Ubud, Kompas - Sastra dapat membawa dan menyebarkan perdamaian.
Terutama saat sastra menjadi jendela untuk melihat dan memahami jiwa
dan kehidupan manusia yang berbudaya dan berperadaban lain.
  Hal itu dikemukakan Shashi Tharoor di sela acara Ubud Writers and
Readers Festival akhir pekan lalu. Shashi adalah penulis India yang
lama berkarier di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Tahun 2006, dia menjadi
calon dari India untuk posisi Sekretaris Jenderal PBB dan menjadi
calon terkuat kedua dari tujuh calon.
   
  "Sastra membantu manusia saling mengerti. Konflik kerap muncul dari
kesalahpahaman atau ketidakmengertian. Dalam ketidakmengertian itu
kadang terdapat situasi di mana orang dari budaya atau peradaban
tertentu merasa orang lain sangat berbeda dan tidak memiliki persamaan
dengan mereka," ujar salah satu pembicara pada festival para penulis
dan pembaca itu.
   
  Sastra dengan berbagai cara kreatif mampu mendeskripsikan kehidupan
dan jiwa manusia dari budaya, negara, atau peradaban lain. Kata
menjadi jendela untuk dapat mengerti manusia atau komunitas di luar
diri seseorang. Sastra juga bisa menunjukkan, dalam diri manusia pada
dasarnya terdapat persamaan sifat kemanusiaan yang fundamental.
   
  Hal senada diungkapkan penulis Ronggeng Dukuh Paruk, Ahmad Tohari. Dia
berpendapat, karya sastra, terutama karya besar, memengaruhi sikap
orang, terutama dalam memilih kebenaran dan perdamaian. "Mahabharata,
misalnya, membuat orang berpihak pada kebenaran. Karya sastra menjadi
tempat orang bercermin dan kontemplasi. Sastra memperkaya jiwa dan
membuat jiwa tergetar. Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer
membuat jiwa kita bertanya-tanya dan nurani kita akan berpikir. Itu
membuat kita peka terhadap kebenaran, cinta, dan keadilan," ujar Ahmad
Tohari.
   
  "Sastra yang tidak memperkaya kemanusiaan itu dekaden atau membuat
moralitas kita turun," ujarnya. Dia mengatakan, sastra yang
kontroversial sekalipun dapat menjadi alat untuk pewartaan dan
digunakan sebagai alat kontemplasi.
   
  "Dalam Ronggeng Dukuh Paruk saya tentu tak menganjurkan pelacuran.
Namun, itu pewartaan terhadap apa yang telah ada dilakukan dan nurani
kita kemudian berpikir hendak bagaimana kita dengan pewartaan ini.
Teks itu, ketika dipegang pembaca, maka pengarangnya sudah mati.
Pengarang tidak perlu memengaruhi daya tangkap dan tafsir pembaca.
Untuk sampai kepada pemahaman yang utuh, teks perlu dibaca secara
dewasa dan komprehensif. Jangan melihat dari sisi seks atau politiknya
saja agar jiwa mendapatkan sesuatu," ujarnya. (INE)
   
  http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0710/01/humaniora/3885592.htm



e-mail: [EMAIL PROTECTED]  
  blog: http://mediacare.blogspot.com  
   

       
---------------------------------
Yahoo! oneSearch: Finally,  mobile search that gives answers, not web links. 

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke