Tempo, Edisi. 49/XXXVI/28 Januari - 03 Februari 2008

Nabi Pamungkas dan Nabi Sekunder
 
Luthfi Assyaukanie

Peneliti Freedom Institute dan Koordinator Jaringan Islam Liberal, Jakarta

Salah satu doktrin utama yang dijunjung tinggi kaum muslim adalah
keyakinan tentang Muhammad sebagai nabi pamungkas (khatam
al-nabiyyin). Begitu sucinya doktrin ini, para ulama berpandangan
bahwa siapa saja yang melanggarnya dapat dianggap murtad atau keluar
dari Islam. Menurut hukum Islam (fikih), seorang yang murtad haruslah
dibunuh. Para ahli fikih sepakat bahwa pemerintahlah yang harus
menjalankan hukuman, namun seorang ulama dari mazhab Syafi'i
berpendapat bahwa hukuman itu bisa dilaksanakan secara individual jika
pemerintah tak mampu melaksanakannya.

Mungkin karena doktrin fikih yang kaku itu, kaum muslim memusuhi dan
menyerang Ahmadiyah, sebuah aliran yang meyakini Mirza Ghulam Ahmad
sebagai nabi. Baik di Pakistan (negara asal Ahmadiyah) maupun
Indonesia, anggota Ahmadiyah dikecam, dikejar-kejar, dan properti
mereka dirusak dan dibakar. Tanpa mau mengerti persoalan kompleks
tentang konsep kenabian, kaum muslim meminta pemerintah membubarkan
Ahmadiyah dan melarang sekte ini hidup di Indonesia.

Doktrin khatam al-nabiyyin bukanlah milik kaum muslim saja, tapi ia
juga milik semua agama. Setiap agama besar memiliki doktrin nabi
pamungkas. Agama Yahudi menganggap Musa sebagai nabi pamungkas; Agama
Kristen menganggap Isa sebagai nabi pamungkas; dan agama Buddha
menganggap Siddharta Gautama sebagai nabi pamungkas. Masing-masing
agama ini menjunjung tinggi doktrin khatam al-nabiyyin, dan akan
menganggap siapa saja yang melanggarnya telah tersesat.

Pada awal-awal kemunculan agama Kristen, kaum Yahudi menganggap
pengikut Isa (Yesus) sebagai kaum heretik, karena mendaulat Isa (bukan
Musa) sebagai nabi pamungkas dan bahkan menganggapnya sebagai anak
Tuhan. Begitu juga, pada masa-masa awal kemunculan Islam, kaum Kristen
di kawasan Bizantium (Kekristenan Timur) menganggap pengikut Muhammad
sebagai "sekte Kristen" yang sesat dan menyesatkan. Islam dianggap
sekte sesat karena memperkenalkan nabi baru selain Isa, yakni
Muhammad, sebagai nabi pamungkas.

Sesat menyesatkan terhadap siapa saja yang menolak doktrin nabi
pamungkas dalam suatu agama bukanlah unik milik Islam. Setiap agama
baru selalu melewati proses semacam ini. Saya menyebutnya "proses
heretisasi", yakni upaya menjauh dari pemahaman ortodoks. Jika proses
heretisasi berlangsung mulus, sebuah agama baru bakal muncul; jika
tidak, konflik dan ketegangan akan terjadi.

Proses heretisasi terjadi sepanjang sejarah. Orang-orang Yahudi
menganggap Kristen sebagai agama heretis yang menyempal dari agama
Yahudi. Begitu juga, kaum Kristen memandang Islam sebagai sekte sesat
yang menyempal dari agama Kristen. Pada gilirannya, kaum muslim
menganggap Baha'i sebagai agama yang menyempal dari Islam. Baha'i
tidak lagi dianggap sebagai bagian dari Islam karena para pemeluknya
tak mau menganggap Muhammad sebagai nabi pamungkas, tapi malah
menjadikan pemimpin mereka, Baha'ullah, seorang alim dari Persia,
sebagai gantinya.

l l l

Ahmadiyah, menurut saya, belum bisa dianggap sebagai agama baru,
karena proses heretisasi dalam dirinya belum sempurna. Para pengikut
Ahmadiyah masih terbelah antara menerima Muhammad sebagai nabi
pamungkas dan menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi baru. Kecuali
jika mereka sendiri yang mendeklarasikan Ahmadiyah sebagai agama baru,
tak seorang pun berhak menganggapnya demikian.

Saya tidak tahu apakah ada anggota Ahmadiyah yang benar-benar
menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi pamungkas. Setahu saya,
dari sejumlah literatur tentang Ahmadiyah yang pernah saya baca,
seluruh anggota Ahmadiyah di Indonesia tetap menganggap Muhammad
sebagai nabi pamungkas, sedangkan Mirza Ghulam Ahmad dianggap sebagai
nabi sekunder yang kedudukannya lebih rendah daripada Nabi Muhammad.

Konsep nabi sekunder memang tidak dikenal dalam teologi Sunni. Tapi,
konsep itu dikenal secara luas dalam agama-agama lain, khususnya
Yahudi dan Kristen. Orang-orang Yahudi, misalnya, menganggap Musa
sebagai nabi pamungkas, tapi pada saat yang sama meyakini Isaiah,
Jeremiah, Ezekiel, dan Daniel sebagai nabi juga, namun bersifat
sekunder. Orang-orang Kristen menganggap Isa sebagai nabi pamungkas,
tapi pada saat yang sama bisa menerima Simon, James, Matius, dan
Thomas sebagai nabi (rasul).

Islam tidak mengadopsi teologi semacam itu, tapi mengembangkan
doktrinnya sendiri tentang nabi sekunder. Kaum Syiah menyebutnya
"imam", sedangkan kaum Sunni memiliki istilah yang beragam, seperti
"wali", "ulama", dan "mujaddid" (pembaru). Baik imam maupun wali (dan
istilah lain dalam dunia Sunni) sesungguhnya memiliki posisi yang
kurang-lebih sama dengan nabi sekunder dalam teologi Yahudi dan
Kristen. Para imam dua belas (itsna asy'ariyah) bagi kaum Syi'ah
memiliki kharisma dan posisi yang tak bisa disejajarkan dengan kaum
muslim biasa. Kedudukan mereka hanya bisa dikalahkan oleh Muhammad,
sang nabi pamungkas.

Begitu juga, dalam dunia Sunni, para awliya (bentuk jamak dari wali),
ulama, maupun mujaddid memiliki kedudukan yang tinggi, disanjung,
dihormati, dan didengar pandangan-pandangannya. Abdul Qadir
al-Jailani, misalnya, adalah salah satu wali yang sangat dimuliakan
kaum muslim Sunni. Begitu juga, Abu Hamid al-Ghazali merupakan ulama
yang menempati posisi sangat khusus di kalangan umat Islam. Begitu
uniknya posisi Al-Ghazali sehingga Montgomery Watt, seorang orientalis
Inggris, menganggapnya sebagai muslim terbesar kedua setelah Nabi
Muhammad.

Mujaddid juga memiliki posisi unik yang bisa disejajarkan dengan
konsep nabi sekunder dalam teologi Yahudi dan Kristen. Istilah
mujaddid diperkenalkan oleh Nabi Muhammad sendiri dalam sebuah
sabdanya: "Setiap 100 tahun Allah mengutus seorang mujaddid yang akan
memperbarui ajaran agama (Islam)." Tokoh Islam seperti Muhammad Abduh
(1849–1905), Ali Abd al-Raziq (1888–1966), dan Fazlur Rahman
(1919–1988), adalah para pembaru Muslim yang dimaksudkan Nabi. Tentu
saja, istilah "100 tahun" tidak harus diartikan secara literal, karena
"100 tahun" yang dimaksud dalam hadis itu adalah masa yang dibutuhkan
suatu doktrin untuk menjadi kedaluwarsa. Dan itu harus diperbarui
dalam setiap kurun waktu tertentu agar tetap segar.

l l l

Para teolog Sunni memang tidak menganggap wali atau ulama atau
mujaddid sebagai nabi, tapi mereka memandang posisi mereka begitu
tinggi, dan bahkan meletakkannya setingkat di bawah nabi. Ulama,
misalnya, dianggap sebagai ahli waris para nabi (al-ulama waratsat
al-anbiya).

Sebenarnya, jika para pengikut Ahmadiyah menyebut Mirza Ghulam Ahmad
sebagai wali, atau ulama, atau mujaddid, pasti tidak akan ada masalah.
Sayangnya, mereka lebih memilih bersitegang dengan ortodoksi Sunni
dengan tetap menggunakan istilah "nabi" untuk pemimpin mereka.
Padahal, yang mereka maksudkan dengan nabi ketika menyebut Mirza
Ghulam Ahmad sebetulnya adalah "wali" atau "mujaddid" dalam pengertian
kaum Sunni.

Hal ini bisa dilihat, misalnya, dari cara mereka membeda-bedakan tiga
istilah, yakni "nabi independen" (naby mustaqill), "nabi tidak
independen" (naby ghayr mustaqill), dan "nabi bayangan" (naby
al-dzill). Nabi independen adalah pemuka agama yang membawa risalah
murni, seperti Musa, Isa, dan Muhammad. Nabi tidak independen adalah
pemuka agama yang meneruskan risalah nabi independen, seperti Harun
(dalam kasus Musa) dan Paulus (dalam kasus Isa). Sementara nabi
bayangan adalah pemuka agama yang menyebarluaskan risalah itu.

Para pengikut Ahmadiyah Qadiyan memandang Mirza Ghulam Ahmad sebagai
naby ghayr mustaqill, sementara pengikut Ahmadiyah Lahore menganggap
Mirza sebagai naby al-dzill. Kedua sekte ini tetap menganggap Muhammad
sebagai nabi pamungkas (naby mustaqill) yang kedudukannya tak bisa
digantikan oleh siapa pun.

Ketegangan yang terjadi dalam menyikapi Ahmadiyah selama ini
sesungguhnya dipicu oleh kesalahpahaman terhadap penggunaan istilah
"nabi". Baik Ahmadiyah maupun Sunni sama-sama bersalah. Ahmadiyah
bersalah karena menggunakan istilah yang tak bisa diterima dalam
teologi Sunni. Kaum Sunni bersalah karena tak mau mengerti bahwa
istilah nabi bisa dimaknai dengan beragam arti, tidak mesti hanya satu
makna saja seperti yang mereka pahami secara keliru selama ini.***** 

Kirim email ke