Kronik Dokumentasi Wida:
   
   
  ALAM LEMBANG
   
   
  Sebagai pekerja biasa Koperasi Restoran Indonesia Paris, buruh rendahan, 
"smiker", jika menggunakan ungkapan orang Paris, aku paling sering mendapat 
giliran kerja malam yang sering mendapat kesulitan pulang jika sudah terlalu 
larut. Lebih-lebih di akhir pekan. Mencari taksi pun tidak gampang dan kadang 
terpaksa pulang jalan kaki menembus dingin musim. Dari para sopir taksi, aku 
paham kemudian bahwa jumlah taksi ibukota Perancis ini sesungguhnya tidak 
memadai untuk menjawab permintaan. Cerita-cerita sopir taksi dari berbagai 
negeri asal, kemudian kurasakan sebagai salah satu sumber informasi berharga 
untuk mengenal kehidupan Paris senyatanya.  Sumber yang tidak didapat melalui 
buku-buku akademi. 
   
   
  Demikian pula hari itu. Sebuah petang bulan Desember 2007. Aku bekerja malam 
yang secara umum imbalannya lebih besar dari yang bekerja siang. Tapi tidak di 
Koperasi kami. Imbalan yang bekerja siang dan malam sama saja. Bahkan pernah 
kami mengambil kebijakan ekstrim, menggunakan gaji samarata dan menimbulkan 
dampak buruk. Agaknya ekstrimitas, senantiasa merupakan pandangan dan sikap 
yang tak tanggap keadaan dan tidak apresiatif. Ekstrimitas, entah kiri atau 
kanan, dan entah berlindung di balik nama apa pun: setan atau dewa,   hanyalah 
ujud lain dari subkyetivisme dan keterbatasan daya pandang yang bisa 
memerosotkan diri dan kehidupan bermasyarakat. Musuh ekstrimitas barangkali 
adalah pertanyaan dan kejujuran.
   
   
  Saban datang, sebagai kerja pertama yang kulakukan adalah memeriksa "buku 
reservasi" di mana tercatat nama-nama pelanggan yang akan datang, jam datang, 
dan berapa jumlah mereka yang akan makan malam. Makan malam, di negeri ini 
bukan sekedar makan , tapi berwayuh  arti, jika menggunakan istilah alm. 
Prof.Djojodigoeno S.H. dari Universitas Gadjah Mada dulu zaman aku masih jadi 
mahasiswa universitas beken di ibukota Republik zaman revolusi ini. Atas dasar 
informasi "buku reservasi" itu, aku bisa menduga keadaan yang akan dihadapi 
malam itu dan mengatur cara menghadapinya. Dengan kata lain: menetapkan rencana 
kerja dan mensistematikkan  pekerjaan sehingga yang bekerja bisa lancar dan 
para tamu merasa nyaman. Kenyamanan tamu merupakan sesuatu hal yang patut 
dihitung oleh usaha seperti restoran. Para pelangganlah yang menghidupi 
restoran dan usaha produktif. Karena itu, di sini,  pelanggan disebut "raja". 
Padahal di masa kecilku di Katingan, Kalimantan Tengah, kata "raja"
 mengandung konotasi sangat buruk. Berarti pemalas, main perintah, dan 
menghisap tenaga orang lain.   Apakah pengertian Oloh Katingan ini merupakan 
penelenjangan watak masyarakat kapitalistik di mana sekarang aku berada di 
tengah-tengahnya? Entahlah, tapi benar, di masyarakat Katingan pada waktu itu, 
kehidupan komunal masih sangat kuat. Hasil perburuan dibagi-bagi pada tetangga. 
Semangat kebersamaan dari budaya rumah betang [rumah panjang, long house] di 
masa kecilku masih sangat terasa. 
   
   
  Dari "buku reservasi"  di suatu petang bulan Desember ini, aku dapatkan 
sebuah catatan aneh. Pemesan tempat bernama seorang Jerman, tapi di bawahnya 
tertulis: "Orang Indonesia". Mengapa harus ditambah kata-kata "Orang 
Indonesia"? Padahal, jika mau terus-terang, kami tidak terlalu gairah melayani  
tamu "Orang Indonesia". Rewel dan minta diutamakan, minta segalanyasegera, 
tanpa memperdulikan urut-urutan pelayanan bak seorang raja atau ratu, pangeran. 
Dan adakah budaya antri, sebagai tanda kita menghormati orang lain di 
Indonesia? Ucapan "maaf" dan "terimakasih" pun menjadi langka kudengar di tanah 
kelahiranku. Yang sering kuhadapi adalah peragaan kehebatan diri dan kekuasaan. 
"Aku hebat. aku berkuasa!. Kau tak ada apa-apanya". Sikap yang kuanggap tidak 
terlalu jauh dari hukum rimba. O, barangkali ini adalah pola pikir yang 
ditelorkan oleh globalisasi kapitalis dan "uang adalah raja". Katingan, Oloh 
Katinganku! Budaya Rumah Betang-mu secara fisik dan wacana sudah jadi
 kadaluwarsa. Matahari dan langitmu pun berobah warna di musim hutan terbakar, 
para dandau durang [bahasa Dayak Katingan, berarti: orang-orang tersayang]. 
Mencintai dan menjadi Indonesia adalah suatu tekad dan pilihan terhitung. 
Membuatnya menjadi  Republik Indonesia adalah suatu program dan memerlukan 
orang-orang yang bertekad dan berkesadaran. Demikian pula untuk kehidupan 
budayanya. Sebab aku sering melihat kita "meragi usang"kan budaya kita sendiri 
atas nama modernisasi atau melestarikan budaya sendiri.
   
   
  Melihat catatan di bawah nama  Jermanik, rasa ingin tahuku lalu menjadi-jadi. 
Aku sangat menanti-nanti kedatangan "Orang Indonesia" itu.  
   
   
  Tepat waktu, seorang perempuan muda bulé datang dan mengatakan bahwa ia sudah 
pesan tepat. Aku menatap wajahnya lurus ke mata. Sama sekali tak ada 
tanda-tanda Indonesia.
   
  "Benar ini nama Madame atau Mademoiselle?" , tanyaku dalam bahasa Perancis 
sambil memegang kertas nama yang disebutkannya.
   
  "Maaf, saya tidak bisa berbahasa Perancis", ujarnya ramah tenang diiringi 
senyum dalam bahasa Inggris.
   
  "Sorry", jawabku menyesal.
   
  "Is this right your name, Miss?"
   
  "Yes. But I am Mrs, not a Miss! I am an Austrian, and my husband is an 
Indonesian".
   
  Aku jadi lebih kurius.
   
  "Sorry then Mrs..."
   
  "Mrs. Dhalin Lembang. It is ok. I'm coming earlier. Tapi ia pasti datang ", 
ujarnya meyakinkan aku. Kami bertatapan sambil tertawa.
   
  "Welcome to our Restoran Indonesia, Mrs. Dhalin. Please be at home and take 
your time".
   
  "Thanks".
   
  Aku menarik kursi untuk dia duduk, kemudian melanjutkan pekerjaan setelah 
memberikannya air minum dan krupuk. Otomatisme di Restoran.
   
   
  Paris, Desember 2007.
  -----------------------------
  JJ. Kusni, pekerja biasa di Koperasi Restoran Indonesia, Paris.
   
   
  [Berlanjut....]

       
---------------------------------

Search. browse and book your hotels and flights through Yahoo! Travel


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke