Yang tahu banyak mba Ning. Bahwa konsep kesetaraan pada waktu itu, 
contohnya adalah ketidaksetaraan pendidikan untuk (anak) laki2 dan 
(anak) perempuan, dimana pada waktu itu cuma laki2 yang bisa duduk 
di sekolah, perempuan ngapain sekolah toh nantinya ke dapur juga, 
gitu.

Kalo perempuan nggak terdidik, gimana mereka nanti mempunyai 
kapasitas menjadi pendidik, iya kan? Jadi sense of equality atau 
konsep besar kesetaraan pada waktu itu difokuskan Kartini pada hak 
pendidikan bagi perempuan, yaitu hak yang dinilai Kartini prioritas 
untuk menuju kesetaraan.

Dan dalam konsep kesetaraan bukan serta merta artinya persaingan, 
tapi ada kebersamaan (sharing) di situ. Sudut pandang persaingan itu 
cenderung macho chauvinistik, dan jelas Kartini bukan machoist.

salam
Mia

--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "Tri Budi Lestyaningsih 
\(Ning\)" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> 
> Terimakasih mas Satriyo, sudah menjawab email mb Lestari. Saya 
sepaham
> dengan jawaban mas Satriyo.
> 
> Anyway, sebenarnya yang saya ingin lebih tampilkan (tonjolkan) di 
email
> saya yang awal itu bukan masalah Kartini berjilbab atau tidak. Yang
> lebih ingin saya tonjolkan sebenarnya adalah banyaknya persepsi 
yang
> keliru di masyarakat mengenai pemikiran Kartini itu. Banyak yang 
tidak
> tahu bahwa pemikiran Kartini itu ternyata mengalami evolusi, dari 
yang
> semula memperjuangkan kesamaan laki dan wanita, menjadi suatu 
perjuangan
> untuk menempatkan wanita di posisi yang seharusnya, yakni sebagai
> pendidik generasi yang pertama-tama. Beliau jelas-jelas mengatakan 
di
> surat terakhirnya kepada prof ... (lupa namanya), bahwa pendidikan 
yang
> dia propose untuk kaum wanita BUKAN ditujukan agar wanita menjadi
> saingan bagi laki-laki, tetapi agar wanita dapat menjalankan tugas
> utama-nya dengan baik, yakni pendidik generasi yang pertama-tama. 
> 
> Begitu.
> 
> Wassalaam,
> -Ning


Kirim email ke