analisa yg menarik. sastra berpolitik itu bisa aja terjadi sebagai refleksi 
dari situasi kehidupan sehari-hari, tapi jika politik mau ikut main sebagai 
komandan "sastra" ternyata gak bakalan bisa, kerna manusia yg bersastra itu ada 
yg gayanya nyentrik dan suka punya cara hidup "di luar orbit kekuasaan".

salam, heri latief

--- In [EMAIL PROTECTED], "BISAI" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

PRAMOEDYA SASTRAWAN TANPA PANGLIMA

Realisme Sosialis

Agam Wispi pernah mengatakan bahwa Realisme Sosialis dalam kesusasteraan 
Indonesia, khususnya LEKRA (Lekra) tidak pernah didiskusikan dalam  lekra. 
Karnanya Realisme Sosialis (RS) terbatas cuma sebuah imbauan dan belum sebuah 
politik sastra atau seni untuk Lekra yang tulisan yang telah terpateri dalam 
anggaran dasar organsisasi Lekra.

Tapi sebagai imbauan atau sugesti atau harapan, RS telah dijadikan "Panglima" 
bagi setiap seniman Lekra maupun simpatisannya. Dan Pram (Pramoedya Ananta 
Toer: PAT/PRAM) Sebagai salah satu tokoh Lekra terbesar, adalah juga 
propagandistnya yang paling antusias meskipun dalam karya-karya literaturnya 
tidak tampak jelas atau bahkan tak terlihat sama sekali dimana elemen Realisme 
Sosialis yang bisa dibaca atau ditafsirkan dengan jelas. Pram menulis tentang 
banyak soal: keluarga, pengalaman dalam revolusi fisik, sejarah hingga 
otobiografinya termasuk kisah-kisah Pulau Buru yang tentang dirinya dan 
teman-temannya. Sebagai pengarang realis, itu sangat mudah terasa, tapi dengan 
sambungan Sosialis, juga terasa putus tak bersambung. Tapi elemen sejarah dalam 
karya-karya Pram sangat jelas bahkan cukup bisa diakui bahwa Pram juga seorang 
sejarawan, pelaku sejarah, dan penulis sejararah melalaui karya-karya fiksi, 
setengah fiksi dan non fiksi.

Tapi pandangan politik Pram sebagai pengarang yang pro Sosialisme dalam 
berbagai tulisan yang non fiksinya, sangat jelas. Namun itu belum bisa 
dikatakan bahwa Pram adalah sastrawan yang beraliran Realisme Sosialis karena 
hal itu tidak terdapat dalam karya-karya sastranya. Bahwa seorang apa saja yang 
menganut paham Sosialisme atau pro Sosialisme itu bisa saja yang belum tentu 
atau belum otomatis karya-karya seninya bermuatan aliran Realisme Sosialis bila 
hal itu ternyata tidak terdapat. Pandangan politik bisa saja pro Sosialisme, 
tapi bila melahirkan karya seni, hal itu masih harus dibuktikan, dimana elemen 
Sosialisme atau sifat realis sebuah karya seni.

Seniman Lekra

Pada sebagian seniman Lekra, terutama pada para sastrawan, elemen Realisme 
Sosialis sangat tampak jelas, seperti umpamanya pada penyair Hr. Bandaharo, 
Agam Wispi, Klara Akustia dan yang lain-lain. Dan terutama pada para seniman 
dan sastrawan yang sempat mengunjungi negeri-negeri Sosialis pada zamannya, 
maka kesan-kesan mereka yang dituangkan dalam bentuk syair ataupun cerpen, 
kekaguman mereka terhadap Sosialisme dan pembangunan Sosialisme bukan saja 
sangat jelas tapi juga sangat antusias. Tapi umpamanya para pengarang atau 
penyair seperti Ajip Rosidi dan W.S.Rendra yang juga sempat mengunjungi 
negeri-negeri Sosialis, karya-karya sastra mereka tidak otomatis dan bahkan 
tidak lalu menjadi sastrawa penganut Realisme Sosialis. Jadi aliran Realisme 
Sosialis lebih banyak menampakkan dirinya sebagai aliran politik daripada 
aliran sastra itu sendiri. Dan sekali lagi, sebagai aliran politik, dia tidak 
selalu otomatis terdapat dalam karya seni para penganutnya menjadi aliran yang
 kita sebut Realisme Sosialis.

Hubungan antara Lekra dan PKI adalah hubungan pandangan politik yang sama atau 
hampir bersamaan atau paling tidak, tidak bertentangan satu sama lain. Hubungan 
itu dari luar memang tampak erat dan bahkan bagi sementara orang, Lekra adalah 
juga PKI di bidang seni. Tapi dari dalam, tidak seperti hasil yang ditunjukkan 
sebuah microskop dari dua belahan satu benda yang sama. Tapi kalau dikatakan 
hubungan antara Lekra dan PKI ada hubungan politik yang antusias, itu sangat 
bisa dimengerti karena mereka punya pandangan yang sama atau hampir bersamaan 
dalam cita-cita politik maupun orientasi mereka kepada rakyat pekerja 
Indonesia. Ke antusiasan itu bahkan hingga mencapai super antusias. Umpamanya 
semboyan, <Politik adalah panglima> adalah semboyan yang dikibarkan 
tinggi-tingi oleh Lekra sendiri dan bukan tuntutan atau perintah maupun 
instruksi dari PKI. Demikian antusiasnya hingga Lekra seolah ingin lebih 
revolusioner dari PKI sendiri dan itu bisa dipahami karena Lekra bekerja
 dengan ekspressi seni terutamanya, yang itu memungkinkan lebih banyak untuk 
mengekspresikan pandangan politik secara lebih menghunjam dalam ke hati nurani 
manusia. Dan PKI tentu saja tidak menolak dan mengapa harus menolak. Tapi dalam 
kenyataan, PKI bukannya terlena begitu saja akan sokongan  dan simpati besar 
dari para seniman dan penulis Lekra. Seorang yang terlalu banyak menerima 
pujian atau kekaguman tentu akan tersipu sipu apalagi bagi mereka yang rasa 
tahu dirinya cukup tinggi. Begitu pula PKI. Tidak semua pujian dan kekaguman 
yang telah dituangkan dalam karya seni Lekra, mempunyai nilai seni atau nilai 
sastra yang benar-benar bisa terasa tinggi bahkan cukup memadai dan 
sering-sering sebaliknya, terlalu banyak reklame, terlalu banyak semboyan dan 
seruan, terlalu banyak politik daripada seni atau sastranya dan mulailah timbul 
ejekan dan celaan dari para penentang Realisme Sosialis maupun dari pihak 
musuh-musuh Lekra sebagai seni dan sastra bermutu rendah. PKI
 merasakan hal itu yang jangan lupa salah seorang pembesar PKI, Nyoto yang juga 
tokoh Kebudayaan itu adalah juga anggota Lekra. PKI tahu bagaimana menghadapi 
para seniman, mengerti perasaan mereka, atau yang ketika itu terkenal sebagai 
"garis massa"yang harus diberikan cocok dengan sifat massa atau golongan sosial 
seseorang, sangat disedari oleh PKI. Dengan pertolongan pendekatan "garis 
massa" inilah PKI mulai berani "mengkritik" para seniman dan sastrawan "super 
antusiasme"yang kebanjiran inflasi semboyan  dan seruan dalam karya-karya seni 
dan sastra mereka dengan apa yang pernah terkenal sebagai dua tuntutan tinggi: 
"tinggi mutu seninya, dan juga tinggi mutu politiknya". Tapi banjir memang 
sudah sulit untuk dibendung dan dua tuntutan dari PKI yang juga disetujui Lekra 
itu, dalam kenyataan selanjutnya tidak banyak menolong karena Lekra juga 
kebanjiran penyair, kebanjiran sastrawan, kebanjiran seniman yang pandangan di 
waktu itu adalah semua orang bisa jadi sastrawan, semua
 orang bisa jadi seniman, semua orang bisa jadi pengarang. Dan istilah 
"penyair". "sastrawan"."seniman" diganti dengan "PEKERJA SENI" untuk 
mengesankan "sama rata sama rasa"di bidang seni: tidak ada seniman, tidak ada 
sastrawan, tidak ada penyair, yang ada "PEKERJA SENI" hingga Sudisman-pun harus 
dianggap juga penyair meskipun sudah dengan nama baru sebagai "PEKERJA SENI" 
yang sampai Agam Wispi menolak sajaknya dimuat dalam "Harian Rakyat"karena 
menurut Agam, sajaknya baru setahap anak-anak baru belajar bikin sajak. 
Lahirnya istilah "PEKERJA SENI" sebagai pengganti "gelar" yang diangggap 
diskriminatif dan bahkan dianggap mulia yang dimonopoli  hanya oleh golongan 
seniman itu, pada hakekaktnya adalah kecemburuan para politikus dalam PKI dan 
Lekra sendiri yang ingin semuanya jadi "seniman"meskipun bukan bidang dan bakat 
mereka. Tapi dengan gelar pengganti "PEKERJA SENI" seniman sungguh dan "seniman 
politik"jadi satu derajat, sama tinggi bakat dan kemampuan seninya. Itu
 agaknya semacam "demokratisasi"dalam seni dan dalam kenyataan cukup banyak 
anggota pimpinan PKI jadi naik syur ingin jadi "PEKERJA SENI" yang pada 
hakekatnya ingin diakui jadi seniman sungguh meskipun tanpa bakat dan karyanya 
tidak bagus (kecuali politiknya yang cukup"tinggi"). 

Hingga PKI dihancurkan Suharto, anjuran "dua tinggi" tidak pernah terpenuhi 
secara memadai karena sang "Panglima" kebanyakan otoriter yang itu juga bikinan 
sendiri, sukarela, dan bukan pesanan siapapun kecuali dorongan antusiasme yang 
berlebih lebihan dari setiap orang itu sendiri. Penyakit kelebihan "politik" 
dan a vitaminose estetika tetap saja belum bisa disembuhkan hingga sekarang ini 
sebagai peninggalan semboyan Lekra "politik adalah panglima".

PRAMOEDYA YANG TANPA PANGLIMA

Sebagai panglima besar dari aliran sastra "Politik adalah panglima", dalam 
kenyataan ,Pram tidak mempunyai seorang panglima yang manapun kecuali dirinya 
sendiri sebagai panglima. Dan dia berhasil menjadi sastrawan satu-satunya yang 
terbesar dari semua pengarang-pengarang Lekra yang punya panglima. Orang telah 
tidak bisa membedakan antara pandangaan politik seorang sastrawan dengan 
karya-karyanya yang bisa tidak persis dengan paham sastra yang dianutnya. Karna 
sastra secara alamiah adalah pelahiran ekspressi bebas tanpa ikatan apapun 
termasuk politik. Tapi sastra itu sendiri bisa campur tangan ke segala bidang 
yang dikehendaki sang seniman termasuk bidang politik atas keinginan dirinya 
sendiri yang  bukan pesanan, bukan instruksi, bukan disiplin dan juga mashab 
yang semua ini dilakukan oleh Pramoedya. Bukan kebetulan, apa yang dituntut 
oleh Yoesoef Isak terhadpa jaksa yang menuduh Pram seorang penyebar Marxisme, 
tidak bisa ditunjukkan atau dibuktikan sang Jaksa pada kalimat
 mana Pram telah menulis yang bisa dikatakan dia penyebar Marxisme. Dan bukan 
hanya jaksa yang tidak bisa membuktikan dan menemukan, semua orang pemerhati 
sastra yang paling kritispun tidak akan bisa menemukan dalam karya-karya sastra 
Pramoedya ada penyebaran Marxisme dan juga ada elemen Realisme Sosialis. Dan 
justru Pram menjadi besar tanpa panglima dan dia berhasil gemilang go 
International dengan mempanglimai dirinya sendiri. Sedangkan mereka yang 
mempertahankan terus "Politik adalah panglima" tetap tersendat sendat antara 
ekspressi yang harus bermuatan politik dengan selera pembaca yang semakin jauh 
meninggalkan diri mereka dan terjadilah kesepian, keterpencilan dan selalu 
diluar arena kompetisi sastra. Satu satunya obat yang bisa menyembuhkan mereka 
adalah membebaskan diri dari kungkungan semboyan lama yang ternyata memang tak 
pernah produktif, lemah daya kompetisinya, rentan terhadap super antusiasme dan 
juga bukannya tidak arogan. Sastra mencampuri politik, itu bisa
 meskipun tidak harus. Tapi politik mencampuri sastra apalagi akan 
mempanglimainya, sastra akan kehilangan kebebasannya baik mutu maupun 
penyebarannya. Yang terpenting dalam sastra bukanlah ketinggian antusiasmenya 
melaiankan ketinggian mutu ekspressinya dan presentasinya. Soal berhasil atau 
tidaknya, itu adalah soal lain.

Asahan Aidit.
Hoofddorp 612008.




      
[EMAIL PROTECTED]
milisgrup opini alternatif

  
http://geocities.com/lembaga_sastrapembebasan/
penerbit buku sejarah alternatif

  
http://progind.net/
kolektif info coup d'etat 65: kebenaran untuk keadilan

  http://herilatief.wordpress.com/




       
---------------------------------
Looking for last minute shopping deals?  Find them fast with Yahoo! Search.

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke