Sifat Islam yang universal yang belum diidentifikasikan di bawah adalah semangat egaliter. Sampe sekarang kita sulit mengakui bahwa potret sejarah Indonesia adalah sejarah ekploitasi kepada masyarakat bawah yang egaliter. Kalo ngomongin eksploitasi kita ngomongin penjajahan Belanda melulu, padahal kelas atas Indonesia selalu melakukan itu, sampe sekarang gandengan dengan 'penjajah'. Kedatangan Islam membantu mencairkan kasta2 di Indonesia terutama di tanah Jawa, tapi selama penjajahan dan sampe sekarang kasta kelas atas ganti baju melulu, bahkan Kejawen dan Islam disalahgunakan untuk kepentingan tuker baju itu.
Seperti yang sudah saya bilang, pengembangan kelas menengah akan menjembatani gap ini. Yang namanya kelas menengah itu bukan cuma tingkatan ekonominya saja, tapi juga wawasan ke depan, yang membantu tingkatan ekonomi dan pengembangan ke depan untuk berlanjut (sustain). salam Mia --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "Dwi W. Soegardi" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > http://indonesianmuslim.com/pribumisasi-islam-indonesiainspirasi- islam-yang-santun-ramah-dan-toleran.html > > Pribumisasi Islam Indonesia:Inspirasi Islam yang Santun, Ramah, dan Toleran > > Posted in January 15th, 2008 > by admin in Culture > > Sugie Maula Reisya > > Gagasan pribumisasi Islam dalam konteks lokal telah lama > dikumandangkan oleh sejumlah sarjana Muslim Indonesia. Abdurrahman > Wahid, atau Gus Dur, adalah salah seorang yang pertama mengemukakan > gagasan tersebut. > > Saya melihat bahwa gagasan tentang pentingya pribumisasi Islam dalam > konteks lokal ini merupakan hal yang sangat penting dilakukan, karena > dengan demikian Muslim Indonesia dapat tetap mempertahankan identitas > ke-Indonesia-annya yang khas, dan pada saat yang sama dapat > mengejawantahkan nilai-nilai Islam dalam praktik kehidupannya. Menjadi > seorang Muslim Indonesia tidak harus menjadi Arab, demikian > sederhananya. Dan lebih dari itu, kekhasan potret Islam Indonesia juga > bukan mustahil dapat memberikan inspirasi bagi perkembangan Islam di > wilayah lain, atau mengubah imej tentang Islam itu sendiri yang di > kalangan Barat, misalnya, sering diasosiasikan dengan keras atau > radikalnya Islam di Timur Tengah. > > Kultur Islam Indonesia jelas memiliki keunikan tersendiri. Di > Indonesia beragam tipe penafsiran atau aliran Islam ada, mulai dari > yang disebut sebagai moderat, liberal, sampai pada corak Islam yang > puritan dan radikal, semuanya tumbuh subur dan saling mengkampanyekan > idenya masing-masing. Tak pelak, dari percaturan berbagai corak > ke-Islam-an itu, Indonesia bak lahan subur bagi timbulnya dinamisasi > pemikiran. Sebagaimana dulu Geertz melihat dinamisasi tersebut dan > berkesimpulan bahwa Islam Indonesia adalah Islam yang tumbuh dari > proses ketekunan (Geertz: 1968). Meskipun ketekunan yang dimaksud > Geertz tersebut adalah derivasi dari kultur agraria, pertanian masa > lalu. Tapi tentunya sebagai watak atau karakter, hal tersebut bisa > pula mengejawantah pada era industri sekarang ini. Hal itu berbeda > dengan Maroko sebagaimana ia bandingkan; kalau Indonesia adalah Islam > yang tumbuh dari ketekunan, maka Maroko adalah Islam yang tumbuh dari > keberanian. Faktor kultur dan geografis lah yang membedakan. Bagaimana > pun, kultur Islam Timur Tengah tidak memiliki pengalaman keragaman > sosi-kultural-antropologis sebanyak Indonesia. > > Akan tetapi, tentunya yang diharapkan berimbas dan dicontoh dari > potret Islam Indonesia bukanlah hal-hal yang selama ini sering melekat > pada sebagian Muslimnya, seperti sikap indisipliner, kesenjangan > sosial, kurang toleran, kurangnya kepedulian sosial, lemahnya etos > kerja, budaya pengorganisasian yang semrawut, lack social > responsibility, dan lain-lain, melainkan kultur Islam Indonesia yang > cenderung lebih santun, ramah, dan akomodatif terhadap berbagai unsur > keragaman, termasuk budaya lokal. > Dalam konteks pendidikan misalnya, prototipe madrasah dan pesantren > yang banyak berkembang di Indonesia, yang telah bertahan ratusan > tahun, dan sering menjadi 'kekuatan' civil society tersendiri di > kalangan masyarakat, adalah salah satu contoh menarik yang tidak > berkembang di dunia Islam lain. Kalau pun di Pakistan atau Afganistan > terdapat madrasah misalnya, tetapi malah sering dihubungkan dengan isu > terorisme dan radikalisme di mana madrasah menjadi tempat menempa > calon-calon martir militannya (Taliban). > > Meskipun dalam hari-hari belakangan wajah Islam Indonesia yang santun > dan ramah sedang mendapat tantangan sengit, akan tetapi kita tetap > dapat berharap bahwa Islam Indonesia akan bisa memberikan dampak > positif terhadap pembentukan citra Islam secara keseluruhan. > > Memang, dalam masalah praktik sosial kemasyarakatan, saya yakin kita > masih perlu belajar banyak dari banyak Negara non-Muslim di Barat dan > Eropa: tradisi disiplin, punctuality (ketepatan), keteraturan, social > justice, pengorganisasian, kepekaan sosial, etos kerja, kompetisi > positif, sportivitas, komitmen, trust, dan lain-lain, umumnya lebih > baik di Barat dibanding di Negara-negara Timur seperti Indonesia, yang > mayoritasnya muslim. Meskipun semuanya perlu diberi catatan, tapi pada > umumnya Eropa dan Barat memang lebih baik. "Aku temukan banyak Islam, > namun aku tidak menemukan muslim di sini (barat)" demikian kata klasik > dari Muhammad Abduh. Sebaliknya di sini (timur), banyak muslim namun > kurang bisa menonjolkan nilai-nilai ke-Islaman-nya. > Jadi, seyogyanya semangat pribumisasasi Islam, kontekstualisasi Islam, > atau apapun namanya di Indonesia, hendaklah tidak berhenti disuarakan. > Para cendikiawan Muslim Indonesia hendaknya terus menggali semangat > dan nilai-nilai Islam yang sering kita kesampingkan penerapannya di > Negeri ini. Jujur harus diakui, sekarang ini kalaupun ada semangat > menerapkan syariat Islam, yang menonjol adalah masih dalam level > 'cangkang' luarnya, dan belum mengutamakan implementasi syariat Islam > yang langsung bersentuhan dengan kepentingan serta kesejahteraan > masyarakat luas, baik yang muslim maupun non-Muslim. > Semoga ke depan, agenda pribumisasi atau kontektualisasi Islam > Indonesia yang kita 'canangkan' bisa benar-benar mewakili ruh dan > esensi Islam itu sendiri. Yang kita butuhkan saat ini adalah aksi riil > umat Islam bagi kepedulian sosial, bukan sekedar simbol, ucapan dan > bahasan yang melelahkan mengenai baju-baju Islam itu sendiri. > > Wallahu a´lam. > > Penulis adalah Penggiat di Never Ending Education Syndicate (NEEdS) Semarang > Email: kharrazy @yahoo.com >