May 13, 2007 Pewahyuan Al-Quran: Antara Budaya dan Sejarah ebionite Opini
Mohamad Guntur Romli, AKTIVIS JARINGAN ISLAM LIBERAL email: [EMAIL PROTECTED] Pewahyuan adalah proses kolektif, baik sumber maupun proses kreatifnya. Ia bukanlah proses yang tunggal. Al-Quran sendiri menegaskan gagasan ini. Ketika Al-Quran berbicara tentang pewahyuan, baik dengan kata "mewahyukan" (awha) maupun "menurunkan" (anzala, nazzala) Al-Quran, digunakan kata nahnu: berarti kami--sebagai subyek--seperti dalam awhayna (kami telah mewahyukan) ataupun anzalna, nazzalna (kami telah menurunkan). Dalam Al-Mu'jam al-Mufahhras li Alfadzil Qur'an, kata awhaytu (aku mewahyukan) hanya dipakai delapan kali, sedangkan awhayna (kami mewahyukan) digunakan lebih dari 30 kali. Kata "kami" adalah bentuk plural. Pertanyaannya, siapakah yang disebut "kami" dalam ayat-ayat itu? Para mufasir klasik yang berkeras pada doktrin ketunggalan dalam pewahyuan menolak memahami "kami" sebagai pluralitas dalam pewahyuan. Menurut mereka, meskipun "kami" bentuknya plural, konotasinya pada Dia Yang Tunggal, kata "kami" bertujuan lit ta'dzîm (memuliakan) "si pembicara". Namun, pendapat ini, menurut hemat saya, rancu. Kata "kami", bila digunakan sebagai pengganti "saya" atau "aku" untuk memuliakan "lawan bicara", bukan "si pembicara". Misalnya, seorang menteri tidak akan menggunakan kata "aku/saya telah melakukan" di depan presidennya, tapi mengatakan "kami telah melakukan". Sebab, selain menunjukkan penghormatan terhadap lawan bicara, menandakan pengakuan, karena apa yang telah ia lakukan bukanlah hasil kerjanya sendiri, melainkan kerja kolektif. Dalam tradisi tafsir klasik, menafsirkan istilah "kami" yang merujuk kepada Allah, Roh Kudus Jibril, dan Muhammad lazim kita temukan. Dalam pandangan ini, Al-Quran secara "maknawi" bersumber dari Tuhan, tapi secara "lughawi " (redaksi bahasa) disusun oleh Malaikat Jibril atau Nabi Muhammad: Al-Quran adalah "karya bersama" Allah, Jibril, dan Nabi Muhammad. Kelompok rasional Islam Muktazilah adalah pelopor pemahaman ini. Pendapat ini berdasarkan sambungan sebaris ayat yang berbicara tentang turunnya Al-Quran: wa inna lahu lahafidzûn, "dan sesungguhnya kami pula yang akan menjaganya (Al-Quran)". Di sini proses turunnya Al-Quran, sebagaimana proses penjagaannya, melibatkan "kerja kolektif" antara Tuhan dan manusia. Proses penjagaan (autentisitas) Al-Quran oleh manusia berbentuk hafalan dan tulisan. Pewahyuan yang plural itu bisa ditegaskan lebih lanjut dengan menggunakan kajian sejarah yang melibatkan konteks sejarah, masyarakat, tradisi, dan lingkungan. Pewahyuan dari konteks ini, menurut saya, bisa lebih menegaskan klaim Al-Quran sendiri, yang menggunakan kata "kami" yang plural, bukan "aku" yang tunggal. Kisah dalam Al-Quran Saya akan mengambil contoh kisah-kisah yang banyak dimuat Al-Quran. Dua pertiga isi Al-Quran adalah tentang kisah yang bersumber dari konteks tempat wahyu itu turun: kisah-kisah yang diperbincangkan di pasar-pasar, di sela-sela transaksi dan safari perniagaan, ataupun dongeng yang diwariskan secara turun-temurun. Dari kajian sejarah ini, Al-Quran tidak bisa melampaui konteksnya. Dalam ranah ini, pendapat Nashr Hamir Abu-Zayd bahwa al-nash muntaj tsaqafi (Al-Quran merupakan produk budaya) adalah sahih. Al-Quran adalah produk rangkaian proses kreatif-kolektif manusia yang disebut budaya. Wahyu tidak bisa lepas dari dua faktor yang membentuknya: sejarah (al-tarikh) dan konteks (al-waqi'). Kisah-kisah Al-Quran yang dipercaya sebagai mukjizat hakikatnya merupakan kisah-kisah yang sudah populer pada zaman itu. Al-Quran tidak pernah menghadirkan kisah-kisah yang benar-benar baru. Misalnya saja kita tidak menemukan kisah tentang masyarakat Cina atau India, yang waktu itu telah memiliki peradaban yang luar biasa. Hal itu terjadi karena kisah-kisah tersebut tidak pernah sampai atau kurang populer ataupun tidak memiliki dampak ideologis dan politis terhadap masyarakat Arab. Berbeda dengan kisah-kisah yang berasal dari kawasan yang disebut "Bulan Sabit Subur". Kawasan ini menjadi "mata air" yang mengalirkan kisah-kisah yang termaktub dalam Al-Quran. Kisah Nabi Isa Bukti lain bahwa Al-Quran tidak bisa melampaui konteksnya adalah kisah tentang Nabi Isa (Yesus Kristus). Sekilas kita melihat bahwa kisah Nabi Isa dalam Al-Quran berbeda dengan versi Kristen. Dalam Al-Quran, Isa (Yesus) hanyalah seorang rasul, bukan anak Allah, dan akhir hayatnya tidak disalib. Sementara itu, dalam doktrin Kristen, akhir hidup Yesus itu disalib, yang diyakini untuk menebus dosa umatnya. Ternyata kisah tentang tidak disalibnya Nabi Isa juga dipengaruhi oleh keyakinan salah satu kelompok Kristen minoritas yang berkembang saat itu, yakni sekte Ebyon. Bagi kelompok Kristen mayoritas yang menyatakan Isa (Yesus) mati disalib, sekte Ebyon adalah sekte Kristen yang bidah. Saya menjumpai adanya sekte Ebyon ini dalam buku Dinasti Yesus (2007) karya James D. Tabor. Menurut Tabor, sekte ini memiliki keyakinan yang mirip dengan keyakinan Islam dan berbeda dari Gereja Roma (lihat di bagian Konklusi di buku Tabor). Malah, menurut Tabor, sekte inilah ahli waris ajaran-ajaran kuno Yesus sebelum bercampur baur dengan ajaran Paulus. Tabor juga berasumsi bahwa Ebyon inilah yang memiliki kontak dengan Islam dan Nabi Muhammad. Namun, dalam konklusi yang sangat pendek itu, Tabor tidak mengulas secara detail persamaan keyakinan Ebyon dan Islam, khususnya dalam peristiwa yang sangat krusial, yaitu penyaliban Yesus. Bagi para peneliti Yesus Sejarah, penyaliban Yesus adalah fakta sejarah, sedangkan bagi Ebyon--sepanjang pengetahuan saya terhadap akidah sekte ini dari beberapa literatur sejarah Arab dan Kristen--memang mirip dengan akidah Islam serta menolak cerita penyaliban Yesus. Sejarah dan doktrin sekte Ebyon di Arab ini bisa ditemukan dalam buku Dr Jawwad Ali al-Mufashshal fi Tarîkh al-'Arab Qablal Islâm (Sejarah Bangsa Arab Sebelum Islam) dalam empat jilid dan buku Al-Nashrâniyah wa Âdâbuha Bayna 'Arab al-Jâhiliyah (Sejarah dan Sastra Kristen di Era Arab Jahiliyah) dalam dua jilid, karya Al-Abb Luwis Syaikhu al-Yasû'i, seorang Romo Katolik Jesuit. Demikian juga dalam Al-Mawsû'ah Tarîkh Aqbâth Mishr (Ensiklopedi Sejarah Koptik Mesir). Pada zaman Nabi Muhammad tidak hanya sekte Ebyon yang tersebar di Jazirah Arab. Ada dua sekte Kristen lain yang jauh lebih besar: Manofisit dan Nestorian, sebagai kelompok terbesar Gereja Timur yang berlawanan dengan Gereja Roma. Namun, kedua sekte itu (Manofisit dan Nestorian) tetap memiliki pandangan bahwa Yesus mati disalib. Hanya, keyakinan Ebyonlah yang benar-benar berbeda: Isa bukan anak Tuhan, ia hanya Rasul, dan matinya tidak disalib. Pengaruh Ebyon dan Waraqah bin Naufal Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa Al-Quran lebih memilih pandangan Ebyon yang minoritas dan keyakinannya dianggap bidah oleh mayoritas Kristen waktu itu? Saya memiliki dua asumsi. Pertama, karena pandangan Ebyon ini lebih dekat dengan akidah ketauhidan Islam. Kedua, sepupu Khadijah bernama Waraqah bin Naufal adalah seorang rahib sekte Ebyon. Kedekatan Waraqah dengan pasangan Muhammad-Khadijah diakui oleh sumber-sumber Islam, baik dari buku-buku Sirah (Biografi Nabi Muhammad), seperti Sirah Ibn Ishaq dan Ibn Hisyam, ataupun buku-buku hadis standar: Al-Bukhari, Muslim, dan lain-lain. Waraqah adalah wali Khadijah yang menikahkannya dengan Muhammad. Seorang perempuan kali itu--yang kemudian dilanjutkan oleh syariat Islam--tidak bisa menikah tanpa seorang wali laki-laki. Bisa dibayangkan kedekatan Waraqah dengan Khadijah dan Muhammad. Pun Waraqah orang pertama yang mengakui bahwa Muhammad memiliki tanda-tanda kenabian. Ia juga bernubuat, "nasib Muhammad seperti nabi-nabi sebelumnya, dia akan diusir oleh kaumnya". Al-Quran juga mengisahkan mukjizat Isa (Yesus) masa kanak-kanak, membuat burung-burung dari tanah, kemudian menghidupkannya. Kisah ini memang tidak ada dalam empat Injil (Markus, Matius, Lukas, dan Yohanes), tapi bukan berarti Al-Quran adalah sumber tersendiri. Kisah mukjizat Isa (Yesus) masa kanak-kanak ini ada dalam tradisi Gnostik Kristen: Injil masa kanak-kanak Yesus menurut Tomas. Kesimpulan saya sementara--yang tentu saja bisa didebat dan dibantah--kisah Isa (Yesus) dalam Al-Quran, yang menegaskan bahwa Isa "hanyalah" seorang rasul, bukan anak Tuhan, dan tidak ada penyaliban terhadapnya adalah "saduran" dari keyakinan sebuah sekte Kristen: Ebyon. Alasan Al-Quran menggunakan kisah Yesus versi ini, seperti yang telah saya kemukakan: akidah sekte ini sesuai dengan tauhid dan misi Islam, pun sepupu mertua Muhammad: Waraqah bin Naufal, adalah seorang rahib dari sekte Ebyon yang pertama kali "meyakini" Muhammad sebagai nabi. Kajian-kajian tadi, baik terhadap teks-teks Al-Quran maupun kajian sejarahnya, menyatakan bahwa pewahyuan Al-Quran berasal dari sumber dan konteks yang plural: konteks dan sejarah tempat Nabi Muhammad hidup, baik sebelum maupun setelah ia menerima wahyu. Malah "proses kreatif" itu lebih kuat sebelum Muhammad menerima wahyu, hanya periode itu adalah "tahun-tahun yang hilang" ataupun tidak menjadi pusat perhatian dalam studi Islam klasik, yang tujuannya untuk menegaskan pewahyuan yang tunggal dari Tuhan serta menafikan pengaruh konteks dan sejarah. Al-Quran sebagai "kitab-keimanan" sah-sah saja bila diyakini memiliki sumber tunggal: ia adalah mukjizat, melalui proses yang menakjubkan, hingga di luar nalar manusia. Namun, Al-Quran dalam kajian kesejarahan tidak bisa dipandang seperti itu. Dalam ranah ini, Al-Quran tetap memiliki banyak sumber dan "proses kreatif" yang bertahan serta berlapis-lapis. Al-Quran adalah "suntingan" dari "kitab-kitab" sebelumnya, yang disesuaikan dengan "kepentingan penyuntingnya". Al-Quran tidak bisa melintasi "konteks" dan "sejarah", karena ia adalah "wahyu" budaya dan sejarah. http://www.korantempo.com/korantempo/2007/05/04/Opini/krn,20070504,72.id.html --------------------------------- Moody friends. Drama queens. Your life? Nope! - their life, your story. Play Sims Stories at Yahoo! Games. [Non-text portions of this message have been removed]