Silakan, dikomentari..terima kasih. 
   
  Salam,
   
  RD
   
  ------------------------------------------------
   
  Perang Baru Agama
  
Oleh : Azyumardi Azra

Jika membaca buku-buku semacam karya Sam Harris, The End of Faith; 
Richard Harris, The God Delusion; dan Christopher Hitchen, The God is 
not Great-How Religion Poisons Everything, agama terlihat segera mati 
ditinggalkan para penganutnya. Agama dalam perspektif para penulis ini 
tidak lebih dari racun yang membunuh para penganutnya. Buku-buku 
antiagama yang rata-rata best-sellers memang menyajikan gambaran yang 
serba negatif tentang agama.

Buku-buku tersebut boleh dikatakan sebagai reaksi balik terhadap
 semakin  meluasnya kebangkitan kembali agama. Sudah banyak penelitian dan 
penerbitan yang mengungkapkan gejala ini. Salah satu yang paling akhir 
adalah laporan khusus majalah The Economist, 3-9 November lalu dengan 
tajuk 'The New Wars of Religion'.

Laporan The Economist menyimpulkan, agama tidak surut apalagi mati 
karena modernisasi dan sekularisasi. Memang, di tengah deru modernisasi
dan sekularisasi, agama sering dipandang banyak politisi, birokrat 
pemerintahan, dan bahkan akademisi Barat sebagai tidak relevan. Agama 
dalam perspektif mereka kian tidak relevan dengan kehidupan publik. 
Dalam istilah guru besar dan teolog Universitas Harvard, Harvey Cox, 
dalam bukunya yang terkenal The Secular City, agama tidak punya tempat 
sama sekali dalam kehidupan kota sekuler.

Tetapi, berbeda dengan pandangan tersebut, sejak 1970-an agama ternyata
kembali ke pentas berbagai lapangan kehidupan termasuk politik, sosial,
budaya, ekonomi, dan seterusnya. Sekali lagi meminjam istilah Harvey
 Cox yang terpaksa merevisi teorinya, agama telah kembali ke kota sekuler. 
Pada 2005 sekitar 73 persen umat manusia di seluruh dunia memeluk salah
satu dari empat agama besar; Kristiani, Islam, Hindu, dan Budha;  menurut 
prediksi jumlahnya meningkat mencapai sekitar 80 persen pada 2050.

Titik balik kebangkitan agama tersebut menurut Timothy Shah, seorang 
ahli pada The Council on Foreign Scholars, New York, adalah Perang Enam
Hari antara negara-negara Arab dan Israel pada 1967. Perang ini
 menandai kekalahan total pan-Arabisme sekuler, yang pada gilirannya memberikan 
momentum bagi kebangkitan gerakan Islamis radikal yang mengerahkan segenap 
upaya untuk menumbangkan rezim-rezim sekuler di Dunia Arab; usaha yang sampai 
sekarang belum banyak berhasil.

Sebaliknya bagi penganut agama Yahudi, kemenangan Israel dalam Perang 
1967 itu merupakan sebuah 'mukjizat' yang menunjukkan adanya campur 
tangan Tuhan untuk membantu mereka. Karena itu, menurut mereka, Tuhan 
dan agama sama sekali tidak lagi bisa dikesampingkan dalam mempertahankan 
eksistensi negara Israel. Pandangan dan anggapan 
eskatologis ini memberikan momentum bagi kebangkitan kelompok ortodoks, 
ultra-ortodoks, fundamentalis, dan radikal di kalangan penganut agama  Yahudi.

Selanjutnya sejak 1970-an adalah masa-masa kebangkitan agama secara 
global. Amerika Serikat memilih Jimmy Carter sebagai Presiden yang 
dengan bangga menyatakan dirinya sebagai 'born-again Christian', yang 
diikuti Ronald Reagan yang dengan mengutip Perjanjian Baru menyatakan 
Amerika sebagai 'sebuah kota di puncak bukit, yang menerangi berbagai 
penjuru'. Dan terakhir sekali adalah George W Bush yang memercayai 
dirinya tidak lebih daripada sekadar menjalankan berbagai kebijakan 
Tuhan melalui dirinya.

Kebangkitan agama tersebut jelas menimbulkan berbagai dampak dan 
implikasi pula dalam berbagai aspek kehidupan. Banyak hal positif dalam
kebangkitan agama itu; tetapi juga terdapat banyak ekses, yang oleh The
Economist disebut sebagai 'perang baru agama'. Sepanjang dua dasawarsa terakhir 
kian banyak terjadi kekerasan dan perang atas nama agama,
 sejak dari Nigeria ke Srilanka, Filipina Selatan dan Thailand Selatan; dari 
Serbia dan Bosnia terus Chechnya ke Palestina-Israel, Irak dan
 Afghanistan.

Memang, agama dalam banyak kasus tidak dengan sendirinya menjadi 
penyebab dan sumber dari 'perang baru agama' tersebut. Berkat 
dialog-dialog antaragama yang kian intens, 'perang baru agama' karena 
motif keagamaan sebagian besarnya dapat dicegah. Sebaliknya, apa yang 
disebut 'perang baru agama' tersebut lebih bersumber pada masalah 
politik dan ekonomi yang tidak pernah terselesaikan. Dan keadaannya 
menjadi lebih rumit, rawan, dan eksplosif ketika para politisi dalam 
menghadapi pertikaian-pertikaian politik tersebut mencampurbaurkan 
kebijakan politiknya dengan semangat keagamaan.

'Perang baru agama' bisa menjadi sangat eksplosif dan menjerumuskan 
masyarakat dunia ke ambang pertumpahan darah yang sulit diakhiri.
 Karena  itulah penciptaan dan pemberdayaan tatanan dunia baru yang lebih 
berimbang dan adil menjadi kebutuhan mendesak. Reformasi PBB dan 
badan-badan internasional lainnya merupakan agenda dan tanggung jawab 
bersama, yang meski sangat sulit mesti diupayakan terus.

http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=315383&kat_id=19




blog: http://artculture-indonesia.blogspot.com 
   

       
---------------------------------
Be a better sports nut! Let your teams follow you with Yahoo Mobile. Try it now.

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke