Yang berhormat Ibu Lestari(n), Dah ga cape... ? ;-]
Saya minta maaf kalo gitu krn ternyata ada sedikit ketidaksesuaian antara apa yang ibu sampaikan dan apa yang saya sampaikan sebagai tanggapan. Soal tidak berjilbab yang asumsinya adalah tidak menutup aurat, itu bukan hak prerogatif manusia untuk memvonis, sia-sia atau tidak. Al- Qur'an sudah jelas menunjukkan siapa2 saja hamba Allah yang sia-sia sholatnya. Tapi apakah memang orang yang sengaja tidak berjilbab karena tidak mau tahu bahwa itu adalah perintah Allah dan pada saat yang sama tidak mentaati sebuah aturan yang dibuat berdasarkan perinta Allah itu bisa dianggap/dikhawatirkan sia-sia shalatnya itu tetap suatu yang bukan urusan manusia. Hanya memang, tidak ada salahnya melihat celetukan pria yang menanggapi si muslimah yang tidak berjilbab di daerah lingkungan masjid yang diwajibkan berjilbab itu sebagai teguran saja, bukan menghakimi atau memvonis. Ya kan? Soal Depok, ibu belum menjawab pertanyaan saya yang tertera: "Lalu apa hubungannya dengan Depok? Memang Aceh ada hubungan dengan Depok?" yang dari jwb anda sebenarnya bisa tidak Depok yang anda sebut. Lalu "ngurusin" perempuan berjilbab apa memang "urusan" perda syariah? Kalo 'ngurusin' perempuan 'gendut' mungkin saja bagian dari perda lain ... ;-] Anda tidak setuju dengan perda Syariah? salam, Satriyo --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "lestarin" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > Yth. Pak Satriyo/Pak rsa, > > Saya malah tidak mengomentari "bunga-bunga" Anda soal Istilah > Sermabi Mekkah dan lain-lainnya soal Aceh, justru sekali lagi, saya > menanggapi kalimat Anda yang bilang, di mana bumi dipijak, di situ > langit di junjung:). Yang seolah-olah menyalahkan perempuan di Aceh > yang tidak berjilbab:D. Malah ada yang berkata-kata bahwa perempuan > tidak berjilbab itu sholatnya sia-sia--> ini lho pak poin-nya:), > bukan ngomongin Acehnya. > > Saya memang bukan orang Aceh, tapi saya belajar banyak sejarah Aceh, > di mana aslinya perempuan-perempuan Aceh memang tidak berjilbab. > Dulu kan Anda pernah mempertanyakan bacaan sejarah Saya tentang > deskripsi pakaian-pakaian perempuan Aceh, yang Anda bilang semuanya > perempuan Aceh termasuk Cut Nyak Dien berjilbab, dan saya sudah > panjang lebar sampaikan pula, Cut Nyak Dien bukan berjilbab, namun > mengenakan kain panjang yang multi fungsi.Kalau Anda tidak mau > berkomentar karena saya bukan orang asli Aceh, juga tidak apa-apa > lha wong saya juga tidak minta komentar Anda secara spesifik kok:). > > Aceh memang bukan Depok, tapi Depok akan bisa menuju penerapan Perda > Syariat ala Aceh, kan sekarang lagi di "godok" di pemerintahan > Depok. Termasuk "ngurusin" perempuan berjilbab atau tidak:) > > Wassalam > > Lestari > > > > > --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "rsa" <efikoe@> wrote: > > > > Wah ya pantas anda cape, yang secara nanggepin komentar saya > > semaunya. Santai sajalah. Anda akan saya tanggapi sec mendalam > > seandainya anda memang orang aceh asli yang bukan model modal > darah > > aceh doang atau mengaku tahu Aceh semata karena modal pernah > tinggal > > atau sudah beberapa lama tinggal di Aceh! ;-] > > > > Saya lebih menghargai macam mas Eros yang bisa menggugah dengan > karya > > kolosal dan monumentalnya, Tjut Nja' Dhien itu. Lihat, apakah > menurut > > anda Tjut Nja' kejam langsung membunuh begitu saja inang yang 'ia > > anggap' berkhiatan pada Kompeni, padahal sesaat sebelum ditikam > > rencong, si inang 'confess' atas kesalahannya itu? Kan itu khas > cara > > penanganan 'pengkhianat' di masa perang berdasar syariat Islam? > Apa > > tidak jelas bagaimana para perempuan pejuang Aceh menutupi Aurat > > mereka? Saya gak ngajak ribut soal Tjut Nja', tapi anda yang ajak. > > So, ... silakan saja. Tapi saya ingin membedakan antara jilbab dan > > aurat. Yang satu adalah pakaian, yang lain adalah bagian tubuh > yang > > perlu ditutup oleh muslim dan tidak boleh dilihat oleh orang lain, > > selain orang tertentu. > > > > Kembali ke pokok bahasan, mengikuti anjuran pak Chodjim, agar > fokus. > > > > Anda membaca tidak sih totalitas isi komen saya? Kenapa yang > berupa > > sampiran malah anda blow up? > > > > Lihat tidak apa sebenarnya ingin saya sampaikan? > > > > Kalo ingin bersikukuh bahwa Aceh itu dari sononya bukan negeri > yang > > berhak bergelar 'serambi mekah' karena sejak Kerajaan di Aceh > > mengadopsi Syariat Islam, ya itu hak anda tapi jangan terpaku pada > > apa yang bisa anda amati yang tentu terbatas tempat dan waktu. > > > > Anda kemanakan sejarah Aceh itu? Kalo anda hanya melihat interior > dan > > kondisi sebuah pub di Jakarta yang isinya orang2 yang 'cari > > hiburan' ... ya pasti seperti itu yagn akan anda lihat tentang > > jakarta dan otomatis pronografi dan segala turunan dan target > > mengejar nafsu pantas diperjuangkan oleh mereka yang menikmatinya. > > Artinya Jakarta yang mayoritas muslim, penduduk aslinya orang > Betawi > > yang religius, hampir mirip dengan Aceh, atau Padang, atau Banten, > > atau Madura, atau Makassar (semua tempat yang Islam sangat > mewarnai > > tradisi dan kehidupan penduduknya), adalah seperti situasi di pub > > malam itu. Apakah hanya mengacu pada keterbatasan tempat dan waktu? > > > > Lalu apa hubungannya dengan Depok? Memang Aceh ada hubungan dengan > > Depok? > > > > Cappee deehhh ... > > > > Intinya, saya itu setuju dengan perda syariah asal memang tidak > > artificial, dipaksakan. Itu sangat tidak sesuai dengan semangat > > dakwah Rasulullah. > > > > Terserah anda mau setuju atau tidak dengan persepsi saya bahwa ada > > daerah2 di negeri makmur ini yang memang ratusan tahun sudah akrab > > dengan 'perda syariah'. Tapi faktanya sekarang sangat banyak pihak > > yang ingin melakukan de-syariah-isasi pada daerah2 itu. Salah > satunya > > ya Aceh. Betapa Aceh sekarang dan dulu itu beda. Dan wajar Aceh > bukan > > lagi negeri yang patut menyandang gelar 'serambi Makah' spt dulu. > > > > Benar saja kata H Agus Salim, "Islam sangat mungkin hilang dari > > negeri ini, tapi Islam tak akan pernah hilang dari dunia ini!" > > > > Allaahu akbar! > > > > salam, > > satriyo >