Kang Sabri, sampeyan benar bahwa di wilayah Asia (di luar Jazirah Arab) hak-hak perempuan sudah setara dengan kaum laki-laki.
Tak perlu jauh-jauh ke Mesir, kalau kita menengok kerajaan Kalingga di Jawa abd 5 - 8 sudah tidak memasalahkan lagi kekuasaan di tangan perempuan. Ratu Shimha di awal abad VII sudah menegakkan keadilan hingga di sudut-sudut keluarganya sendiri. Hukuman potong tangan dan kaki diberlakukan bagi siapa saja yang melakukan pencurian, termasuk adik kandung Sang Ratu. Sebutan untuk keluhuran selalu diatributkan kepada kaum perempuan, seperti ibu pertiwi, ibu kota, bahkan penguasa ekonomi di daratan dipegang oleh kaum ibu karena para lelaki melaut dan bertani. Makanya, jangan heran bila sebelum adanya penjajahan banyak istilah "nyai" bagi perempuan bangsawan, seperti Nyai Ageng Serang, Nyai Ageng Manila, Nyai Ageng Tuban, Nyai Ratu Nyamat, Nyai Wonokromo, Nyai Ontosoroh dll. Justru gelar Ki Ageng baru muncul setelah bangkitnya kekuasaan Islam di negeri ini. Oleh karena itu, jangan heran pula, bila di kemudian hari muncul tokoh Cut-Cut, Malahayati, Rasuna Said, Marta Tiahahu dan lain-lain. Mengapa akhirnya para nyai terpinggirkan? Sebab, datangnya para mubalig Islam telah menggeser posisi masyarakat kita dari masyarakat pelaut dan agraris menjadi masyarakat dagang. Komunitas dagang telah menempatkan perempuan ke dalam sektor domestik, sehingga kiprah perempuan menjadi hilang dari peredaran. Padahal, sebelum terbentuknya pemerintahan Islam Demak, pembangun kemajuan Majapahit justru dimotori oleh Ratu Tribuwana Tunggaddewi Jayawisnuwardani, ibunda dari Hayam Wuruk. Dalam kejayaan Majapahit inilah kalau kita mau menyimak laporan pelancong Cina di abad ke-15, menunjukkan kemakmuran yang luar biasa sehingga Kekaisaran Cina tidak berani menganggu. Bahkan Barat setelah meruntuhkan Kedaulatan Islam di Andalusia pun tidak berani otak-atik sisa-sisa Majapahit --meski Portugis sudah berada di Malaka di awal abad ke-16. Baru setelah 100 tahun kemudian, ketika Nusantara telah dikuasai oleh pemerintahan Islam, Barat melakukan penjajahan secara sistematis terhadap negeri Nusantara. Wassalam, chodjim ----- Original Message ----- From: st sabri To: wanita-muslimah@yahoogroups.com Sent: Tuesday, January 16, 2007 11:52 AM Subject: [wanita-muslimah] Re: Warisan Wanita --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, sriwening herpribadi <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > Ukhti Aisha.... > Saya pernah dengar seorang dosen agama islam waktu ceramah umum...mengatakan bahwa islam sejak pertama kali turun secara tegas mengakui hak kepemilikan wanita terhadap harta benda...sedangkan dunia barat dalam hal ini negara inggris baru mengakui hak kepemilikan wanita terhadap harta benda pada abad 18 seiring dengan industrialisasi....( mohon klarifikasi bagi yg tau..)...tq > > Salam > Her Hi Her, di wilayah asia, pada umumnya kultur purba sudah mengakui hak perempuan. Cleopatra berhak atas takhta dan siti Khadijjah adalah pewaris kerajaan bisnis suaminya (lupa namanya, yg jelas nama suami Khadijah sebelum Muhammad bukan Ari Condro). Jadi hak perempuan diakui jauh sebelum Islam muncul. Suku-suku kelt yg kemudian tumbuh menjadi klan anglo dan saxon (asal kata england dari anglo-saxon); memiliki ciri kehidupan komunal jadi tidak ada milik individu. Inggris bukan bandingan, lha ketika suku kelt kasih bisanya bikin cawat dari kulit celeng; orang jawa dah membangun borobudur. salam [Non-text portions of this message have been removed]