Refleksi: Bukan saja pejawat duniawi, tetapi juga pejabat urusan surgawi  pun 
bungkam. 

http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=170339


 KETENAGAKERJAAN
TKI Dianiaya, Pejabat Diam Membisu 


Senin, 9 April 2007
Nasib tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri, terutama kaum wanita, acap 
meruapkan kisah duka mengiriskan. Mulai dari telantar tak karuan, tertipu, atau 
menjadi korban pelecehan seksual, diperkosa, bahkan dianiaya majikan hingga 
melebihi batas-batas kemanusiaan. 

Toh, pejabat yang bertanggung jawab atas nasib TKI ini terkesan acap diam 
membisu. Mereka lebih banyak cuci tangan atau buang badan setiap kali kasus TKI 
menuntut peran mereka datang menyergap. Ironis! Ya, karena TKI sesungguhnya 
relatif banyak menyumbang terhadap perolehan devisa negara. 

Kasus-kasus yang mendera TKI sendiri begitu kompleks. Bukan hanya karena faktor 
majikan yang pada dasarnya memang sekadar ingin mengeksploitasi TKI, tapi juga 
karena faktor budaya dan peraturan di negara tujuan penempatan yang sangat 
melindungi privasi rakyatnya. 

Namun, tidak bisa dimungkiri bahwa tindak kekerasan, penyiksaan, atau pelecehan 
seksual juga karena faktor kemampuan dan keahlian TKI sendiri, khususnya tenaga 
kerja wanita. Kemampuan mereka sangat minim dan tidak memenuhi kebutuhan 
majikan. 

Tapi yang banyak bermasalah adalah TKI di sektor informal, seperti pembantu 
rumah tangga (PRT) atau TKI yang berangkat secara ilegal. Faktor latar belakang 
pendidikan TKI juga menjadi seperti "pemulus jalan" bagi terjadinya tindak 
penyiksaan terhadap mereka. 

Tapi, apakah masalah-masalah tersebut tidak bisa tertangani dengan baik dan 
komprehensif atau minimal dikurangi? Secara logika, pemerintah mengalami 
kesulitan mengatur dan mengawasi pergerakan TKI saat bekerja di luar negeri. 
Terlebih lagi instansi dan departemen terkait di pemerintahan susah saling 
bekerja sama guna menangani masalah-masalah yang dialami TKI. 

Memang, penempatan dan perlindungan terhadap TKI di luar negeri adalah tanggung 
jawab Depnakertrans. Namun, ketika di luar negeri, tentu perwakilan Indonesia, 
yakni Kedutaan Besar RI (KBRI) atau Konsulat Jenderal RI (KJRI), juga 
bertanggung jawab jika TKI atau WNI menghadapi masalah. 

Seharusnya, dalam konteks menghadapi TKI yang bermasalah, Depnakertrans dan 
Deplu yang membawahi KBRI atau KJRI bekerja sama. Mereka mestinya bahu-membahu 
mengawasi kegiatan TKI di luar negeri, termasuk membantu menyelesaikan 
masalah-masalah yang mereka hadapi. 

Apalagi dari sekitar 3 juta TKI yang terdaftar bekerja di luar negeri, 4,6 
persen atau 138.000 orang bermasalah. Salah satunya dialami Siti Zaenab dan Adi 
bin Asnawi yang terancam hukuman mati di Arab Saudi. 

Siti Zaenab, TKI asal Bangkalan, Jawa Timur, ditahan di penjara wanita Madinah 
sejak 1999. Dia divonis hukuman gantung karena didakwa membunuh ibu majikannya. 
Diduga Zaenab melakukan tindakan itu dalam rangka membela diri dan untuk 
menghindari siksaan sang majikan. Suhaidi bin Asnawi, TKI asal Lombok Barat, 
Nusa Tenggara Barat divonis hukuman gantung dengan tuduhan sama. 

Sementara di Malaysia, terakhir 829 TKI bermasalah dideportasi setelah selesai 
menjalani hukuman di berbagai penjara Semenanjung Malaysia. Mayoritas mereka 
ilegal dan mendapatkan hukuman cambuk menggunakan rotan. 

Ironinya, belasan TKI yang ditahan di beberapa penjara Malaysia kedapatan 
mengandung anak atau membawa bayi. Namun tidak bisa dipastikan apakah mereka 
hamil di dalam penjara atau telah hamil sebelum ditahan kepolisian Malaysia. 
Yang pasti, kondisi banyak pekerja asal Indonesia di Malaysia memprihatinkan. 

TKI di sejumlah negara juga sedang menjalani proses hukum terkait kasus 
kriminal atau kasus lain. Sementara 45 TKW dipulangkan pemerintah Kuwait 
beberapa waktu lalu. Dari 418 TKI bermasalah di Kuwait, kini tinggal 69 orang 
yang masih diproses secara hukum. 

