SUARA KARYA Memulangkan "Pahlawan Devisa" Oleh Urwatul Wutsqo
Selasa, 26 Juni 2007 Practical slavery gave contribution to the economic regulation till 19th century previously the international tractat is prohibited it with a reason that the slavery opposite with humanity and fairness. Geoffrey Robertson (Crimes Against Humanity, 2000:258) Kasus penganiayaan terhadap tenaga kerja Indonesia (TKI) terus berulang, sementara jaminan perlindungan dari negara minim sekali. Karena sering berulangnya kasus serupa, semestinya negara memberlakukan aturan yang ketat bagi biro-biro jasa yang selama ini meregulasi TKI, atau negara sebaiknya mencabut kebijakan mengirim TKI. Jadi, jangan lagi ada alasan bahwa TKI merupakan "pahlawan devisa" bagi negara. Kita tahu, di balik kata-kata itu terdapat sebentuk kemunafikan, di mana pemerintah atau biro-biro jasa penyalur tenaga kerja meraup keuntungan tapi telah secara rela menjual tenaga manusia Indonesia dengan sangat murah. Harkat dan martabat bangsa Indonesia juga telah dipermalukan karena telah menyuplai "kuli" ke negara orang. Biasanya ada dua cara bagi TKI untuk bisa bekerja di luar negeri. Pertama lewat jalur formal yang lazimnya dikelola oleh biro-biro penyalur tenaga kerja dan memiliki izin resmi dari pemerintah. Kedua, lewat jalur ilegal di mana para TKI diselundupkan oleh oknum-oknum tertentu yang mengatasnamakan biro-biro penyalur tenaga kerja. Justru yang kedua itulah letak problematikanya. Sebab ketika terjadi kekerasan, pemerintah di negara tempat TKI bekerja akan menyalahkan TKI-nya karena masuk secara ilegal. Oleh sebab itu, negara harus mengusut oknum-oknum tertentu yang membawa TKI secara ilegal. Selama ini negara menjadikan TKI sebagai dunia industri yang bisa menghasilkan aset. TKI menghasilkan sumber devisa bagi negara yang jumlahnya sangat besar. Pemerintah memberikan kemudahan-kemudahan bagi biro-biro tenaga kerja dan bagi mereka yang ingin menjadi TKI. Namun, kini negara terkesan lembek ketika ada TKI yang mendapatkan perlakuan kekerasan. Banyak sekali kasus kekerasan yang dilakukan majikan, tapi tak ada perlindungan sama sekali dari negara. Jika ada kasus kekerasan, sikap saling lempar tanggung jawab biasanya sering terjadi. Antara pihak biro penyedia jasa tenaga kerja di satu sisi dan negara atau pemerintah di sisi lain, tak mau disalahkan dengan adanya kasus kekerasan. Sikap permisif lalu muncul, paling biro penyedia jasa tenaga kerja maupun pemerintah hanya memberikan bantuan seadanya kepada pihak keluarganya. Setelah itu mereka benar-benar lepas dari tanggungjawab. Selama ini tak ada tindakan hukum yang dilakukan untuk mengusut kasus-kasus kekerasan yang dialami TKI. Ada kesan, manusia Indonesia begitu murah, bisa diperlakukan untuk apa saja, termasuk bisa diperlakukan untuk melampiaskan rasa kemarahan seorang majikan. Anehnya, banyak kasus kekerasan terhadap TKI tapi tak ada satu kebijakan konkret dari negara. Ada kesan negara membiarkan kondisi itu terus berlangsung. Mestinya negara menghentikan kebijakan memberangkatkan TKI ke luar negeri, bukan malah mempermudah persyaratan bagi TKI, kalau toh pada akhirnya mereka para TKI akan diperlakukan semena-mena. Negara terkesan hanya mencari keuntungan. Semestinya ada kebijakan-kebijakan tertentu dari negara yang benar-benar menjamin atas keberadaan TKI di luar negeri, apalagi bermukim untuk waktu yang lama. Ada tiga hal yang harus diambil oleh negara ketika membuka kebijakan bagi TKI. Pertama, negara harus benar-benar berkoordinasi dengan perwakilannya di luar negeri (Kedubes RI), yang bertugas mendata, mengayomi atau memantau keberadaan TKI yang ada di masing-masing negara tujuan. Kedua, negara wajib memberikan bantuan hukum jika ada TKI yang memiliki persoalan hukum di negara tujuan. Ketiga, negara harus mengusut tuntas jika ada kasus-kasus pelanggaran HAM atau kekerasan terhadap TKI yang ada di luar negeri. Tiga hal itu harus menjadi prinsip dan harus dijalankan secara baik. Sebab ada kesan, tradisi dan budaya negara ini hanya komprehensif dalam dataran wacana dan peraturan, namun kenyataan di lapangan sering tidak sesuai dengan teorinya. Ke depan, negara harus membuktikan bahwa antara teori atau aturan dan praktiknya, terutama dalam persoalan TKI, harus dijamin benar-benar akan diimplementasikan sesuai dengan tuntutan dan keinginan masyarakat luas. Negara mestinya memiliki keberanian jika ada kasus kekerasan atau pelanggaran HAM yang menimpa TKI di negeri orang. Negara jangan terkesan lembek dan tidak berani menghadapi negara-negara di mana di situ ada TKI yang tertimpa kasus kekerasan maupun pelanggaran HAM. Jika negara atau pemerintah tak melakukannya, sebaiknya menghentikan kebijakan pengiriman TKI ke luar negeri. Lebih jauh lagi, pemerintah perlu membuat kebijakan dengan membuka peluang kerja seluas-luasnya, sehingga keberadaan negara atau pemerintah dirasakan ada manfaatnya oleh warga negara. Tugas dan fungsi negara adalah mengatur dan menjamin kesejahteraan serta keselamatan warga negaranya dari segala kejahatan, pelanggaran HAM, penjajahan bahkan kebodohan dan kemiskinan. Undang-Undang 1945 menyatakan bahwa negara ini adalah negara kesejahteraan (welfare state). Negara memiliki tugas dan kewajiban untuk menyejahterakan kehidupan warga negara. Salah satu implementasinya adalah memberikan peluang kerja seluas-luasnya di negaranya sendiri. Sudah saatnya negara ini memperbaiki diri dengan banyak belajar dari kasus-kasus-kasus kekerasan dan pelanggaran HAM terhadap TKI-yang terjadi selama ini. Negara (pemerintah) dikatakan teramat bodoh jika membiarkan, menganggap angin lalu, dan tidak mengambil pelajaran dari peristiwa-peristiwa yang telah menimpanya.*** Penulis adalah staf pengajar Yayasan al-Amanah [Non-text portions of this message have been removed]