksa pindah itu memang tidak kuat lagi diperlakukan diskriminatif. Setelah keluar dari Belanda, sebagian mereka pindah ke Prancis, dan sebagian lain ke Spanyol. Akibat eksodus ini, sebagian masjid pun tak lagi memiliki imam. Dari 450 masjid di Belanda, 180 di antaranya tidak memiliki imam. Agar aktivitas masjid bisa berjalan seperti biasa, masjid-masjid yang ditinggalkan imamnya itu pun sementara dipimpin oleh imam yang tidak bersertifikat dan terkadang tidak memenuhi syarat. Persoalan ini telah dianggap sebagai masalah krusial oleh Pemerintah Belanda Karena itu direncanakan pada 31 Januari mendatang, eksodusnya para imam masjid dan guru agama Islam ini akan dibahas Pemerintah Belanda dengan komunitas Muslim di negara tersebut. Dari pihak Pemerintah Belanda akan diwakili Menteri Imigrasi, Rita Verdonk. Wakil Ketua Asosiasi Imam Masjid di Belanda, Muhammad Qusalah, menilai peristiwa tersebut terjadi karena salama ini Pemerintah Belanda tidak serius melindungi umat Islam dari perilaku diskriminatif. ''Situasinya sudah kritis Di Amsterdam, di Den Hag, dan Utrecht, puluhan imam sudah meninggalkan kota tersebut,'' tuturnya kepada koran Belanda, de Telegraaf. Dia kemudian menjelaskan perlakuan diskriminatif yang menimpa para imam masjid dan guru agama Islam itu adalah tuduhan mereka terlibat dengan aksi-aksi terorisme. Tuduhan tersebut membuat mereka menjadi tidak nyaman, dan akhirnya memilih untuk pindah. Selanjutnya, Joemann kembali menjelaskan imam-imam masjid yang meninggalkan Belanda itu umumnya pendatang dari Maroko. Selain itu, banyak juga Muslim di Belanda yang merupakan pendatang dari Turki. Namun, kata Joemann, antara Pemerintah Belanda dan Pemerintah Turki memang telah terjalin kesepakatan soal itu, sehingga imam masjid dari Turki lebih mudah didatangkan ketimbang dari Maroko. Dia mengungkapkan, masyarakat Muslim Maroko di Belanda mengalami pembatasan yang ketat. Pihaknya mengaku telah berusaha mendesak Pemerintah Belanda untuk melonggarkan pembatasan yang dirasakannya ketat itu, namun belum direspons. Saat ini, komunitas Muslim di Belanda, menurut data BBC, sudah mencapai satu juta jiwa, atau sekitar 6 persen dari total jumlah penduduk Belanda. Selain karena peristiwa 11 September 2001, perlakuan tak adil terhadap Muslim di Belanda juga dipicu oleh terbunuhnya pembuat film Theo Van Gogh oleh Muslim asal Maroko bernama Muhammad Bouyeri. Semasa hidupnya, Van Gogh memang dikenal sebagai pengkritik keras Islam. Salah satu filmnya yang berjudul Submission dianggap memicu ketersinggungan umat Islam. Film ini menggambarkan, umumnya kaum perempuan di dunia Islam itu diperlakukan tidak adil. Atas ketersinggungan itu pula, Bouyeri menusuk Van Gogh saat bersepeda siang hari di Amsterdam. ''Hukum mewajibkan saya memotong kepala siapa saja yang menghina Allah dan Nabi,'' kata Bouyeri di persidangan. Dari situlah kemudian umat Islam mengalami perlakuan tak adil. Ketidakadilan ini tak hanya membuat umat Islam sangat dirugikan. Mereka yang terang-terangan 'berani' menyudutkan Islam pun mendapat keuntungan. Setidaknya, hal ini dibuktikan dengan terungkapnya skandal politik Ayaan Hirsi Ali, pendatang dari Somalia. Ali masuk Belanda dengan modus meminta suaka. Dia beralasan ajaran Islam di Somalia telah membelenggu kehidupannya. Di Somalia, dia mengaku dipaksa kawin untuk memenuhi ajaran Islam. Alasan inipun diterima Pemerintah Belanda dan Ali diberi kewarganegaraan Belanda. Di Belanda, Hirsi Ali kemudian mengobarkan pendapat-pendapat 'miring' tentang Islam. Dia pernah menyatakan Nabi Muhammad tak lebih dari seorang tiran yang berpikiran dangkal, penyuka kekerasan yang tak akan ragu membantai siapa pun yang menghalangi jalannya. Hal ini membuat namanya kian melambung, dan akhirnya Hirsi Ali bisa masuk sebagai anggota parlemen. Namun, pada Mei 2006 perilaku busuknya terungkap. Dia terbukti memalsukan nama dan tanggal lahir untuk mendapat kewarganegaraan Belanda. Selama di Somalia, dia ternyata juga tidak pernah mengalami pengekangan. Mosi tak percaya pun ditujukan kepada Pemerintah Belanda. Namun, kelihaiannya memanfaatkan semangat memojokkan Islam yang banyak tumbuh di masyarakat Belanda membuat dia mampu meraih 'kesuksesan' dalam waktu singkat. irf http://republika.co.id/koran_detail.asp?id=279775&kat_id=3 [Non-text portions of this message have been removed]