Umumnya ke-418 TKI di Kuwait menghadapi masalah terkait tindak penganiayaan 
oleh majikan (67 orang), perlakuan kurang manusiawi (58), tidak betah bekerja 
karena pekerjaan terlalu berat (52), gaji tidak dibayar (51), pelecehan seksual 
(45), habis kontrak tidak dipulangkan oleh majikan (40), minta pulang atas 
kemauan sendiri (39), sakit (37) dan dipulangkan tanpa alasan yang jelas (29). 

Terkait masih banyaknya kasus yang dialami TKI ini, Mennakertrans Erman Suparno 
mengatakan, pihaknya bekerja sama dengan KBRI/KJRI terus melakukan pemantauan 
TKI di negara-negara tujuan penempatan. Pemerintah juga sudah menyiapkan tim 
untuk membantu TKI yang saat ini bermasalah atau sedang berhadapan dengan hukum 
karena kasus kriminal. 

Erman menegaskan pemerintah sudah memberikan bantuan hukum secara maksimal 
melalui kerja sama pengacara Indonesia dengan pengacara di negara setempat. 
"Kita berusaha meringankan hukuman, karena mereka juga warga negara Indonesia," 
katanya. 

Selain itu, pemerintah terus melakukan pendekatan antarpemerintah. Erman 
mengaku telah berupaya menemui Perdana Menteri Malaysia dan pemimpin 
negara-negara tujuan penempatan lain menyangkut masalah TKI ini. "Tetapi kan 
kita tidak bisa memaksakan ketika soal itu adalah bagian undang-undang di 
negara setempat. Tapi sejauh ini bantuan kita selalu bisa meringankan hukuman 
TKI yang sedang berhadapan dengan kasus hukum," tutur Erman. 

Aparat Depnakertrans sendiri, menurut Erman, langsung bertindak cepat jika ada 
TKI yang menghadapi masalah di luar negeri. Jajaran Depnakertrans langsung 
melakukan koordinasi dengan pihak KBRI/KJRI untuk pengumpulan informasi dan 
upaya penanganan. 

Sementara itu, Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja 
Indonesia (BNP2TKI) Moh Jumhur Hidayat mengatakan, pihaknya berupaya melakukan 
penjajakan dengan asosiasi pengacara di negara-negara penempatan tenaga kerja 
Indonesia (TKI). 

"Kita sudah mulai menjajaki dengan asosiasi lawyer di negara penempatan TKI. 
Saat ini sedang berjalan, mudah-mudahan dalam satu dua bulan ke depan, mereka 
sudah mulai bekerja," katanya. 

Menurut dia, penjajakan itu tidak lain untuk melindungi TKI yang ada di luar 
negeri. Selain itu, proses perlindungan terhadap TKI itu juga tidak dilakukan 
terbatas saat mereka berada di luar negeri, tapi bagi mereka yang berniat 
berangkat dan pulang ke Tanah Air. 

Perlindungan itu, kata Jumhur, perlu dilakukan mengingat TKI banyak tertipu 
atau berbuntutkan kebohongan setelah mereka dikumpulkan di satu tempat, tapi 
mereka tidak jadi diberangkatkan ke luar negeri. 

Jumhur juga meminta Konsorsium Asuransi Perlindungan membangun jaringan koneksi 
dengan perusahaan asuransi di sejumlah negara penempatan di luar negeri. Meski 
kebijakan tentang konsorsium asuransi memang di bawah Depnakertrans, tapi 
sebagai lembaga yang menanganinya di lapangan, BNP2TKI berhak mengevaluasi 
aktivitas dan efektifitas perusahaan asuransi yang ditunjuk melindungi TKI. 

"Kita punya hak untuk mengevaluasi, apakah konsorsium asuransi itu bisa bekerja 
dengan baik atau tidak. Tapi yang lebih penting dari itu, saya meminta 
konsorsium asuransi mempunyai koneksi yang kuat dengan lembaga perlindungan di 
negara-negara penempatan," kata Jumhur. 

Dia menilai tidak ada gunanya perusahaan asuransi "hebat" di dalam negeri, 
tetapi di negara penempatan tidak bisa melakukan apa-apa untuk melindungi TKI, 
sementara sebagian besar program perlindungan terjadi di luar negeri. 

Sampai saat ini, Jumhur mengakui belum mendapat laporan resmi konsorsium 
asuransi mana saja yang sudah mempunyai jaringan kerja sama dengan perusahaan 
asuransi di negara penempatan TKI. "Kalau itu belum ada, itu bisa jadi evaluasi 
yang nggak baiklah. Kalau mereka main-main, ya bisa kita usulkan dicabut," 
katanya. (Andrian Novery)

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke